Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Koalisi, Siapa Membutuhkan Siapa?

26 April 2014   17:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10 53 1
Semua partai peserta pemilu tidak mencapai batasan minimal baik di 'suara' maupun di 'kursi' untuk bisa mencalonkan calon presiden sendiri, kecuali  bila mendapat dukungan dari sebuah/beberapa partai lain.

Dalam hal ini PDI-Perjuangan lebih beruntung karena telah mendapatkan pendukung, yaitu partai Nasdem, yang katanya tanpa syarat mendukung 100%.  Ini sudah cukup (hasil hitung cepat sdh mencapai 20% suara).
Bahwa dukungan dari hanya satu patai saja belum akan efektip mendukung jalannya pemerintahan kelak bila terpilih memimpin negeri ini, itu persoalan gampang. Karena kebiasaan yang terjadi di Indonesia dari beberpa periode yang lalu, setelah satu kelompok dinyatakan menang pemilu (presiden) akan datang sendiri partai2 lain menawarkan diri untuk berkoalisi, tentu dengan harapan kepada mereka minimal mendapat jatah menteri-lah.
Ini juga yang mungkin menjadikan PDI-Perjuangan tidak terlalu agresif lagi untuk mencari dukungan lain seperti dari PKB yang sudah terlihat kecenderungannya untuk lebih memilih PDI-P dari pada partai lainnya. Tetapi mengapa ini tidak segera diputuskan oleh PKB ? ya, tentu karena dengan suara yang cukup lumayan, PKB mungkin 'ingin' dilamar agar bisa memasang harga, yaitu calon wakil presiden. Padahal disatu sisi,  PDI-P tidak menginginkan posisi 'wakil presiden' ini menjadi bahan negesiasi, walaupun misalnya PDI-P  sebenarnya juga berminat pada Jusuf Kalla, maupun pada Mahfud Md yang disodorkan oleh PKB.  PDI-P tetap tidak akan menjadikan mereka sebagai mahar. Dan ini membuat PKB sedikit bimbang. Menunggu PDI-P, tidak ada kepastian, tapi bergabung ke Capres yang lain (atau poros Islam ?) merasa tidak nyaman.

Golkar dan Gerindra, lain lagi. mereka harus segera bergerak mencari teman karena mereka, baik Golkar, maupun Gerindra, masing2 membutuhkan lebih dari satu partai untuk mau bergabung  agar bisa mencapai batasan minimal yang disyaratkan untuk bisa mengusung presiden sendiri. Hal yang sama juga berlaku pada partai Demokrat, dan PKB sendiri, kalau mereka juga ingin maju dengan calon presiden sendiri.
Persoalannya menjadi sedikit dilematis ketika harus mencari kawan lebih dari satu, lalu bagaimana caranya membagi porsi 'wakil presiden' yang cuma satu itu?  Disini 'siapa membutuhkan siapa' menjadi relevan.

Koalisi sendiri lebih dimaknai sebagai kerja sama di parlemen demi mendukung keefektipan pemerintahan. Tapi karena itu dibutuhkan sekarang untuk bisa maju dengan calon presiden sendiri, maka mau tidak mau, bagi2 kursi harus lebih dulu dibicarakan sebelum diputuskan siapa berkoalisi dengan siapa. banyak pilihan. Partai2 yang setelah perundingan, bila merasa tidak menguntungkan, masih memungkinkan untuk mengalihkan dukungan ke Capres yang lainnya. Konsekwensinya bagi partai yang menjadi poros, bisa saja GAGAl maju sebagai Capres karena kekurangan suara/kursi.

Partai Demokrat mungkin bisa lebih unggul mengingat 10 tahun terakhir mereka punya ikatan koalisi dengan PAN, PPP, PKS, dan PKB. Begitu juga dengan Golkar. Tetapi karena Golkar menjadi Poros sendiri, dan agaknya mustahil ARB mau turun derajatnya menjadi 'Wakil', maka sulit dikatakan Golkar mau bergabung dengan Poros Demokrat. Atau sebaliknya ? Jago dari Demokrat menjadi 'Wakil'nya ARB ?
Bila Poros Demokrat yang jadi dengan komposisi seperti diuraikan sebelumnya, maka hampir dipastikan Poros Golkar (dengan Hanura-nya), dan poros Gerindra (dengan PPP-nya ?) pasti gigit jari, akan GAGAL untuk maju sebagai Capres.

Kalau Demokrat + PAN + PKB bergabung,  Golkar dan Hanura,  Gerindra dan PPP (?), maka PKS-lah yang menjadi bandul yang berayun antara ARB dan Prabowo, itupun kalau PPP benar bergabung dgn Gerindra.

Seru.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun