Mohon tunggu...
Johan Avie
Johan Avie Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis Bebas, Redaksi Tabloid SOROT, Redaksi Buletin Syahadah, PimRed LPM Nawaksara FH Unair, Peneliti Center for Marginalized Communities Studies(CMARs)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menggugat Ilmu Pengetahuan Positivistik

26 September 2012   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ilmu pengetahuan tidak pernah murni keluar dari pemikiran manusia, karena ilmu pengetahuan selalu sejalan dengan semangat pada zamannya. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan pengaruh pengetahuan terhadap pola pikir manusia. Sejak kecil, setiap manusia di muka bumi ini selalu menjalani rutinitas intelektual yang hampir sama. Berangkat menuju lembaga pendidikan(sekolah) formal, duduk manis, mendengarkan guru mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah disusun dalam standart kurikulum tertentu.

Kesadaran kita juga tidak pernah lepas dari rutinitas tersebut. Tanpa sadar, pertanyaan-pertanyaan sederhana selalu muncul dibenak kita. pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana ilmu pengetahuan itu dilahirkan? Sejak kapan ilmu pengetahuan itu diajarkan sebagai sebuah kurikulum? Atau pertanyaan seperti: Apa tujuan ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan formal? Kumpulan pertanyaan tersebut kiranya sering lepas dari otak setiap manusia. Seolah dibungkam oleh kesadaran kita sendiri, tidak ada satupun pertanyaan diatas yang bisa kita jawab.

Sejarah Ilmu Pengetahuan

Penjelasan saya tentang ilmu pengetahuan, setidaknya akan dimulai dari pembedaan antara “Pengetahuan(knowledge)” dengan “Ilmu Pengetahuan(Science)”. Domain tingkat pengetahuan mempunyai empat tingkatan, meliputi: mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi.[1] Pengetahuan dipahami sebagai sebuah nalar berpikir manusia yang sangat sederhana. Hanya dengan melalui proses-proses berpikir seperti yang diuraikan diatas, manusia sudah dapat dikatakan melakukan kegiatan pengetahuan.

Hal yang berbeda terjadi pada apa yang disebutkan sebagai Ilmu Pengetahuan(science). Tidak sesederhana knowledge, ilmu pengetahuan(science) justru lebih rumit variabelnya. Ilmu pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai aktivitas mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Bahasa sederhana yang sering digunakan oleh para tokoh, adalah bahwa Ilmu Pengetahuan merupakan Pengetahuan yang dicanggihkan dengan menggunakan metode pengujian(validitas).

Sejarah Ilmu Pengetahuan berawal dari Abad Pertengahan(abad 16) yang pada masa itu menerapkan hukum dogmatis agama. Sehingga berbagai pengetahuan yang bertentangan oleh hukum dogmatis ini selalu dibungkam oleh penguasa. Dengan semangat perlawanan terhadap hukum dogmatis inilah, Rene Descartes mencoba mengembangkan Aliran Rasionalisme. Rene Descartes dalam usahanya melawan dogmatisme agama, berusaha mengembalikan sumber pengetahuan—yang sebelumnya didaulat ada pada kitab suci—kepada manusia. Subjek pengetahuan bukan lagi terletak pada kitab suci dan ajaran agama, namun berasal dari dalam diri manusia. Rene Descartes berpendapat bahwa didalam diri manusia telah terdapat sebuah metode pengetahuan, yaitu akal budi(rasio). Akal budi manusia inilah yang diyakini oleh Rene Descartes menjadi sumber pengetahuan. Sehingga istilah “Cogito Ergo Sum”[2], didengungkan oleh Rene Descartes sebagai bentuk legitimasi atas diri manusia.

Selanjutnya, muncul pandangan tandingan yang disebut sebagai gerakan Empirisme. Jika Rene Descartes dan kelompok Rasionalisme menekankan pada akal budi(rasio) sebagai sumber pengetahuan manusia, maka Empirisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu justru ada diluar diri manusia. Menurut kelompok empirisme, dalam pencariannya terhadap pengetahuan, manusia mengalami proses yang disebut sebagai pengalaman indrawi. Maksudnya, manusia dianugerahi panca indra yang dapat merasakan pengalaman terhadap objek diluar dirinya. Sehingga melalui pengalaman indrawi inilah, manusia dapat mencari kebenaran pengetahuannya.

Sampai disini, usaha manusia dalam mencari kebenarannya hanya dapat didefinisikan sebagai pengetahuan. Istilah ilmu pengetahuan sendiri muncul pada abad 19, ketika Auguste Comte menggagas aliran Positivisme. Dalam berbagai tesisnya, Comte mencoba mengkritisi dan menyempurnakan kedua pandangan sebelumnya. Menurut Comte, pandangan rasionalisme sangat rapuh dalam menjelaskan berbagai fenomena yang ada. Rasionalisme dianggap terjebak pada pengetahuan a priori, sebuah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara nyata. Sehingga hasil pengetahuan rasionalisme akan bersifat metafisis, dan sulit untuk dimengerti. Sedangkan kritik Comte terhadap Empirisme lebih lunak. Ia mengatakan bahwa kebenaran tidak hanya didapatkan dengan pengalaman indrawi saja. Proses kerja panca indra yang dimiliki manusia menurut Comte terlalu sederhana. Selain itu, Comte menyebutkan bahwa pengalaman indrawi yang dipergunakan oleh kelompok empirisme sebagai metode pengujian pengetahuan, dapat memunculkan pengalaman rohani yang subyektif. Karena pengalaman rohani juga diakomodir dalam kerja empirisme.

Disinilah Ilmu Pengetahuan itu lahir. Comte menawarkan sebuah pemikiran baru untuk menyempurnakan berbagai metode pengujian yang sudah ada. Menurut Comte, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif dan valid. Untuk mencapai obyektifitasnya, maka fakta(sebagai obyek pengetahuan) harus dicari dengan menggunakan metode observasi. Metode inilah yang kemudian dibakukan oleh Comte sebagai satu-satunya metode ilmu pengetahuan yang sah. Baginya, tidak ada metode ilmu pengetahuan lain yang bisa sesempurna metode observasi. Setelah fakta itu dimengerti dan ditemukan dengan metode observasi, maka untuk mencapai hasil ilmu pengetahuan harus dianalisis menggunakan alat analisis tertentu. Karena Comte sangat terobsesi dengan Ilmu Alam, maka ia menggunakan hukum-hukum dalam ilmu alam untuk menganalisis fakta hasil observasi(fenomena sosial). Sehingga kemudian kerja ilmu pengetahuan seperti ini sering disebut sebagai scientifikasi sosial. Kerja ilmu pengetahuan Auguste Comte inilah yang dibakukan sebagai satu-satunya metode pengujian yang paling mendekati kebenaran. Setelah dibakukan, kerja ilmu pengetahuan positivistik ini dilembagakan sebagai kurikulum pendidikan formal.

Semangat Positivisme dalam Kerja Penindasan

Seperti yang telah diulas sebelumnya, semangat kerja ilmu pengetahuan adalah membakukan metode pengujian menjadi satu metode saja. Semangat pembakuan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa sebagai alat legitimasi dalam berbagai kebijakannya. Positivisme dianggap sebagai salah satu pandangan yang mendukung industrialisasi. Dalam berbagai kasus, pemerintah indonesia selalu mencari kebenaran atas kebijakan penindasannya dengan menggunakan analisis ilmu pengetahuan. Misalnya dalam kasus freeport, pemerintah Indonesia memperpanjang izin perusahaan freeport dengan alasan pertumbuhan ekonomi meningkat secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi yang dijadikan alasan tersebut, dijelaskan dengan menggunakan ilmu pengetahuan positif yaitu ilmu ekonomi. Dengan pembenaran ilmu ekonomi, maka pengurasan habis-habisan terhadap bumi papua dilegalkan oleh pemerintah Indonesia.

Contoh lainnya terjadi didalam kasus kriminalisasi pers, dimana landasan hukum pidana(ilmu positif) digunakan untuk memidanakan dan membungkam kritisisme pers. Dengan demikian maka semakin jelas fungsi ilmu pengetahuan untuk melakukan pembenaran terhadap berbagai bentuk penindasan. Jika demikian faktanya, maka kita tidak dapat lagi percaya dengan ilmu pengetahuan positif yang diajarkan melalui pendidikan formal. Selain karena sering digunakan sebagai pembenaran atas berbagai bentuk penindasan, struktur ilmu pengetahuan secara tidak langsung juga menjadi sarana untuk membungkam pemikiran kritis kita. Karena dengan semangat pembakuannya, ilmu pengetahuan diluar metode yang dijelaskan oleh Comte, tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sebagai mahasiswa, bagaimana mungkin kita bisa mengubah dunia, jikalau nalar yang kita gunakan selama ini justru mendukung berbagai bentuk penindasan?

[1] Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

[2] Artinya: Aku berpikir maka aku ada

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun