Pak Jokowi yang saya hormati. Walau Bapak tidak mengenal saya, tetapi sama sekali tidak membuat saya berkecil hati menulis surat ini. Saya memilih menulis surat terbuka karena Bapak bisa membacanya saat luang, atau orang-orang sekitar Bapak bisa membacanya kemudian memberitahukannya kepada Bapak. Saya tahu Bapak teramat sibuk. Kalau melihat acara Bapak di televisi, saya yakin kalau saya ada di Jakarta pun belum tentu bisa menemui Bapak.
Pertama-tama kami di sini sangat bergembira karena Bapak sudah terpilih walau masih versi quick count. Kami sangat percaya hasil hitungan cepat, apalagi hasil itu oleh 7 atau 8 lembaga survei terkemuka, ternama dan terkenal akurat. Jadi hasil akhir real count KPU mestinya tidak berubah lagi. Kami juga yakin kalau ada perubahan, misalnya menipiskan angka prosentase kemenangan agar lebih mudah digugat ke Mahkamah Konstitusi, rasa-rasanya itu ada rekayasa.
Kedua, kami merasa bahwa kemenangan Bapak adalah sesungguhnya kemenangan rakyat. Partisipasi real dari rakyat sangat nampak dalam diri para relawan di kubu Bapak, tidak melalui mobilisasi. Partisipasi itu nyata benar dalam donasi rakyat terhadap rekening Bapak untuk kampanye. Kami membaca sekitar Rp200 miliar secara sukarela dan ikhlas disumbang rakyat untuk kemenangan Bapak. Saya membaca ada tukang becak yang ikhlas menyumbang Rp5000, ada yang Rp10.000 dan seterusnya. Sungguh ini gerakan rakyat.
Di wilayah kami, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang jauh dari jangkauan pusat kekuasaan di Jakarta, tidak tinggal diam. Bapak tentunya tahu, NTT umumnya dan khususnya di Flores Timur termasuk wilayah yang belum teramat maju. Tetapi kami melakukan sesuatu agar Bapak terpilih.
Pak Jokowi yang terhormat. Mayoritas warga Flores Timur beragama nasrani- Katolik. Berabad-abad kami hidup rukun dengan saudara kami Muslim. Tidak pernah ada konflik. Pada hari-hari raya keagamaan Katolik, teman-teman kami Muslim ikut menjadi bagian dari pengamanan. Sungguh sebuah kerukunan yang nyata, tidak verbal.
Melalui komunitas gereja pula, umat kami bergotong royong mengumpulkan dana untuk kemenangan Bapak. Tentu saja nilainya teramat sangat kecil. Warga Paroki Maria Ratu Semesta Alam Hokeng Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, berinisiatif mengumpulkan dana itu.
Hokeng sebenarnya wilayah yang subur pak. Berjarak sekitar 60 km arah barat Kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Daerah ini pun terkenal dengan perkebunan kopi milik para biarawan SVD. Di kalangan umat Katolik Flores Timur dan NTT umumnya, Hokeng lebih dikenal sebagai bibit para misionaris. Di sini ada sebuah seminari yang telah ‘menghasilkan ribuan imam’. Para imam tersebut selain bertugas di NTT, di Indonesia, tetapi juga bekerja di puluhan negara lainnya di dunia ini. Puji Tuhan.
Dalam serbakekurangan itu, umat Paroki Maria Ratu Semesta Alam melakukan gerakan ‘Ribu Rua Jokowi –Jusuf’ yang disingkat RRJJ. Luar biasa pak. Pastor Paroki, Petrus Nong Lewar SVD adalah motor di balik gerakan tersebut. Saya sungguh trenyuh pak dengan gerakan dan partisipasi umat ini. Hanya keikhlasan dan keyakinan mendorong mereka. Tidak ada janji apapun untuk apapun untuk mereka.
Pastor paroki ini terang-terangan menyatakan dukungannya kepada Bapak. Dia tidak ragu mengajak siapapun yang mencintai kedamaian dan hak asasi manusia untuk mendukung dan memilih Bapak. Warga paroki ini khususnya dan warga Flores Timur serta NTT secara umum seakan menemukan diri mereka sendiri dalam diri Bapak, sebuah profil yang sederhana, yang jujur, bersahaja, yang jauh dari hingar bingar yang memamerkan kemewahan.
Meski menjadi bagian dari masyarakat Flores Timur, saya merinding membaca pernyataan Pastor Lewar bahwa; siapa yang tidak memilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dia tidak mendukung HAM. (Flores Bangkit, 6 Juli).
Pak Jokowi, semoga gerakan umat Paroki Maria Ratu Semesta Alam tidak menambah beban Bapak. Kami tahu Bapak sudah difitnah habis-habisan dengan aneka macam isu termasuk Bapak disebut beragama Katolik. Beragama Katolik/Kristen sepertinya menjadi ‘dosa asal’ yang menghambat seseorang menjadi pemimpin nasional. Kami sangat paham itu pak, bahwa kami sudah ditakdirkan hanya menjadi pemimpin di ‘negeri’ kami sendiri.
Kami berharap sumbangan dari umat Paroki Maria Ratu Semesta Alam dan warga Kristiani lainnya tidak membuat bapak semakin tersudut dengan bermacam-macam fitnah SARA itu. Kami tahu benar sikap Bapak terhadap kaum minoritas seperti tercermin dalam pembelaan Bapak terhadap Lurah Susan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Meski warga menolak termasuk Menteri Dalam Negeri meminta Bapak memindahkan Lurah Susan yang beragama Kristen, Bapak tegas-tegas menolaknya. Sikap Bapak tegas bahwa hanya memindahkan Lurah Susan jika kinerja jelak, bukan karena agamanya berbeda dengan agama mayoritas warga. Bapak mengukur seorang pejabat dari kinerjanya, bukan dari agamanya. Salut pak. Banyak pejabat tidak punya nyali seperti itu karena hanya mau cari aman dan selamat sendiri. Itu sikap yang tegas pak. Bagi kami sikap tegas bukan karena suaranya tinggi dan menggelegar. Kami tak butuh itu, malah menakutkan.
Bapak Jokowi yang kami hormati. Sumbangan teramat kecil itu, tentu saja bukan untuk menyandera Bapak agar memperhatikan atau memperlakukan kami secara khusus. Tidak, sama sekali tidak pak. Kami hanya ingin di masa pemerintahan Bapak negeri ini semakin maju, tanpa korupsi, tanpa diskriminasi. Kami hanya ingin negara hadir di saat kami memerlukan. Negara hadir di saat tempat ibadah diduduki. Negara hadir di saat warga menghadapi bencana. Negara hadir di saat ada pihak yang sesuka hati melakukan sweeping seolah-olah mereka mendapatkan mandat dari negara. Negara hadir di kala ada pihak mengobrak-abrik atas nama agama. Singkatnya negara hadir di saat rakyat memerlukan.
Pak Jokowi, saat Indonesia sudah berusia 69 tahun, baru satu Presiden mengunjungi daerah kami. Itulah Bung Karno, Bapak Bangsa dan Pendiri Republik ini. Kalau dulu mungkin karena kami tidak punya lapangan terbang, sehingga sangat terpencil sehingga tidak bisa dikunjungi. Tetapi kini sudah ada lapangan terbang pak. Bapak bisa mendarat di Gewayan Tanah, tidak harus melalui perjalanan darat dari Maumere, Sika yang berjarak sekitar 120 km dari daerah kami.
Barangkali Bapak menjadi Presiden kedua yang bisa melihat daerah kami secara langsung. Jangan seperti Presiden-presiden sebelumnya yang datang ke NTT dan Flores kalau ada bencana. Kami ingin Bapak mengunjungi kami di saat kami bergembira. Jadi wajah kami di layar televisi tidak selalu wajah susah karena bencana, tetapi wajah gembira menyambut kehadiran Presiden yang sederhana. Saya sedih dengan anekdot yang menyebutkan: NTT itu Nasib Tidak Tentu, atau Nanti Tuhan Tolong, atau Nasib Tergantung Tetangga, dan sebagainya yang minor.
Daerah kami memang panas, pak. Tetapi saya yakin Bapak bukanlah tipe pemimpin yang suka di balik meja dan mendengarkan laporan asal bapak senang (ABS). Di Jakarta saja Bapak bisa masuk ke selokan, got, apalagi hanya sekadar panas, itu tak sulit bagi Bapak. Bahkan hampir setiap hari Bapak turun di lapangan sehingga kulit Bapak pun sama seperti saya, mulai gosong hitam, bukan kulit anak Istana yang mulus.
Sebentar lagi KPU mengumumkan hasil akhirnya. Kami percaya dan berdoa agar tidak ada perubahan. Setelah itu Bapak akan dilantik pada Oktober nanti. Selamat bertugas pak. Doa kami yang jauh dari Jakarta ini menyertai tugas Bapak lima tahun ke depan. Sekaligus saya ingin menyapa: Selamat Datang di Larantuka, Kota Tercinta...
Ata Waibalun
12 Juli 2014