Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

SDM Kesehatan & Ketidakadilan Pada Peserta JKN

31 Desember 2014   04:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:08 224 1
Jumlah peserta yang terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 131,9 juta jiwa.1 Pencapaian ini merupakan suatu bukti bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional ini menarik minat masyarakat dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Dan bukan tidak mungkin pada tahun 2019 seluruh warga negara Republik Indonesia sudah terdaftar menjadi peserta JKN.

Tetapi apakah nantinya dengan terdaftarnya seluruh warga negara Indonesia itu dapat diartikan bahwa kita sudah mencapai universal health coverage? Ternyata jawabannya dapat dijawab dengan tegas yaitu: Tidak.
Menurut WHO, konsep Universal Health Coverage tidak hanya dilihat dari dimensi jumlah peserta yang dicover saja tetapi juga dilihat dari dua (2) dimensi lainnya yaitu: extend of benefit package dan percent of cost sharing. Artinya apabila (1) seluruh warga negara sudah menjadi mempunyai jaminan, (2) paket manfaat yang diterima tidak ada batasan dan (3) tidak adanya iur biaya yang dilakukan, maka apabila ketiga hal tersebut dapat dilaksanakanlah baru dapat diklaim bahwa universal health coverage telah dicapai.

Prof. Ascobat Gani sebagai salah seorang ahli kesehatan masayarakat menjelaskan bahwa teori WHO diatas masih memiliki kekurangan. Universal Health Coverage baru dapat dicapai dengan menambahkan dimensi akses terhadap publik health dan dimensi akses terhadap sarana pelayanan kesehatan ke dalam konsep WHO tersebut.
Dimensi akses terhadap public health dibutuhkan untuk menurunkan angka atau kasus penyakit khususnya terjadinya penyakit yang dapat menyebabkan katastropik sedangkan akses terhadap sarana pelayanan kesehatan dibutuhkan agar peserta jaminan tersebut benar-benar memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkannya, apa gunanya mempunyai jaminan tetapi tidak mempunyai akses terhadap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan.

Akses pelayanan kesehatan tentunya bukan hanya sarananya saja tetapi juga tentunya ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan SDM Kesehatan dan ketersediaan obat-obatan serta sarana penunjang lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Seharusnya sejak awal pembuatan kebijakan program JKN, hal ini juga sudah menjadi perhatian karena sesuai dengan The Health Policy Triads (Trias Kebijakan Kesehatan) yang terdiri dari equity, efficiency dan efectiveness, maka dimensi equity yang menggambarkan keluasan akses untuk memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut.
Dilemanya dalam penerapan JKN sekarang ini adalah adanya keterbatasan atau kekurangan tenaga SDM kesehatan di sarana pelayanan kesehatan serta ketersebarannya yang tidak merata dimana tenaga dokter spesialis hanya terdiri dari 38.866, dokter umum 42.265, dokter gigi 13.092, perawat 295.508, bidan 136.606, kefarmasian 46.336, tenaga kesehatan lainnya 125. 349. Sedangkan tenaga lainnya diluar tenaga kesehatan yang ada di sarana pelayanan kesehatan ada sebanyak 193.875. Sedangkan untuk ketersebarannya, 48,87% dari total tenaga kesehatan berada di pulau Jawa dan Bali, 26.3% berada di Sumatera, Nusa Tenggara 4,01%, Kalimantan 7,5%, Sulawesi 9,48%, Kep. Maluku 1,79%, dan Papua 2,06%. 2

Dari data diatas terlihat bahwa terjadi penumpukan SDM kesehatan di Pulau Jawa dan Bali sedangkan wilayah lainnya diluar pulau Jawa masih sangat sedikit SDM Kesehatannya. Data ketersebaran yang sudah jomplang itu masih merupakan data SDM Kesehatan secara keseluruhan, belum lagi kalau kita melihat data secara khusus per profesinya seperti data Dokter Spesialis, dokter umum, dokter gigi, apoteker dll tentunya akan lebih jomplang lagi ditambah kita akan mendapatkan data bahwa para SDM Kesehatan ini akan lebih banyak berada di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan.

Jadi dimana letak adil dan merata yang ditawarkan oleh JKN bila dilihat dari data SDM Kesehatan diatas serta data ketersebarannya. Bagaimana mungkin masyarakat di luar Pulau Jawa akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama dengan yang ada di pulau Jawa jika SDM Kesehatannya saja tidak ada? Belum lagi dilihat dari sarana dan prasarananya? Bagaimana pula dengan kinerja dari SDM Kesehatan yang ada?
Seharusnya dari awal perencanaan program JKN, ketersediaan dan ketersebaran SDM Kesehatan sudah menjadi perhatian karena Undang-undang yang mengamanatkan pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional sendiri sudah diketok palu sejak tahun 2004.

Menurut Yaslis Ilyas dalam bukunya Perencanaan SDM Rumah Sakit menyebutkan bahwa perencanaan adalah: (1) Pembicaraan mengenai masa depan, (2) Digunakan untuk mengontrol masa depan, (3) Meramalkan kondisi yang akan ditemui dengan menggunakan data-data indikator, (4) Merupakan keputusan bersama dalam organisasi atau institusi, (5) Harus dibuatkan dalam bentuk keputusan yang formal sehingga semua yang terkait dapat berperan sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Selain itu, karena bersifat formal maka perencanaan itu tidak dapat dibuat asal-asalan atau hanya main-main saja.

Tetapi perencanaan sudah tinggal perencanaan, sekarang program JKN sudah dijalankan dan kenyataan yang harus dihadapi adalah bahwa ada ketidak adilan terhadap peserta JKN terkait akses pelayanan kesehatan dan penerimaan pelayanan SDM Kesehatan yang bermutu. Permasalahan ini tidak dapat dibiarkan seperti itu saja tetapi harus segera diselesaikan agar ketidakadilan ini tidak berlanjut lagi. Solusi yang dapat ditawarkan oleh penulis yaitu:

1. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus menambah akses pelayanan kesehatan baik dengan cara membangun sarana pelayanan primer dan sekunder di luar pulau jawa
2. Menarik investasi swasta untuk pembangunan sarana pelayanan kesehatan primer dan sekunder diluar pulau jawa, dapat dimulai dengan memperpendek jalur biroksasi pendirian sarana pelayanan kesehatan dan menghilangkan pungli – pungli yang mungkin ada dalam proses pembangunan tersebut
3. Menerapkan kembali program PTT tetapi tidak hanya untuk profesi dokter/dokter gigi/bidan saja tetapi juga untuk SDM Kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus direvie dan dievaluasi dengan ketat sehingga tidak ada SDM Kesehatan yang tidak berpraktek di tempat penugasannya.
4. Memberikan insentif yang lebih, baik itu dari pemerintah pusat, daerah maupun BPJS untuk tenaga kesehatan yang bersedia ditempatkan di wilayah-wilayah terpencil sehingga tidak terjadi gap pendapatan yang terlalu besar antara tenaga kesehatan di perkotaan dengan yang dipedesaan.
5. Ketidakbersediaan SDM Kesehatan ditempatkan di wilayah terpencil bukan hanya disebabkan aktpr penghasilan tetapi juga faktor keluarga, sehingga perlu kepedulian dari pemerintah untuk meratakn pembangunan di bidang lainnya seperti pendidikan dll.

Perguruan tinggi sebagai produsen SDM Kesehatan harus di stimulus untuk memproduksi SDM Kesehatan tidak hanya dari sisi kuantitas saja tetapi juga dari sisi kualitas

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun