Waktu memang tak bisa terulang untuk ke dua kalinya, jika kita terlambat roda waktu akan menggilasnya tanpa ragu. Adam memang tak punya pilihan lain untuk cinta pertamanya, bukan karena kehilangan unsur kebebasannya yang paling asasi, sebab hanya Hawa yang ada bersamanya. Tubuh yang bersinar terang itu kemudian mengenakan Adam pakaian dari kulit binatang, lalu beralih kepada Hawa yang
diam terpaku dan menundukkan kepala. “Pakaian
ini lebih awet daripada daun-daun yang kau kenakan itu,” kata Sang Terang yang adalah Tuhan Allah sendiri dengan Penuh Kasih. “Menjauhlah dari taman
Eden ini,” lanjut Tuhan Allah sambil berjalan masuk ke taman Eden bersama TerangNya. ***** Dengan tertunduk lesu Adam berjalan menjauhi taman Eden diikuti Hawa dari belakang. Sesekali Adam menengok ke belakang, dilihatnya taman Eden semakin menghilang ditelan kabut. Pakaian yang diberikan Adam dan Hawa hampir sama modelnya, kulit hewan utuh yang diselempangkan di pundak kanannya menjuntai ke paha. Kulit yang berbulu tebal dan cukup menghangatkan. “Aku tidak tahu bagaimana Tuhan membuatNya, ini kulit dari binatang apa ya?” tanya Adam kepada Hawa, yang kini sudah berjalan di sampingnya. “Mungkin dari kulit Keledai,” jawab Hawa sambil memegang pakaiannya. “Kenapa mesti kulit Keledai?” tanya Adam. “Iya, kalau dari kulit domba, pastilah kurang panjang untuk kita,” mendengar jawaban itu Adam mengangguk-angguk. (Barangkali maksud Tuhan, kalau itu memang dari kulit Keledai, ya memang Adam dan Hawa telah melakukan tindakan seperti Keledai. Dan keturunan Adam yang kelak di sebut Yesus akan naik Keledai pada akhir pelayanannya). “Pastilah dari kulit binatang yang cukup besar,” tuntas Adam. Adam memang tinggi besar, berkujlit bersih dengan rambut pendek agak ikal. Sementara Hawa pun berkulit halus, rambut ikal mayang terurai indah, hidung mancung, pipinya kemerahan dan bibirnya merekah basah. Sungguh cantik walau tanpa
kosmetik. “Perutku lapar,” ucap Hawa memecah keheningan.
KEMBALI KE ARTIKEL