Selasa, 4 Oktober 2011
Ada yang meronta dalam jiwa. Ingin keluar selayaknya muntah. Pagi tadi aku belajar satu hal lagi tentang manusia. Manusia selalu merendahkan diri.
Sampai batas langit senja merah tak bernyawa, aku tetap meragukan kemampuanku mengajak kata-kata berkompromi ria. Sepertinya aku bukan pialang kata yang baik, bahkan untuk diriku sendiri. Sesuatu mengejarku tak karuan. Sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang membuatku penat dan merasa bersalah. Aku tak ingin menjadi Nurhayati Sri Hardini. Kupatrikan itu dalam benakku sekali lagi. Mengeja, N H D I N I, dalam hati aku tersenyum kecut. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tentunya hal itu dikarenakan aku tak selumrah dia dalam mengolah bahasa biasa menjadi tidak biasa.
Aku merasa kehilangan. Tak mengungkap kata. Sering aku berpikir, kata mulai bosan dan muak dengan cara berpikirku, karena itu mereka pergi beramai-ramai meninggalkanku dengan selembar kertas kosong dan pena bercap faster yang hampir habis isinya.
Aku menghabiskan malam sia-sia. Tidak mengerjakan tugasku. Tidak membaca panduan microeconomy, social budaya berhalaman 120 lembar, system politik yang penuh dengan artikel, statistic, tidak mengerjakan soal matematika bisnis atau apapun itu. Untuk sementara, aku merasa sia-sia. Ini seperti perasaan bahwa kau bisa melakukan apasaja, tapi semuanya tidak memiliki arti apapun. Aku tidak mengenal kata-kataku lagi. Tidak, aku tidak mencintai kata-kataku. Kesalahan. Aku harus berbuat kesalahan. Untuk apa? Untuk mengerti bahwa kesalahan yang membentuk kepribadianku. Apa gunanya kepribadian? Entahlah. Mungkin berguna untuk membantuku mengarang sebuah kata. Tapi kata-kata pun tidak berteman dengan kesalahan. Atau, kesalahan yang tidak mengerti kata-kata.
Aku tidak mengikuti kuliah matematika bisnis yang papan tulisnya dipenuhi dengan angka-angka. Sejauh 3sks dikali 3jam, aku hanya memandangi wajah dosenku yang sangat mirip dengan bapatuaku yang sangat kukenal. Lalu 3jam pun berlalu. Sore yang dingin untuk kembali secepatnya dirumah. Sambil menyudut diujung koridor, aku mendengar dengan seksama temanku bercerita. Tentang dirinya dan hidupnya yang tak memiliki konsekuensi. Dia tidak menciptakan konsekuensi. Kenapa? Tiba-tiba aku menyela perkataanya. Dia bilang dia tidak ingin menciptakan ruang kesalahan, dia hanya berkompromi. Dengan waktu dan jalan hidup yang mengalir seperti air. Dia hanya ingin seperti air, mengalir kemanapun dia harus mengalir. Aku membisu, tidak memberi beberapa kata. Kupikir, kata-kata pun tak akan keluar dari otakku sore tadi. Aku menciptakan konsekuensi. Tapi terkadang aku takut pada konsekuensi itu sendiri. Bahkan banyak yang kuhindari. Aku menciptakan konsekuensi hanya untuk menciptakan tambahan waktu untuk benar-benar melakukan sesuatu. Tapi yang terutama aku hanya ingin dinilai “BAIK” oleh sekelilingku, namun hanya saja “BAIK” tidak cukup untuk hidup.
Aku tidak lagi membicarakan tentang dia. Siapa dia? Yang mengganggu waktuku mengarang kata? Aku tidak suka padanya. Itu hanya perasaan obsesi dari rasa kebutuhan ingin diperhatikan. Aha! Aku menemukan alasannya. Kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul secara misterius dalam benakku. Obsesi dari rasa ingin diperhatikan. Berlebihan dan memuakkan.
Lalu siapa aku yang harus diperhatikan?
Aku bukan siapa-siapa. Untuk dunia dan pikirannya.
Selalu, bahasa pun tak berpihak ketika aku memikirkannya. Mereka tidak peduli. Mereka pergi. Aku butuh bahasa dan kata-kata kembali untukku. Ini perasaan dari rasa ingin diakui. Bahkan oleh beberapa kalimat saja.