Siapa yang menyangka kalau Masa Orientasi Siswa ( MOS ) yang dijalani Roy Aditya perkasa, siswa baru disebuah SMA Negeri di Provinsi Jawa timur akan berujung pada kematian. Ditengarai karena tingkat stress yang tinggi akibat beban tugas yang diberikan sekolah terlalu berat Roy akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada hari kedua pelaksanaan MOS di sekolah tersebut. Peristiwa itu sontak menyedot perhatian publik. Keberadaan MOS sebagai kegiatan "wajib" di sekolah-sekolah dalam menerima siswa baru kembali digugat. Berbagai media kala itu juga mengangkat kasus tersebut sebagai Headline di Koran dan majalah mereka. Meskipun peristiwanya sudah berlangsung lama, tepatnya tiga tahun yang lalu, namun tidak berlebihan kalau persoalan ini kembali diangkat mengingat tahun ajaran baru 2012/2013 akan dimulai. Itu berarti siswa baru akan menjalani Masa Orientasi Siswa sedikitnya tiga hari sebelum mereka secara resmi diterima menjadi warga di lingkungan sekolah yang mereka pilih. Jadi kalau tulisan ini mengulas kembali tentang keberadaan MOS ditinjau dari berbagai aspek, termasuk kerisauan orang-tua akan keselamatan anak-anak mereka, anggaplah ini sebagai wujud partisipasi dan kerinduan kita terhadap kegiatan MOS yang berkualitas dan memiliki nilai edukasi tinggi. Bukan mengada-ada, meskipun tidak sampai merenggut nyawa, fakta di lapangan setiap tahun kita masih melihat betapa ajang MOS kerapkali dimanfaatkan oleh para senior untuk "mengerjai" adik kelas mereka. Setidaknya dari atribut yang harus dikenakan sampai kepada tugas- tugas yang dibebankan yang terbilang aneh jelas mengindikasikan betapa superior kakak-kakak kelas masih mendominasi dalam setiap MOS yang diselenggarakan sekolah-sekolah. Padahal mengacu kepada permendiknas no.39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan pada Bab Satu dijelaskan bahwa tujuan pembinaan siswa harus memenuhi empat point yaitu : Pertama, mengembangkan potensi optimal siswa. Kedua, memantapkan kepribadian siswa untuk ketahnan sekolah. Ketiga, Mengaktualisasikan potensi siswa sesuai bakat dan minat. Serta ke empat, menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia. Dari ke empat point di atas jelas menunjukkan betapa tindak kekerasan tidak memiliki tempat dalam proses pembinaan siswa termasuk dalam pelaksanaan MOS. Tindak kekerasan dimaksud bukanlah semata-mata ditujukan kepada bentuk kekerasan fisik saja melainkan lebih jauh lagi menyentuh kekerasan secara psikis. Kekerasan psikis dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai beban tugas yang diluar kewajaran dan terkesan mengada-ada. Sau contoh, tugas mendapatkan sekian banyak tanda-tangan senior dan berbagai elemen sekolah lainnya. Tugas ini meski terlihat sederhana tapi impikasinya tidak jarang membuat siswa baru menjadi stress. Betapa tidak, selain tanda-tangan yang dikumpulkan harus memenuhi angka kecukupan yang ditetapkan panitia tingkah-polah orang-orang yang dimintai tanda tangan juga selalu
over. Memberi tugas macam-macam,
njelimet , dan tidak jarang ngawur sebelum mengabulkan permintaan mereka. Jadi hanya untuk memburu satu tanda-tangan, seorang siswa harus bersusah-payah menguras energi yang besar. Padahal relevansinya dengan tujuan pendidikan menciptakan generasi yang cinta ilmu dan memiliki budi pekerti nyaris tidak kelihatan kecuali dalih usang, menjajal ketahanan mental mereka. Selain daripada itu hal lain yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan MOS adalah Jadual acara yang dikemas panitia MOS. Sulit menafikan mayoritas sekolah lebih memilih
copy-paste kegiatan MOS dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada terobosan maupun inovasi baru yang dianggap mampu membuang rasa jenuh siswa. Karena kebanyakan acara MOS biasanya bersifat
in door dan diisi dengan ceramah yang terkesan monoton. Pengalaman belajar yang menyenangkan
( Fun learning ) hampir tidak mereka dapatkan. Ini tentu harus dirubah jika sekolah memang menginginkan
brand image yang baik tertanam di benak siswa baru terhadap sekolah baru mereka. Solusinya tidaklah terlalu sulit. Cukup dengan mengangkat hal-hal aktual terkait dengan pengalaman hidup yang mereka rasakan sehari-hari seperti : Kenakalan remaja, pengaruh sex bebas terhadap kejiwaan, tertib berlalu-lintas, damfak negatif-positif IT, dan lain sebagainya. Kesemua thema di atas manakala dikemas dengan baik dan profesional baik itu dari sudut penyampaian yang didukung oleh fakta dan data dalam bentuk slide dan film documenter, maupun pemateri yang kredibel dengan menghadirkan secara langsung ahli yang pakar di bidangnya seperti : Polisi, dokter, pelaku media, psikolog , dan lain-lain, tidak bisa tidak akan membawa pengaruh positif kepada siswa mengingat apa yang mereka dengar sinkron dengan apa yang mereka lihat. Aspek sinkronisasi merupakan kata kunci dalam proses pembinaan siswa. Kita sekali-kali tidak boleh memandang remeh hal ini. Remaja sekarang tumbuh dan besar di tengah kemajuan tekhnologi yang sedemikian canggihnya. Dalam bebeapa hal terkadang mereka jauh lebih pintar dari guru maupun orang tuanya. Olehkarena itu menceramahi mereka dengan nilai-nilai kebaikan tanpa dibarengi data akurat maupun fakta yang nyata hanya akan membuat mereka apatis, skeptis bahkan menuding kita sebagai pendongeng pengantar tidur. Sehingga untuk bisa didengar dan dipatuhi sinkronisasi antara ucapan dan perbuatan mutlak ditunjukkan secara nyata dan berkesinambungan. Begitu pula dalam mengajarkan nilai-nilai social kemasyarakatan. Tidak bisa hanya sebatas teori. Kita harus mengimplementasikannya dalam bentuk praktek lapangan . Mengumpulkan dana atau barang-barang bekas layak guna misalnya. Bisa dilakukan dengan melibatkan siswa dalam penyaluran secara langsung ke orang yang membutuhkan. Cara ini dipandang efektif dalam membangun rasa solidaritas anak terhadap sesama karena mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang sisi lain dari kehidupan yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan. Selain daripada itu berbagai kegiatan positif lainnya bisa dilakukan selama pelaksanaan MOS seperti : membawa siswa membersihkan sungai, mengorek got, atau berkunjung dan berdialog dengan masyarakat pinggiran yang secara manusiwi dan ekonomis termarjinalkan. Aktivitas ini baik langsung maupun tidak jelas sangat membantu tugas guru dalam mengajarkan kebaikan budi pekerti kepada anak didik. Dimana guru tidak lagi perlu bercerita panjang lebar tentang manfaat sungai bagi kehidupan karena mereka sudah melihat langsung kerusakan sungai yang ada. Demikian pula beratnya mengorek parit yang busuk dan kotor akan menyadarkan mereka tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tanpa guru harus berceramah berjam-jam lamanya. Begitupun tentang pentingnya mensyukuri nikmat. Dari interaksi yang mereka lakukan meskipun tidak lama sedikit banyak akan menggugah akal sehat anak ternyata masih banyak orang lain yang lebih menderita dibanding kehidupan yang mereka jalani. Hal ini pada gilirannya akan mendorong anak untuk mampu menghormati orang lain meskipun dari strata social yang berbeda. PENUTUP Terlepas dari sisi negatif dan positifnya, pertanyaan mendasar kita adalah perlukah kegiatan MOS dihentikan ? Jawabannya tentu tidak. MOS tetap diperlukan sebagai langkah awal pengenalan lingkungan sekolah bagi murid baru. Selain itu MOS juga dinilai efektif dalam membantu siswa berinteraksi baik dengan siswa lama maupun yang baru. Unsur yang dipandang sangat membantu bagi kelancaran dan kenyamanan mereka selama menuntut ilmu di sana. Akan tetapi sistem atau pelaksanaannyalah yang perlu dimodifikasi. Bagaimana memastikan susunan acara yang dipilih benar-benar selektif dan berkualitas serta tersetting dalam format acara yang tertata rapi. Jauh dari budaya penggojlokan atau unjuk kekuatan. Sehingga pada gilirannya siswa menjadi termotivasi dan memiliki
spirit yang tinggi untuk belajar. Disamping tentu bagaimana mengkondisikan lingkungan sekolah menjadi lingkungan yang nyaman dan kondusif penuh nuansa kebersamaan dan kekeluargaan. Jika ini yang berhasil dimunculkan, maka makna sejati dari MOS sebagai Masa Orientasi siswa dipastikan sudah tercapai dengan baik. Sebaliknya jika tidak, maka Terminologi MOS sebaiknya diganti saja dari Masa Orientasi Sekolah menjadi Masa Orangtua Stress karena kecemasan orang tua terhadap keselamatan anaknya yang begitu tinggi. Tentu saja bukan itu yang kita harapkan. Semoga pada MOS tahun ini semua fihak bisa memastikan segalanya berjalan sesuai aturan. Sehingga dengan demikian kita tidak lagi mendengar ada siswa yang menjadi korban dari program MOS yang sejatinya baik dan benar.(**)
KEMBALI KE ARTIKEL