Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Titah Demokrasi di Atas Panggung Dangdut

25 Maret 2014   00:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 858 2

Pesta demokrasi yang ‘’tekerdilkan’’ dalam ranah pemilu tinggal menghitung hari. Layaknya sebuah pesta tidak afdol rasanya ketika tidak ada dangdut di atas panggung. Dangdut secara historis sebenarnya merupakan identitas musik populer yang digandrungi oleh kelas masyarakat bawah pada umumnya yang dikenal dalam istilah budaya populer, jauh dari kesan elitis, jauh dari tempat-tempat elitis, umumnya selalu hadir di tempat terbuka, yang selalu menjadi ajang pengumpul masyarakat bawah, hingga tercipta crowded (kerumunan sementara).

Dan itulah kampanye yang selama ini dilekatkan sebagai hakikat berdemokrasi, yang dilihat secara empirik bagaimana hubungan ‘’mesra’’ antara kandidat politik dalam sistem politik elektoral berinteraksi secara ‘’demokratis’’ dengan rakyat sebagai partisipan demokrasi (konstituen).

Dalam konteks tersebut partai politik tak ubahnya adalah organisasi pengumpul massa temporer. Kumpulan individu yang terkumpul tidak serta merta dilandasi oleh kesadaran politik yang kuat, sebagaimana halnya para pengumpul tidak serta merta dilandasi idealisme politik yang kuat. Crowded sebagai kerumunan sementara mencerminkan bagaimana titah demokrasi tergadaikan di atas panggung dangdut.

Alih-alih mendengarkan ceramah politik, jauh lebih menarik bagi masyarakat adalah hiburan dangdutnya. Panggung kampanye menjadi bioskop terbuka bagi publik, dangdut kampanye menjadi hiburan massal bagi kalangan rakyat bawah. Seiring dengan semakin hilangnya akses publisitas hiburan rakyat tersekati oleh kuatnya pengaruh kapital, komodifikasi ruang publik atas hiburan rakyat semakin hilang, yang ada hanya hiburan yang disekati dalam gedung-gedung elitis yang hadir hanya untuk kelas elit. Maka realitas pemilu seolah hanya menjadi ranah temporer rakyat untuk sejenak melepas ekspresi seni yang terkubur dalam-dalam oleh kerasnya sistem sosial berbasis elitis yang hanya melahirkan marginalisasi kelas bawah lewat penguasaan atas akses-akses hiburan.

Pesta demokrasi yang dikenal sebagai pesta rakyat tak lebih dan tak bukan adalah komodifikasi ulang budaya populer lewat dangdut, tanpa ada kenyataan pembentukan kesadaran politik yang jelas. Bukan hanya karena sistem kampanye selalu menjadikan rakyat sebagai objek politik yang terus tereksploitasi, juga menjadi wadah untuk menyebar janji-janji tak terukur, janji-janji yang kadang tidak bisa dinalar secara sehat. Di situlah kemudian dangdut hadir sebagai instrumen yang memperantarai irasionalitas janji politik diterima tanpa dinalar oleh partisipan kampanye. Demokrasi pincang seperti ini lebih mengedepankan luapan kesenangan temporer rakyat sebagai sarana untuk memaksakan kesadaran ketimbang mengedepankan rasionalitas dan dialog politik yang emansipatif.

Masih kuat terdapat persepsi-persepsi ambivalen dalam memandang rakyat, para politikus masih menganggap rakyat bawah sebagai kelas masyarakat yang ‘’bodoh’’, sehingga ketimbang melakukan dialog politik, bagi mereka itu hanyalah kesia-siaan, jauh lebih baik adalah menghiasi kepala rakyat dengan hiburan sambil sekali-kali berteriak hidup partai A…. atau hidup kandidat A…

Distorsi kesadaran politik masyarakat yang terbentuk bukan hanya disebabkan oleh persepsi tidak sehat oleh sistem politik yang hanya menjadikan rakyat sebagai objek yang terus tereksploitasi. Tapi juga distorsi kesadaran rakyat dipengaruhi oleh ketidakjelasan politik ideologis dari kandidat hingga partai. Ibaratkan dalam momentum yang bersamaan rakyat disuguhi oleh janji-janji yang semuanya sama, yang dipaksakan untuk diterima secara dogmatis. Semua partai mengusung jargon-jargon yang sama: ‘’kesejahteraan rakyat, ‘’keadilan rakyat, ‘’melawan korupsi’’, tanpa ada pembentukan pemahaman untuk memahami secara konseptual substansi dari jargon-jargon tersebut, yang membedakan antara kandidat atau antarpartai.

Memang cukup ironis, eksistensi partai di Indonesia terbilang cukup banyak tapi kesemuanya tidak memperlihatkan diri secara mencolok dari sisi ideologis. Yang berbeda dari partai tak ubahnya hanya penggunaan warna bendera masing-masing. Masyarakat menjadi ambigu ketika disodorkan untuk memahami apa perbedaan antara: Golkar, Nasdem, Demokrat, PDIP, atau antara PPP, PKB, PAN, PKS, PBB dll. Semuanya terlihat sama, bukan hanya karena menduduki peringkat teratas sebagai partai yang paling banyak berlomba-lomba mengirimkan kadernya ke rutan KPK, tapi juga gerilya politik para politikus tersebut bagaikan tupai yang kerjanya hanya meloncat dari satu partai ke partai yang lain selama hal tersebut menyuguhkan ambisinya akan kekuasaan semata.

Distorsi kesadaran publik akan partai itulah yang menciptakan corak politik yang khas di Indonesia, yakni sistem demokrasi yang cair, konstituen yang tidak ideologis sebagaimana partai yang tidak ditopang oleh politik ideologis yang kuat, menjadikan relativitas eksistensi partai menguat, sehingga corak politik indonesia adalah satu-satunya corak politik yang tidak mudah ditebak, tidak ada teori politik yang normal untuk memahami secara utuh arah politik Indonesia, apalagi melakukan prediksi-prediksi politik yang valid. Yang terlihat hanyalah sirkulasi politik, perpindahan kekuasaan dari satu partai ke partai lain, yang meninggalkan jejak hampa yang sama. Sirkulasi selalu berputar pada poros oligarki partai, yang dikendalikan lewat parlementary thresould. Dalam posisinya parlementary thresould tadi tak ubahnya menjadi kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dari pelaku oligarki partai-partai besar itu sendiri.

Pesta demokrasi yang selaras dengan makna pesta dangdutan semakin dekat. Tapi satu hal yang jelas bahwa pesta demokrasi elitis yang menguat hari ini, selama masih menjadikan rakyat sebagai konsumen politik yang terus-menerus tereksploitasi, maka selama itu pula pesta demokrasi hanya menjadi ruang kesenangan temporer oleh rakyat yang berakhir begitu saja seiring dengan berakhirnya irama dangdut kampanye politik, setelah itu menunggu 5 tahun kembali, fenomena yang sama terus berulang. Dan kita akan kembali tetap bergelut dengan terror upah pekerja yang kian mencekam, tanah yang terus menyempit, api dapur yang kian redup, isu korupsi yang selalu meledak satu per satu, seiring dengan semakin langkanya bahan bakar minyak.

Kita butuh tradisi politik baru, menggantikan tradisi politik yang sudah usang!.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun