Sebelumnya aku di panggil oleh pihak keuangan sekolah, terkait dengan beberapa diktat dan iuran lainnya yang belum di bayar. Pak Kustiwa, adalah satu-satunya guru yang bertanya kepadaku “ kenapa” ?. tentu saja kujawab.” Belum ada kiriman dari orang tua”. Dan memang benar adanya, selama 6 bulan lebih tidak ada wesel, kadang aku harus menahan lapar, ketika jam istirahat tiba, mushola adalah pelarian dari godaan jajanan kantin yg menggiurkan.
Pak Kustiwa menawariku pekerjaan, dia mennyuruhku datang ke jalan proklamasi, simpang empat Bojong Anggrek, Garut. Berjalan kaki dari gordah ke tempat itu sedikit melelahkan. Ternyata bojong anggrek adalah tempat berderetnya pemandian mobil angkutan umum, tempatku persis di dekat sebuah mesjid ( dulu mesjid itu masih dalam tahap pembangunan ). Setelah aku di perkenalkan dengan pemilik pemandian tersebut, Pak Kustiwa sempat menemaniku belajar mencuci mobil denganku dan ia menungguiku hingga malam.
Mencuci mobil bukanlah pekerjaan enteng, siap dengan cuaca panas atau sebaliknya. Turun naik tangga mengelap kaca bus, di maki sopir angkot dan siap menunggu hingga larut malam. Tariff cuci mobil waktu itu untuk angkot Rp 5000. Pembagiannya Rp. 1000 untuk pemilik pemandian , sisanya untuk upah pencuci. Bila angkot di cuci oleh dua orang, kami kebagian Rp 2000 /orang. Sedangkan untuk truck dan bus biasanya Rp 10.000-15.000 dengan tenaga 4 orang untuk mengerjakan.
Setiap hari, sehabis jam sekolah kujalani rutinitas itu, pendapatanku bisa mencapai Rp 10.000-15000 per harinya.cukup untuk membayar sewa kos dan terhindar dari bencana lapar. Setelah tiga bulan bekerja, kaki mulai pecah-pecah dan gatal, encok mulai menyerang, kadang tak bisa tidur semalaman dan terpaksa, harus di bayar dengan tertidur pulas di bangku kelas. Selain itu, mengerjakan PR pun harus di pemandian, berbagi dengan rekan kerjaku yang sama-sama pelajar, Alo namanya.
Semua derita itu hilang, ketika menyadari bahwa diri in mampui mandiri, berkata pada orang tua” tidak usah repot kirim uang lagi”. aku sering berbagi cerita dengan Onyas ( rekan sekolah yg berjualan rujak di terminal untuk biaya sekolah ), saling mengisi diskusi kritis dengan Enjang anak Limbangan tentang kebijakan sekolah yang dinilai tak adil. Menyelami wirausaha Yanto pemilik gulali di bayongbong, dan sekelumit cerita lainnya tentang para pelajar sepertiku, yang harus membagi waktu antara peljaran dan pekerjaan. Ternyata, demi menduduki bangku di gedung sekolah bertingkat tiga dan mewah butuh perjuangan dan pengorbanan, meskipun aku tak mampu melewatinya hingga tuntas. Di sekolah pindahanku yang baru, aku pun bertemu dengan sosok Ade Mustafa. Pelajar tekun itu bahunya lecet memikul tanggungan batagor, demi iuran sekolah.
Terlihat sedih dan kecewa wajah Pak Kustiwa, ketika aku tak dapat meneruskan lagi pelajaran di sekolah itu,aku telah mengecewakan guru terbaiku. Onyas, Enjang Hasanudin, Alo tak mampu berbuat banyak atas keputusanku……..setelah itu, sekian tahun kemudian aku mengenal kalimat “ Orang Miskin Dilarang Sekolah”.
( di tulis dari buku harian “ remaja yg hilang" Garut 2001 )