Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Rohingya : Sebuah Etnis yang Tidak Memiliki Negara

17 Juni 2024   14:35 Diperbarui: 17 Juni 2024   20:27 54 0
Rohingnya? Ya, sebuah etnis yang tidak asing didengar oleh telinga beberapa negara di Asia, khususnya di Indonesia belakangan ini. Etnis tersebut berasal dari salah satu negara Asia Tenggara yaitu Myanmar tepatnya Gwa Son salah satu desa Rakhine, pada 2016 desa ini sebagaimana desa pada umumnya. Namun 2 tahun berselang desa tersebut sudah rata dengan tanah, desa ini masih utuh setahun setelahnya lenyap bahkan otoritas Myanmar menghapus desa ini dari peta. Junta militer Myanmar membumihanguskan desa-desa di Rakhine yang mayoritas dihuni oleh orang-orang Rohingya dan dibangunlah sebuah tempat untuk persenjataan militer Myanmar, orang Rohingnya tercatat mendiami Myanmar sekurang-kurangnya sejak awal abad 12 mereka tinggal dikawasan Arakhan (sekarang Rakhine) dan dekat Bangladesh. Sebagian besar dari mereka beragama Islam, nama "Rohingnya" pertama kali muncul dalam literature Inggris yang ditulis Francis Buchanan-Hamilton, ahli fisika dan geografi. Artikelnya rilis pada tahun 1799 dan menyebut kata "Rooinga". Penjelasan lebih lanjut dari "Rooinga" adalah mereka yang sudah lama tinggal di Arakhan atau warga asli "Arakhan". Pada tahun 1823, Inggris melakukan ekspansi ke Myanmar dan mendatangkan pekerja dari India dan Bangladesh untuk produksi teh, namun etnis Rohingya meninggalkan negara tersebut karena konflik, namun kedatangan orang dari India dan Bangladesh sungguh memalukan bagi masyarakat dari Myanmar. Alasannya adalah karena pemerintah kolonial cenderung memberikan hak istimewa kepada para imigran dengan memberi mereka banyak pekerjaan di pemerintahan dan pada saat yang sama mengizinkan mereka untuk menampung mereka, karena mereka percaya bahwa hal ini tidak mendukung kelangsungan atau kelangsungan hidup raja Burma Situasi ini menimbulkan sentimen terhadap Rohingya, yang akhirnya terkait dengan kolonialisme Inggris dan terus diperlakukan sebagai bahan bakar demokrasi liberal, yang berujung pada kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1948. Pada awal tahun 1980-an, pemerintah militer Myanmar menerapkan kembali pembatasan kewarganegaraan dan semakin menutup pintu bagi warga Rohingya. Dalam aturan baru tersebut, terdapat tiga bentuk kewarganegaraan, salah satunya adalah naturalisasi. Meskipun proses naturalisasi mengharuskan pemohon untuk memenuhi persyaratan seperti bukti tempat tinggal di Myanmar sebelum tahun 1944 dan kemahiran dengan salah satu dokumen tersebut, banyak orang Rohingya yang tidak memiliki tempat tinggal sebelumnya di Myanmar sebelum tahun 1948. Mereka tidak memilikinya karena bukti tersebut juga tidak ada atau negara memblokirnya. Akibatnya, etnis Rohingya tidak termasuk dalam 135 kelompok etnis yang diakui negara sebagai penduduk Bangladesh yang masuk ke Myanmar secara ilegal. Sekitar 200.000 orang Rohingya kemudian memutuskan untuk bermigrasi ke Bangladesh. Karena mereka dianiaya di Bangladesh, mereka tidak lagi mempunyai kewarganegaraan, dan karena alasan hukum mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menggunakan hak-hak dasar mereka. Sebuah camp pengungsian pun dibangun oleh pemerintah Bangladesh di sebuah Distrik Cox's Bazar, namun juga tidak menemukan titik terang terhadap kehidupan yang lebih layak karena banyak dari pengungsi yang meninggal dunia dikarenakan air yang buruk dan terkontaminasi oleh serangan bakteri. Bahkan pengungsi di Cox's Bazar sangat melebihi jumlah penduduk yang ada ketimbang Daha yang notabenenya berstatus sebagai ibu kota Bangladesh. Akhirnya pemerintah Bangladesh sendiri dalam beberapa kesempatan mengaku kewalahan dan akhirnya bersepakat dengan pemerintah Myanmar untuk melakukan repatriasi atau pengembalian pengungsi jumlah pengungsi yang dikembalikan bakal bertahap soalannya balik ke Myanmar tetapi, masyarakat Rohingnya tidak mau karena masih trauma dan ketakutan bakal dipersekusi untuk kesekian kalinya. Saat ini, banyak pengungsi Rohingya yang meninggalkan Bangladesh dan mencari rute alternatif ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dapat mengakibatkan mereka menjadi korban human trafficking atau tenggelam di laut. Dan kenapa pengungsi rohingnya ditolak dimana-mana? Jika masyarakat Rohingya ingin mencari tempat yang lebih baik untuk mencoba peruntungan, sebagian besar dari mereka harus menerima kenyataan bahwa banyak negara menutup pintu bagi mereka. Bahkan negara-negara yang sebelumnya bersedia menerimanya, seperti Thailand dan Malaysia, kini harus menerimanya. Mereka tidak ingin lagi berurusan dengan pengungsi Rohingya karena tersebut tidak mau mengikuti aturan-aturan masyarakat. Menurut NPR, alasan Thailand tidak menerima hal tersebut karena Thailand yang dulunya menerima pengungsi ternyata banyak kasus baru, seperti ini banyak pengungsi ilegal yang luput dari perhatian Thailand dan akhirnya menimbulkan masalah. Kasus-kasus kriminal seperti penyelundupan, pencurian, bahkan kekerasan yang dilakukan oleh pengungsi sering terjadi, dan sikap serupa berujung pada tindakan yang dilakukan oleh pengungsi itu sendiri yang merugikan penduduk asli Thailand. Di Indonesia, alasan pertama adalah tidak adanya tempat bagi mereka di Aceh. Di beberapa tempat, warga sekitar justru bekerja, misalnya di tempat yang dijadikan perumahan sementara. Jika kita tidak segera bergerak, pekerjaan warga sekitar pasti akan terdampak bukan? Ada alasan lain juga, dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di Aceh merasa muak dengan kelakuan orang-orang Rohingya, dan masyarakat merasa bahwa para migran tersebut tidak mau mengikuti aturan-aturan masyarakat dan tidak memiliki attitude yang baik, sehingga menyebabkan pengungsi keluar dari kamp pengungsian dan banyak kejadian yang tidak menyenangkan. Perbuatan yang menimbulkan penderitaan ketika warga berinteraksi satu sama lain. Para pengungsi ini sebenarnya mempunyai alasan penolakan yang sama seperti di Thailand dan Malaysia. Sebab, akibat sikap dan tindakan para pengungsi itu sendiri, warga setempat menjadi malas terhadap mereka dan tidak mau membantu. Memang benar masyarakat ini tidak terima karena meresahkan masyarakat dan mengganggu kenyamanan pengalaman pertama mereka di masa lalu. Menurut pakar Lex rivel, masyarakat khawatir akan terjadinya hal yang tidak diinginkan, namun selain alasan pribadi komunitas dan alasan kedaulatan nasional, khususnya terkait pengungsi Rohingya di Asia Tenggara, saya rasa ada alasan lain yang sangat penting. Ia yang mempelajari Asia Tenggara di Brookings Institution mengatakan, meski banyak pihak yang mengkritik ASEAN dan mendorong pengambilan alihan nya, masalah pengungsi sebenarnya mudah diselesaikan di tingkat regional. Para pesaingnya mengatakan ASEAN tidak bisa diselesaikan sebagai satu organisasi regional. Uni Eropa dan negara-negara lain harus dilibatkan dalam menyelesaikan krisis Rohingya, namun para pejabat yang bersaing mengatakan bahwa ASEAN bukanlah sebuah organisasi regional dan tidak memiliki anggaran atau mekanisme khusus yang sebelumnya dapat menangani masalah-masalah tersebut. Dan akhirnya terjawab sudah kenapa orang-orang rohingya ditolak di mana-mana, ya ternyata hal tersebut berasal dari tingkah laku mereka sendiri. Sebenarnya sudah sempat diterima, namun dikarenakan tingkah lakunya dan ulahnya sendiri, jadi yang pada akhirnya terkesan tidak tahu rasa terima kasih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun