Oleh Suryana Slamet
Pada tulisan saya sebelumnya, pemerintah gagal meningkatkan produksi pangan dalam kerangka program ketahanan pangan nasional. Salah satu indikator kegagalan dalam progam ketahanan pangan dapat dilihat dari anjloknya produksi beras nasional yang menjadi makanan pokok masyarakat. Data pada tahun lalu (2011) produksi beras hanya sekitar 38,96 juta ton. Angka itu turun hampir 2 juta ton jika dibandingkan dengan produksi beras pada 2010 yang mencapai sekitar 40,88 juta ton. Dalam tulisan tentang krisis pangan penyebab utamanya yang tidak masuk dalam katagori 8 penyebab adalah krisis lahan pertanian sehingga produksi pangan tidak mampu mengimbangi pesatnya pertambahan penduduk.
Pusat Penelitian Tanaman Pangan pada tahun 1995 dalam laporan berjudul Teknologi Produksi Padi Mendukung Swasembada Beras pernah mengungkapkan, upaya untuk mempertahankan swasembada pangan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik fisik, biologis, maupun sosial ekonomi. Wujud tantangan itu antara lain adalah peningkatan jumlah penduduk yang masih relatif tinggi dan penyusutan lahan subur untuk keperluan pembangunan nonpertanian.
Di pulau jawa, menurut Menteri Pertanian Suswono, “berdasarkan data BPN, luas lahan pertanian di pulau Jawa mencapai 4,1 juta hektare pada 2007. Sementara per tahun 2010, lahan pertanian yang tersisa hanya tinggal sekitar 3,5 juta hektare. Artinya dalam tiga tahun terakhir, 60 ribu hektare lahan pertanian telah beralih fungsi. Kalau data BPN itu benar berarti terjadi konversi lahan yang luar biasa selama tiga tahun ini”, ujar Pak Menteri di Istana Negara. Pemicunya, menurut Suswono, adalah pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Ia menambahkan, Bupati/Walikota mengorbankan ketersediaan lahan pertanian ketika sedang menangani urusan pembangunan. Menurutnya, para kepala daerah gampang memberikan izin pembangunan di lahan yang produktif untuk pertanian.
Pemyebab lainnya, seperti yang dijelaskan Pakar ilmu pertanian yang juga Direktur Pusat Pengembangan Ilmu Teknik untuk Pertanian Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr. Ir. Tineke Mandang, Ms, adalah oleh kurangnya kesadaran para petani pengelola lahan pertanian dan tingkat ekonomi yang rendah yang menyebabkan para petani tergiur untuk menjual lahannya untuk pembangunan. Sementara di lain pihak, pengembangan teknologi pangan alternatif belum diterapkan.
Menurut staf khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Herman Siregar, sangat ironis, konversi lahan sawah ke non-sawah justru banyak terjadi di wilayah-wilayah yang sentra-sentra produksi pangan, seperti di Jawa Barat: Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon; di Jawa Tengah: Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan; di Jawa Timur; Banten; DKI Jakarta; dan Bali.
Umumnya lahan sawah yang dikonversi tidak hanya sangat subur tetapi lokasinya juga strategis, berdekatan dengan jalan raya atau jalan tol. Sebagai contoh kasus, menurut BPN, pada tahun 2004 luas lahan sawah 8,9 juta ha: 7,31 juta ha beririgasi dan 1,45 juta ha non-irigasi. Dari sawah irigasi yang subur, 3,099 juta ha hendak dikonversi oleh pemerintah daerah. Dari jumlah itu, 1,67 juta ha (53,8%) merupakan sawah beririgasi di Jawa dan Bali. Menurut penghitungan, konversi tersebut bisa membuat 14,26 juta GKG atau 10 juta ton beras berpotensi hilang.
Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden No.30 Tahun 1990, lahan pertanian dengan irigasi teknis dilarang dialihkan menjadi lahan non-pertanian.