Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sepasang Sandal Dari Jakarta

7 April 2011   11:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:02 90 1
Aku seret kenangan dalam malam beruban, menua di dinding kamar. sepasang rindu hinggap di jendela. Ada yang tak boleh dibisikkan kepada siapa-siapa. Selain membingkainya dalam udara. Aku tidurkan angin di lantai dua, ada yang berangkat tiba-tiba. Seperti musim lenyap. Hari-hari semakin gaduh karena galau luput kubereskan. Dari lagu dan puisi yang dibacakan, aku temui derap dan orang-orang yang tersungkur di tanah sendiri. Bulan mengaduh bersama orang-orang yang menahan lapar. Sepasang kelelawar saling cakar berebut makan. Lampu-lampu di sepanjang trotoar menahan kantuk bertahun-tahun. Jakarta memaksanya. Demi gedung-gedung yang anggun, aku selimuti diri dengan kagum. Mengantar kekasihku melewati gang-gang sempit. Memeluk pinggangnya. Cinta menjadi ranum seketika. Jakarta redup dibuatnya. Kunyalakan sebatang rokok sambil menerangi jalan-jalan sepanjang kenangan, seperti sembuh dari sakit. Aku kembali dihidupkan. Mengepul bayang-bayang kekasih lama yang menerjunkan imaji ke jurang birahi. Sementara, kegagalan terus saja menyambutku setiap kali hendak tidur. Ada yang mencekikku setiap kali aku bangunkan imaji tentang kekasih baruku. Matanya biru dan tajam, dipaksanya aku minum secawan kenangan. Sambil mendongeng tentang kerajaan di bulan. Di antara gaduh yang jarang bisa kuterjemahkan dengan kepala dingin, jarum jam berjejal dalam kepalaku tak ubahnya jalan macet. Waktu bagai siput, menelantarkanku di jendela kamar. Menghirup udara kotor tepi jalan. Saat puisi sempoyongan, Aku tak butuh cinta dengan tafsir yang diberat-beratkan, juga tak butuh definisi untuk menandakan rasa. Namun, bibirmu mesti paham. Suatu saat hujan di kotamu akan berisyarat lain; petaka musiman. Dan kita tetap tak mampu menandai cericit pipit di dahan sebagai bahasa alam yang sederhana. Karena, dari kolong-kolong jembatan hingga bantaran sungai, tangan-tangan kekuasaan tetap tak sudi menjangkau perut lapar. Begitupun, bendera partai terus saja berkibar. Lahir dan besar di kotamu, mestilah disebut bencana. Jika masa lalu dan masa depan saling menuding, Jika antara kau dan aku masih bisa melewatkan malam tanpa mengaduh, mengapa masih saja menghafal kata-kata itu terus menerus setiap membuka pesan singkat. Selang beberapa malam yang lalu, ketika katak sedang bersetubuh di musim hujan. Kembali aku temui jalan panjang meliuk-liuk dalam darahku, otakku kram. Kata-kataku tak sebaik bait qasidah dengan nasihatnya yang manjur, karena aku tau kata cinta lebih cenderung membunuh pelan-pelan jika kita sedang mabuk dibuatnya siang-siang;. Adakah obat penenang jika hati sedang rawan. Sementara, dari jendela kamar aku hanya mampu mengungkapkan gumam lebih baik jika sedang perut kenyang. Kamu tau?. Aku pernah terseret-seret di jalan, mengenal satu persatu lubang. Dimana aku harus melangkah tanpa sandal. Tanpa siapa-siapa, hanya mengandalkan suara azan di kubah mesjid. Dan aku sampai padamu bukan tanpa cela, tapi cinta juga penuh jebak aksara, yang jika salah tafsir bisa celaka. Maka, kepercayaan jadi barang mahal. Saat perasaan tak dapat direbut kembali dari rongrong suasana hati yang tak nyaman. Percayalah, dengan sandal yang kubawa dari Jakarta. Aku paham jejaknya akan terus ada. Juli wal oktober 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun