Kampanye berlebihan mengenai positivity ini dikenal juga dengan sebutan toxic positivity. Toxic positivity adalah kepercayaan akan konsep positif yang berlebihan, menuntut seseorang untuk selalu positif di segala keadaan dan mengabaikan emosi negatif (Kojongian, dkk., 2021). Menurut Nurul K. Hidayati, "Toxic positivity ini adalah ketika sikap positif itu kemudian digeneralisasikan ke semua situasi dan mengabaikan perasaan serta emosi negative yang ada. Tidak dirasakan, didengarkan, bahkan tidak diakui keberadaannya."
Penting untuk dapat membedakan antara pesan yang dapat membantu meningkatkan semangat seseorang dan pesan yang mungkin terlihat positif tetapi mendorong emosi yang tertekan dan dapat sangat berbahaya bagi pemulihan dari emosi negatif dalam jangka panjang. Bahaya toxic positivity tidak terbatas pada efek merugikan kesehatan mental saja,tetapi juga dapat digunakan untuk memelihara penindasan dengan membuat orang mengabaikan penindasan yang sedang terjadi dan mendorong mereka untuk selalu "bersikap positif" (Upadhay, dkk., 2022).
Tentu saja toxic positivity ini memberikan dampak negative bagi orang yang terjebak di dalamnya, yaitu:
1.Kesulitan mengungkapkan emosi yang sebenarnya sedang dirasakan.
2.Emosi-emosi yang tidak diungkapkan ini akan menumpuk yang di mana akan memicu terjadinya gangguan mental seperti, anxiety, PTSD, dan gangguan lainnya.
3.Mengabaikan hal-hal buruk yang terjadi disekitarnya, seperti mengabaikan perilaku kasar yang diterima dari orang-orang terdekat dan mudah memaafkan mereka didukung pemikiran positif bahwa nanti mereka akan berubah.
4.Merasa rendah diri bila terlihat tidak baik-baik saja di hadapan orang lain.
Saat kita memberikan pesan atau motivasi yang menurut kita positif kepada orang lain, mungkin tanpa sadar kita mengucapkan hal-hal yang mengandung makna yang negatif. Oleh karena itu, kita perlu memahami ciri-ciri toxic positivity agar tidak merasakan atau menjadi pelakunya.
Beberapa hal yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, antara lain (alodokter.com):
1.Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan, terutama perasaan negatif.
2.Terkesan menghindari atau membiarkan masalah yang sedang terjadi.
3.Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negative dalam diri.
4.Mencoba memberikan semangat atau motivasi kepada orang lain, tapi sering disertai dengan penyataan yang seolah meremehkan, misalnya mengucapkan kalimat “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa”.
5.Sering mengucapkan kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain, contohnya, “kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu”.
6.Melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang tertimpa masalah, misalnya ‘Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?”