RUMAH TUA di Desa Budaya Lingga itu berdiri kokoh. Halamannya ditumbuhi rumput tipis. Anjing lalu-lalang di seputarannya. Masyarakat Lingga menyebut rumah ituGerga. Sebagian menyebutnyaSiwaluh Jabu, artinya sepuluh keluarga. Di depannya juga ada rumah serupa. Tapi hanya bisa dihuni delapan keluarga. Nama rumah itu,Blangayo. Ada juga yang bilangWaluh Jabu, yang berarti delapan keluarga.
Memasuki rumah tersebut, kesan angker langsung menyergap. Gelap. Tak ada lampu yang menerangi. Beberapa tiang penyangga berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Bau pengap menusuk hidung. Ditambah bau kotoran kelelawar yang berserak di lantai. Pada tiang penyangga, tali jemuran menjulang, menggantung beberapa pasang pakaian kering.
Di kiri-kanan di dalam rumah, berjejer masing-masing lima rumah lagi. Jadi, ada rumah di dalam rumah. Ukurannya tidaklah besar, sekitar enam meter saja. Dalam tiap-tiap rumah berbentuk lancip, mirip bak truk terbuka, yang dibentuk dari turunan atap. Di tempat itulah setiap keluarga tinggal.
Para(tungku memasak), berada di antara dua rumah. Bentuknya petak. Di ataspara, terdapat tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak. Hanya ada limapara.
Dinding rumah berusia sekitar 400 tahun ini tergolong unik. Ukiran lima warna, dengan motif saling kait menambah daya tarik. Sayang, tak banyak yang tahu makna lima warna itu. Hanya sebagian orang tua yang paham makna.
Manik Ginting, 42 tahun, seorang pemandu wisatu Desa Budaya Lingga menuturkan, setiap ukiran bunga berkait melambangkan keakraban antara lima Suku Batak yang saling bersaudara. Warna merah adalah simbol Marga Ginting. Hitam milik Marga Sembiring; putih menyimbolkan Suku Siangin-Angin, Tarigan dengan warna biru, dan kuning keemasan miliknya Suku Karo-Karo.
Konsep rumah ini tergolong bagus. Arsiteknya memikirkan hingga ke keutuhan rumah, bila terjadi gempa.Palas(antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk. Gunanya, bila digoyang gempa, maka rumah akan mengikuti arah goyangan.
“Kata orang dulu itu, rumah ini selalu dijaga, karena diberi doa sama dukun. Kalau rumah sekarang coba, kalau digoyang gempa langsung roboh. Itu karenanggakdimantrai,” jelas Hamita Ginting, sang pewaris rumah tersebut. Sayang, ia tak lagi tinggal di rumah adat tersebut.
Hamita keturunan ketujuh Raja Ureung, pimpinan Suku Karo. Wajah lelaki ini tirus. Jenggot tipis memutih di dagunya. Beda dengan mayoritas masyarakat Karo yang menganut kristen, Hamita beragama Islam. Ia lama tinggal di Aceh.
Hamita Ginting tersenyum sumringah. Dia menghirup dalam kretek di mulutnya, sambil perlahan menyeruput tuak. Di sisinya, Dana Ginting menenggak hampir seceret tuak. Ia terus minum, matanya mulai memerah.
“Bapak ini lah yang banyaktautentang rumah adat,” kata Dana, menunjuk Hamita.
“Itu rumah kakek. Baru lima bulan lalu saya pindah dari sana,” ucap Hamita, ramah.
Alkisah, sekitar 400 tahun silam, masyarakat Karo tidaklah beragama. Mereka hidup bermasyarakat, dengan menyandingkan delapan, hingga 12 keluarga ke dalam satu rumah.
¬Membangun rumah pun, dilakukan dengan ritual panjang. Hamita Ginting menceritakan, kayu yang dipilih harus atas seizin dukun. “Menurut cerita jaman dulugitu. Kan dulu orang sininggakberagama.”
Ia mengisahkan, beberapa pemuda beranjak ke hutan untuk melihat kayu-kayu besar. Tapi, tidak semua kayu bisa dipotong. Mereka hanya mengiris kayu-kayu itu, untuk kemudian irisan kecil tersebut dibawa ke dukun. Oleh dukun, semua kayu-kayu kecil tersebut didoakan, dimimpikan, untuk kemudian ditunjuk, kayu mana yang boleh dipotong.
“Ritualnya begitu. Jadinggaksembarangan kayu bisa dipotong. Karena bisa membawa sial.”
Saat memotong kayu, semua kaum adam menuju hutan, untuk bersama-sama menggotong batang kayu. “Itu di atas kayudiduduinanak dara. Gunanya biar yang angkat kayu semangat,” ucapnya terkekeh.
Kayu yang dipilih pun, sebut Hamita, hanya tiga macam saja. Batang Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidaklah didera sakit. Kayu Ambartuah dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup. Sedang kayu Sibernaik dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki.
“Memangnggakmasuk akal sih. Tapi ya itu kepercayaan dulu. Mereka animism,” tambah Hamita.
Kenapa Hamita tak lagi tinggal di situ? Ia menjelaskan, banyak pantangan yang dilarang di dalam rumah adat tersebut. “Orang sekarangnggaksama seperti orang dulu. Di sana kita seperti terkurung. Bicaranggakbisa bebas,nggakbisa make tivi, padahal kita inginnya bebas gitu.”
“Kalau dulu adatnya masih kental. Banyak pantangannya. Itu di jalan tengah kitanggakdibolehkan untuk duduk,labah(sial) istilahnya. Kan melalui jalan tengah itu kita nyapu lantai, banyak debu, dianggapnya kita juga sampah kalau duduk di situ. Di tungku juganggakboleh. Itu kan tempat kita memasak, untuk hidup, yanggakboleh kita duduki.”
Karena banyaknya pantangan tersebut, sekarang, masyarakat Budaya Lingga lebih memilih untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah tersebut. “Dulu ada 28 rumah. Sekarang cuma sisa dua, itupun dengan kondisi yang memperihatinkan, yang lain rusak ditinggal penghuni,” jelas dia.
Benar saja, beberapa rumah terlihat mulai ringsek, hampir roboh mencium tanah. Ukiran rumah mulai aus, sudah tak berwarna. Di sudut bubung pun sudah tak terlihat dua tanduk. Batang bambu yang menopang daun ijuk mulai keropos. Daunnya mulai menghilang, tinggal bambu seperti tulang yang menjurus ke sana-sini, tak lagi beraturan.
Di bawah rumah adat ringsek itu, kotoran ternak membanjiri. Bau pesing menguap di udara. Lengking burung hantu, kata seorang anak, kadang terdengar, menambah seram rumah tua tersebut.
“Baru beberapa hari lalu ada burung hantu ditembak jatuh di situ,” kata seorang anak menunjuk ke pojok atap dalam rumah.
Alasan lain mereka “hengkang” dari sana, “Biaya perawatannya terlalu mahal. Kita sudah tak sanggup merawat semuanya,” keluh Hamita. Kini, sejarah itu tinggal dua, dan dikhawatirkan juga akan menghilang dari Desa Budaya Lingga.