Mohon tunggu...
Johan Avie
Johan Avie Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis Bebas, Redaksi Tabloid SOROT, Redaksi Buletin Syahadah, PimRed LPM Nawaksara FH Unair, Peneliti Center for Marginalized Communities Studies(CMARs)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Negara Tanpa Sikap (Laporan Khusus Peristiwa Kekerasan di Sampang)

21 Februari 2013   17:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:55 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Jika sejak awal kepolisian berani menangkap penyebar ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang, niscaya penyerangan pada tanggal 26 Agustus 2012 tidak perlu terjadi. Sayangnya, aparatur negara justru mendiamkan pelaku syiar kebencian tersebut. Di Sampang, Ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas Syiah telah terjadi sejak tahun 2006, disebarkan melalui pengajian-pengajian dan pertemuan pranata sosial. Ibarat api dalam sekam, kebencian yang dipupuk begitu lama oleh tokoh agama dan masyarakat di Sampang pecah menjadi penyerangan pada Minggu kelabu tersebut. Massa penyerang membakar 48 rumah orang Syiah, bahkan 1 orang (Abu Hamamah) dari kelompok minoritas Syiah harus terbunuh karena sabetan celurit massa penyerang. Peristiwa syawal berdarah tersebut menarik banyak simpati dari pelbagai pihak, baik nasional maupun internasional.

Selain itu, menarik untuk mencermati media frame yang berkembang terkait dengan pemberitaan Tragedi Syiah Sampang ini. Pasca penyerangan, media massa secara seragam memberitakan bahwa penyebab penyerangan terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang adalah perihal konflik keluarga. Wacana yang dikembangkan oleh media massa ini nampaknya berdampak serius pada cara pandang masyarakat luas. Penulis bahkan berulang kali harus menjelaskan kepada beberapa teman yang bertanya tentang konflik keluarga sebagai penyebab terjadinya Tragedi Sampang.

Hate Speechyang Dibiarkan

Penyebab utama penyerangan terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang adalah penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang begitu massif oleh tokoh-tokoh Agama sejak tahun 2006. Misalnya, berdasarkan keterangan Muhammad Zaini, periode Januari-Februari 2012 sering terjadi pengajian-pengajian yang menyesatkan Syiah, serta menghasut masyarakat untuk memusuhi jamaah Syiah di Sampang. “Jika tidak mengikuti Sunni, maka akan saya bunuh,” ujar Muhammad Zaini menirukan kata-kata penceramah dalam pengajian tersebut. Pengajian serupa juga dapat dijumpai sejak periode 2006 hingga sekarang. Fatwa penyesatan MUI yang dikeluarkan secara sistematis (baca: Newsletter Syahadah edisi Perang Fatwa dan Keretakan dalam Tubuh MUI) di pelbagai daerah juga turut andil dalam memupuk kebencian di masyarakat.

Tidak hanya membiarkan pelaku hate speech beraksi di Sampang, Negara justru ikut menghakimi kelompok minoritas Syiah di Sampang. Awal tahun 2012, Ust. Tajul Muluk, pimpinan kelompok minoritas Syiah di Sampang dikriminalisasikan dengan tuduhan penodaan dan penistaan agama. Pada bulan Mei 2012, tidak lama sebelum penyerangan kedua terjadi, Pengadilan Negeri Sampang mengeluarkan vonis 2 tahun penjara terhadap Ust. Tajul Muluk. Vonis PN Sampang tersebut hingga kini sering digunakan oleh kelompok anti-Syiah sebagai dasar legitimasi untuk menyerang kelompok minoritas Sampang. Sekali lagi, Negara melakukan tindakan aktif yang dapat menyebabkan penyerangan 26 Agustus 2012 meledak..

Berdasarkan International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), ujaran kebencian (hate speech) merupakan tindakan yang harus dilarang oleh hukum. Pasal 20 ayat 2 ICCPR menyatakan bahwa segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Konsekuensi atas pasal tersebut adalah bahwa setiap negara pihak dalam kovenan itu harus memberlakukan hukum positif untuk melarang tindakan ujaran kebencian (hate speech). Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengaplikasikan larangan ujaran kebencian tersebut dalam pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Secara normatif, pelaku hate speech bisa ditangkap dengan menggunakan pasal 156 KUHP. Sayangnya, aparat penegak hukum membiarkan pelaku hate speech memupuk kebencian masyarakat terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang.

Tanpa Jaminan Keamanan

Negara tidak hanya bertanggungjawab atas penyebaran kebencian di masyarakat Sampang, tetapi juga kepada penyerangan yang terjadi di tanggal 26 Agustus 2012. Pasca tragedi sampang pertama (29 Desember 2011), Negara seharusnya dapat mengevaluasi diri atas kegagalan dalam menjamin hak keamanan dan keselamatan kelompok minoritas Syiah di Sampang. Kenyataannya, Negara justru mengulangi kesalahan yang sama, penyerangan kedua (26 Agustus 2012) kembali terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hingga kini Negara tidak dapat memberikan jaminan keamanan terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang.

Berdasarkan keterangan korban, isu penyerangan pada 26 Agustus 2012 sebenarnya telah lama didengar. Korban juga telah melaporkan isu tersebut kepada pihak Kepolisian. Layaknya peristiwa penyerangan sebelumnya, kepolisian tidak menghiraukan laporan tersebut. Mereka justru menganggap korban melaporkan kebohongan pada Polisi. Kelalaian pihak kepolisian tersebut harus ditanggung oleh kelompok minoritas Syiah di Sampang. Pada saat penyerangan berlangsung, hanya 4 orang polisi berseragam yang terlihat di lapangan. Perbandingan jumlah polisi dan massa penyerang yang tidak seimbang menyebabkan mereka tidak dapat berbuat banyak. Massa anti-Syiah mulai membakar satu per satu rumah kelompok minoritas Syiah tanpa dapat dicegah oleh Kepolisian. Artinya, jaminan keamanan terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang hingga kini belum dapat dipenuhi oleh Negara. Padahal, Hak atas jaminan keamanan merupakan hak yang harus dipenuhi tanpa alasan apapun. Jika jaminan keamanan tidak dapat lagi diberikan oleh Negara, lalu korban harus memintanya kepada siapa?

Korban Menolak Relokasi

Pasca penyerangan 26 Agustus 2012, kelompok minoritas Syiah di Sampang harus kehilangan rumah mereka. Oleh karena tidak ada jaminan keamanan dari Negara terhadap korban, dengan terpaksa kelompok minoritas Syiah harus mengungsi di GOR Kota Sampang. Tempat pengungsian juga tidak dapat dikatakan layak, kebutuhan makanan dan minuman hingga kini masih sering terlambat. Selain itu, mereka harus menahan rindu akan kampung halaman.

Sejak kelompok minoritas Sampang berada di pengungsian, wacana relokasi kembali mencuat. Pemkab Sampang bersikeras merelokasi kelompok minoritas Syiah dari Sampang, Madura. Sedangkan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyatakan bahwa kelompok minoritas Syiah tidak akan direlokasi dari kampung mereka. Perseteruan kedua lembaga negara tersebut memang gencar beredar di media, namun tidak satupun suara dari kelompok korban yang diberitakan.

Minggu lalu, Penulis mewawancarai beberapa korban di GOR Sampang terkait wacana relokasi. Ust. Iklil Al-Milal, adik Ust. Tajul Muluk menyatakan bahwa tidak satupun korban yang menginginkan direlokasi dari kampung halaman mereka. Keinginan dan tuntutan korban saat ini adalah pulang ke rumah mereka, dibangunkan rumah baru oleh pemerintah, serta mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Tentu saja, upaya relokasi yang didengungkan oleh Negara sangat tidak tepat sasaran. Pertama, Negara seharusnya merelokasi pelaku penyerangan dari Sampang, bukan korban yang kemudian dikorbankan kembali. Kedua, upaya relokasi tidak akan menyelesaikan masalah, karena korban relokasi akan tercerabut dari akar budaya mereka. Ketiga, upaya relokasi merupakan bentuk dari ketidakmampuan Negara dalam menjamin keamanan bagi kelompok minoritas Syiah di Sampang. Keempat, dengan dilakukannya relokasi, maka negara akan cuci tangan dari tanggung jawabnya terhadap penyerangan tanggal 26 Agustus 2012.

Penyelesaian yang seharusnya diterapkan dalam kasus ini adalah upaya rekonsiliasi dan penegakan hukum. Tentu saja upaya rekonsiliasi akan memakan waktu yang panjang, serta melibatkan banyak pihak terkait. Tetapi bukan tidak mungkin rekonsiliasi dapat dilakukan sebagai jalan keluar penyelesaian perkara ini. Ada beberapa alasan mengapa upaya rekonsiliasi dan penegakan hukum dapat digunakan sebagai cara penyelesaian dalam kasus ini. Pertama, rekonsiliasi tidak akan melanggar hak korban untuk tetap tinggal di kampung halaman mereka. Kedua, rekonsiliasi dapat memperkuat hubungan antara kelompok anti-syiah dan kelompok syiah yang selama ini tidak terjembatani. Ketiga, rekonsiliasi tidak akan mencerabut korban dari akar budaya mereka. Keempat, penegakan hukum terhadap pelaku penyebar ujaran kebencian (hate speech) dan penyerangandapat membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan ujaran kebencian dan penyerangan terhadap kelompok minoritas Syiah di Sampang. Jika negara serius untuk menyelesaikan persoalan di Sampang, maka upaya rekonsiliasi dan penegakan hukum adalah cara yang tepat untuk digunakan.

NB: Tulisan ini pernah dimuat dalam kolom Laporan Utama Tabloid SOROT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun