Tepuk tangan membahana. “Haiyo-haiyo. Ikut anak kita di sini,” ujar seorang etnis tionghoa dengan logat khasnya. Dia begitu bersemangat. Tangannya dikepal, sambil meninju udara.
Aksi belum usai. Malahan teriakan penonton semakin menggebu ketika Eni masuk menggantikan Riski. Dia melenggok dengan ujung kaki. Tangannya seperti melambai di udara, dengan jari yang dijulur mirip sebuah tarian. “Itu kak Eni, dia main jurus Thai Chi,” jelas Riski sambil bersorak.
Ketika Eni memutar dan meloncat dengan klimaks yang indah, Reynaldo menyerbu udara dengan sebilah pedang. Seperti menggertak, dengan lincah dia menyerang ke arah penonton. Hanya saja, ketika hampir mengenai sasaran, siswa sekolah Metodhist ini menjaga jarak. Sambil memutar, meloncat, dan berteriak, dia terus beraksi. Penonton pun menyemangati.
Dengan nafas masih terengah, Riski kembali beraksi. Membawa sebilah pedang dan kendi yang diikatkan di pinggang, tubuhnya mengikuti arah tapak kaki. Sambil memainkan pedang, dia meminum air dari kendi. “Jurus mabuk. Ayo, terus, bagus,” teriak warga lagi lagi.
Mikael Wong dengan tongkatnya mulia bersiap. Sesaat dia meloncat ke tengah arena, sambil memukul kuat jalanan dengan jurus Gunshunya. Penonton terkejut. Dia berteriak seperti aksi dalam film shaolin. Sebuah adegan diperagakan dengan penuh bahaya. Tongkat hanya beberapa sentimeter dari penonton.
Riski, dan beberapa kawannya adalah warga Aceh, dari komunitas Tionghoa. Mereka memperagakan Wushu, dalam acara Festival Peunayong 2011, yang juga dalam rangka memperingati hari jadi kota Banda Aceh ke - 806.
“Saya belajar sembilan bulan lalu, dan untuk tampil ini kami persiapan selama tiga minggu di Tepekong,” ujar Riski, siswa kelas dua SMA Fatih Bilinggual School ini kepada The Atjeh Post, malam Minggu lalu .
Festival Peunayong ini tidak hanya menampilkan sederetan olahraga Wushu saja. Tapi juga aksi Barongsai yang dimainkan team Chin Kun Then Dari Medan, dan tarian Ranup Lampuan oleh anak-anak Tionghoa.
Malam itu, jalan Ahmad Yani, Peunayong diitutup. Ribuan orang memadatinya. Sebelum kedua kebudayaan ini unjuk aksi, pawai budaya mendahului. Beberapa orang tua tua dengan ontel, dan beragam kostum lewat. Ada yang dengan khas Cina, Jepang, Belanda, Arab, sambil membawa macam-macam alat seperti rempah dan beberapa lainnya.
“Ini juga menjadi bukti, Aceh pernah menjadi kota kosmopolit. Mari kita jaga kebudayaan Peunayong sebagai pusat kebudayaan ini, dengan menggali kembali keberagaman budaya yang sudah terjalin sejak abad ke 13,” ajak Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin. Acara ini, katanya terselanggara atas antusiasme Komunitas Tionghoa.
“Peunayong sebagai Cina Townnya Banda Aceh, yang didesain oleh Belanda. Dulunya dihuni suku Khek, Cheng Ho, dan beberapa suku lainnya. Melalui festival ini kami ingin mensosialisasikan sejarah kota Peunayong. Kita ingin kota tua ini menjadi pusat wisata Banda Aceh, dan wisatawan mau berkunjung kemari,” ujarnya. Ia mengatakan, acara seperti ini menjadi penguat dua budaya, yaitu budaya Aceh dan Tionghoa.
Pengamat kebudayaan A Rani Usman mengatakan, Peunayong adalah pusat kebudayaan Tionghoa. Bukti persahabatan antara Cina dan Aceh adalah lonceng Cakradonya yang dihadiahi Laksamana Chengho.
"Kenapa diberi nama Peunayong? Maknanya dulu adalah peumayong, yaitu memayungi. Di sini dulu hidup secara berdampingan bangsa yang berbeda seperti Cina, Persia dan India, dengan agama yang berbeda juga," sebut Rani.
Pada akhirnya, ribuan pengunjung membubarkan diri, ketika secara bersama-sama belasan anak Tionghoa kembali memasuki tengah arena. Mereka memperagakan kungfu ala shaolin secara serentak. Usia mereka beragam. Malahan kata Riski, ada yang kelas satu Sekolah Dasar. []