Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan saat ini tak bisa dilepaskan begitu saja dengan sejarah perkembangan masyarakat. Pembakuan ilmu kedokteran yang saat ini dipergunakan di pelbagai dunia juga merupakan hasil dari diskursus ilmu pengetahuan yang sangat panjang, dan tentu melahirkan banyak tumbal sebagai legitimasi pembenaran ilmu kedokteran itu.
Segala jenis ilmu kedokteran yang disebut sebagai “Pengobatan Alternatif” merupakan tumbal sejarah bagaimana bangsa Eropa membuat model ilmu kedokteran yang ideal. Pengobatan alternative selalu dipisahkan dari ilmu kedokteran karena dianggap tidak memenuhi kebenaran ilmiah, sedangkan kebenaran ilmiah itu sendiri hanya bisa didapatkan melalui prosedur-prosedur ilmu. Akupuntur adalah salah satu ilmu pengobatan Cina yang sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan sebagai ilmu kedokteran formal.
Sejarah Akupuntur
Akupunktur berasal dari dua kata Acus dan punctura. Acus artinya jarum dan punctura artinya menusuk atau tusukan. Secara harfiah acupuncture dapat diartikan sebagai suatu teknik pengobatan dengan menusukan jarum pada titik-titik akupunktur tertentu sesuai dengan indikasi yang ada. Metode pengobatan akupunktur dalam bahasa aslinya bahasa Cina disebut Zhen Jiu. Zhen artinya jarum dan Jiu artinya pemanasan/api. Mengapa dalam tradisi pengobatan Cina akupuntur lebih dikenal dengan sebutan Zhenjiu?. Hal ini dikarenakan disamping menggunakan teknik perangsangan titik-titik akupunktur dengan menggunakan tusukan jarum pengobatan Zhenjiu juga menggunakan moksa. Sekarang apa itu moksa? Moksa atau moksisbusi adalah suatu teknik perangsangan titik akupunktur dengan menggunakan efek panas (moksibusi) dari sejenis tanaman obat yang dikenal dengan Artemisia vulgaris.
Tanaman ini dekeringkan lalu dibuat menjadi bentuk batang atau kerucut kecil atau dibiarkan dalam bentuk serbuk untuk kemudian dibakar dan akan menghasilkan panas. Efek panas yang ditmbulkan dari pembakaran Artemisia inilah yang digunakan untuk menstimulasi atau merangsang titik-titik akupuktur yang sudah ditentukan berdasarkan indikasi penyakit yang ada.
Ilmu Akupunktur, Akupressure, Cop–Moksibusi adalah bagian dari ilmu pengobatan Cina. Menurut buku Huang Ti Nei Cing (The Yellow Emperor's Classic of Internal Medicine) ilmu ini telah berkembang sejak Jaman Batu, yaitu kira-kira 4–5 ribu tahun yang lalu, di mana digunakan jarum batu untuk menyembuhkan penyakit. Sebuah kasus di ungkapkan buku tersebut adalah penyembuhan abses dengan penusukan jarum batu.
Buku Huang Ti Nei Ting merupakan sebuah buku ensiklopedi Ilmu Pengobatan Cina yang diterbitkan pada zaman Cun Ciu Can Kuo yaitu tahun-tahun antara 770–221 sebelum Masehi. Pada zaman tersebut Ilmu Akupunktur, Akupressure, Cop–Moksibusi berkembang seperti ilmu-ilmu lainnya di negara tersebut. Bahan jarum berubah dari batu ke bambu, dari bambu ke tulang dan dari tulang ke perunggu. Seorang ahli pengobatan pada zaman itu yang bernama Pien Cie telah berhasil menyembuhkan seorang pangeran bernama Hao dengan jarum perunggu dari ketidaksadaran selama setengah hari. Pien mengungkapkanya pengetahuannya dalam buku Nan Cing di mana ia menguraikan cara pengobatan dengan jarum perunggu serta menjelaskan persoalan-persoalan mengenai meridian dan titik Akupunktur. Dalam buku Huang Ti Nei Cing diungkapkan juga mengenai meridian, titik akupunktur, teknik pengobatan dan perjalanan penyakit serta pengobatanya. Menurut catatan sejarah negara itu, pada zaman Dinasti Tang (tahun 265–960), ilmu Akupunktur berkembang dengan subur dan mulai menyebar ke luar negara asalnya yaitu ke Korea, Jepang dan negara lainnya. Pada waktu itu sebuah buku Cia I Cing yang ditulis dan disusun oleh seorang ahli pengobatan terkemuka Huang Pu Mi secara terperinci menjelaskan inti sari literatur-literatur ahli pengobatan sebelumnya disertai pengolahan pengalaman pribadinya. Buku inilah yang menyebar ke luar negara asalnya dan sampai saat ini masih menjadi buku referensi penting bagi seorang akupunkturis .
Seorang akupunkturis terkemuka lainnya pada zaman itu adalah Sun Se Miao (tahun 581–682) menulis buku Cien Cin Yao Fang dan Cien Cin I Fang yang memberi penjelasan dan kesimpulan atas pengetahuan para ahli sebelumnya. Dan ahli akupunktur lainnya yang bernama Cen Cien (tahun 541–643) melukiskan peta berwarna untuk menerangkan meridian dan titik akupunktur serta menguraikan tentang pengobatan moksibusi untuk pencegahan penyakit.
Pada Dinasti Ming (tahun 960–1644) di mana teknik cetak dan seni pahat berkembang luas, ilmu akupunktur tersebar pula bersama dengan ilmu-ilmu lainnya. Dan di masa itu, Wang Wei I seorang ahli pengobatan membuat patung perunggu yang melukiskan perjalanan meridian serta letak titik-titiknya, sebuah sumbangan bagi pendidikan akupunktur. Pada zaman itu lahir pula buku penting dalam bidang akupunktur yaitu Cen Ciu Ta Cen yang disusun oleh Yang Ci Ceu, dimana ia meletakan dasar baru bagi ilmu akupunktur setelah buku Huang Ti Nei Cing. Buku tersebut pada masa kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya Jepang, Inggris, Jerman, Prancis. Diantara tahun 1644–1911, Dinasti Cing ilmu akupunktur tidak banyak mengalami perkembangan. Buku referensi akupunktur yang dihasilkan pada zaman itu tidak banyak, di antaranya I Cung Cin Cien yang cukup bernilai untuk dijadikan referensi pengetahuan akupunktur.
Menjelang pertengahan abad XX ini, ilmu akupunktur dari masa tenangnya kembali berkembang dengan mengadakan penyesuaian terhadap tuntutan zaman serta perkembangan ilmiah zaman modern. Praktek akupunktur tidak lagi hanya dilakukan ahli pengobatan Cina saja tetapi juga dilakukan oleh para dokter lulusan fakultas kedokteran dari universitas di seluruh Cina. Pada tahun 1951 dibentuk sebuah Institut Pengobatan Akupunktur Cina dan sejak tahun 1955 ilmu akupunktur merupakan mata pelajaran dalam perguruan tinggi kedokteran di negara tersebut. Dan tahun 1956 didirikan 5 College pengobatan Cina termasuk ilmu akupunktur di kota Peking, Nanking, Shanghai, Kanton dan Cen Tu. Pada tahun 1958 mereka mulai mengintensifkan riset dalam bidang ilmu pengobatan akupunktur–moksibusi, dan mulailah banyak literatur-literatur tentang akupunktur diterbitkan dan disebar luaskan. Sejak tahun 1968 mulai diadakan riset penggunaan ilmu akupunktur dalam pembedahan sebagai anastesia. Kasus-kasus meliputi 400.000 buah telah dilakukan dan tetap berlangsung penambahan sampai saat ini. Kasus meliputi antara lain : tonsilektomi, pencabutan gigi, apendektomi, oprasi caesar, ovarietomi, koangiografi, pengangkatan tumor otak dan sebagainya. Dan mereka masih tetap mengadakan riset terhadap peranan akupuntur sebagai anastesi dalam pembedahan .
Ilmu akupunktur di negara Jepang juga berkembang dengan baik dan luas. Diungkapkan sejak tahun 259 SM ilmu akupunktur telah berkembang di negara tersebut berkat seorang ahli pengobatan Jepang bernama Jofku yang berasal dari Cina. Pada masa kini sekolah dan perguruan tinggi akupuntur telah tersebar di berbagai kota besar seperti, Tokyo, Osaka, Kyoto, Yokohama. Bahkan di Tokyo terdapat sebuah sekolah akupunktur dimana tunanetra turut dididik dan mempraktekan ilmu akupunktur ini. Diperkirakan di Jepang terdapat 500.000 akupunkturis yang berpraktek.
Di negara Korea ilmu akupuntur diperkirakan masuk sejak 2000 tahun yang lampau. Pada tahun 1963 Profesor Kim Bong Han, ahli biologi dari Universitas Pyong Yang telah meneliti, menjelaskan serta mendemontrasikan secara histologis dan elektro biologis tentang meridian dan titik akupunktur dalam Teori Sistem Kyung Rak (Cing Luo dalam bahasa Korea). Dinyatakan bahwa titk akupunktur terletak di dalam benda-banda kecil (korpuskel) dalam se-sel di bawah kulit manusia (diberi nama Korpuskel Bonghan), di dalam korpuskel terdapat DNA (desoxyribornucleic acid) yang berfungsi penting dalam metabolisme tubuh. Bilamana teori dari Profesor Kim Bong Han ini telah diakui secara internasional maka ini merupakan sebuah revolusi dalam bidang ilmu kedokteran.
Wilhelem ten Rhyne, seorang dokter V.O.C dalam bukunya mengenai rematik yang diterbitkan di London tahun 1683 mengungkapkan tentang pengobatan rematik dengan akupunktur. Engelbert Kampfer, seorang Jerman, di Jepang mempelajari ilmu akupunktur dan menulis tentang akupunktur dalam bukunya pada tahun 1712. Mereka inilah yang telah menggugah perhatian Eropa terhadap ilmu akupunktur.
Kemudian pada akhir abad XVIII, Louise Berlioz mempelajari ilmu pengobatan Cina, pada tahun 1863 dalam bukunya mengenai pengobatan Cina diungkapkan dengan jelas ilmu akupunktur. Dan pada abad XX, seorang Konsul Prancis di Cina yang bernama Soulie De Morant karena tertariknya terhadap falsafah Cina, mulai mempelajari bahasa mandarin dan cara pengobatan akupunktur di tempat tugasnya itu. Setelah kembali ke negaranya ia menterjemahkan buku akupunktur dari bahasa Cina ke dalam bahasa Prancis, serta menganjurkan para dokter Prancis mempelajari ilmu akupunktur. Bukunya tentang akupunktur–moksibusi merupakan buku pertama akupunktur di negara Barat.
Akhir-akhir ini cara pengobatan akupunktur telah berkembang di Prancis, serta diperkirakan terdapat 500 dokter yang praktek akupuntur di negara itu. Dan French Nasional Service, sebuah badan nasional Prancis, telah mengakui Ilmu akupunktur dan ongkos pengobatan dengan akupunktur dapat ditagih atau dipikul oleh badan tersebut. Pada masa kini telah didapati lebih dari 10 Rumah Sakit di Prancis mempunyai Bagian Akupunktur untuk melayani kebutuhan masyarakatnya. Di negara tersebut didapati sebuah organisasi akupunktur yang bersifat Nasional yaitu La Sociate Fran Caise D'acupuncture yang saat ini diketuai oleh Dr. J. C. de Tymowski. Organisasi ini yang mengadakan Konggres Akupunktur Internasional setiap tahun bagi akupunkturis diseluruh dunia. Organisai yang lain adalah L'Organisatiaon Pour Etude et Le Development de L'Acupuncture.
John Tweedale dari Lyme Regis memperkenalkan akupunktur di Inggris pada awal abad XIV dalam buku Lancet terbitan 1823 dimana dilaporkan tentang keberhasilan pengobatan akupunktur. Di tahun 1827 dilaporkannya keberhasilan gemilang dalam pengobatan anasarka dengan akupunktur. Dalam tahun yang sama Dr. John Elliotson dari St. Thomas Hospital melaporkan hasil pengobatan akupunktur terhadap 100 kasus rematik menahun. Dan masa kini, Felix Mann dari Inggris dengan buku-bukunya tentang akupunktur: The Ancient Chinese Art of Healing, Acupuncture Points, Anatomical Charts of Acupuncture Points, Meredian and Extra Meredian, Atlas of Acupuncture menyebarkan ilmu ini secara luas ke seluruh dunia.
Dr. Engelbrecht Kampfer yang disebut di atas menulis buku Curatio Colicae per Acupuncture Japonibus Usitata yang merupakan buku pertama tentang akupunktur di Jerman (tahun 1712). Pada abad ini didapati beberapa akupunkturis terkemuka di Jerman, antara lain Dr. Gerhard Bachman yang menulis tentang akupunktur dalam bukunya antara lain Die Akupunktur Eine Ordnungstherapie pada tahun 1959 .
Di Amerika Serikat, ilmu akupunktur telah berkembang lama dalam lingkungan Cina Town di kota San Francisco dan New York. Dalam dua tahun ini ilmu akupunktur telah merebut perhatian negara tersebut, para dokternya mulai mempelajari, menyelidiki, riset dan mempraktekannya. Di Elstein Hospital dan Massaachusset Hospital telah melakukan penyelidikan mengenai anastesi dengan akupunktur. Dr. Allen Russek dari Institute Rehabilitation and Medicine New York telah berhasil dalam pengobatan menghilangkan rasa nyeri pasien pada penderita penyakit kronis dengan akupunktur, para dokter di Michigan's Northville State Hospital juga melakukan anastesi dengan akupunktur pada beberapa pembedahan, antara lain pencangkokan kulit sampai eksisi tumor, operasi hernia, pencabutan gigi dan onsilektomi dan hasil yang dilaporkan memuaskan.
Perkembangan akupunktur di negara kita bilamana dibandingkan dengan perkembangan di negara lain, tidaklah tertinggal. Hidupnya cara pengobatan akupunktur di Indonesia setua adanya perantau Cina, mereka membawa kebiasaan dan kebudayaannya juga cara pengobatanya ke Indonesia. Hanya saja ilmu akupunktur itu hidup sebatas dalam lingkungan mereka dan sekitarnya saja, dan hanya sinshe yang melakukan praktek. Baru pada tahun 1963 Departemen kesehatan dalam rangka penelitian dan pengembangan cara pengobatan Timur, termasuk ilmu akupunktur, atas intruksi Mentri Kesehatan masa itu, Prof. Dr. Satrio, telah membentuk Tim Riset Ilmu Pengobatan Tradisional Timur. Maka mulai saat ini praktek akupunktur diadakan secara resmi di Rumah Sakit Umum Pusat Jakarta yang kemudian berkembang menjadi sub bagian di bagian Penyakit Dalam, dan selanjutnya menjadi Unit Akupunktur Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada masa kini. Di samping memberi pelayanan poliklinis terhadap pengunjung atau penderita, Unit Akupunktur R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo juga menyelenggarakan pendidikan untuk menghasilkan dokter ahli akupunktur baru.
Akupunktur tradisional berbeda dengan akupunktur medik. Dalam dunia kedokteran, yang telah diakui adalah akupunktur medik karena telah memiliki bukti ilmiah hasil penelitian para ahli. Awalnya dokter spesialis akupunktur dikenal sebagai Dokter Ahli Akupunktur karena sekitar tahun 70-an memang belum ada jalur spesialisasi akupunktur di fakultas kedokteran.
Positivisme dan Prosedur Ilmu
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garisdemarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalahveriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiahInduktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value)
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis
Prosedur Ilmu dan Ketersingkiran Akupuntur
Sejarah panjang dan pengakuan terhadap akupuntur ternyata belum bisa menempatkannya sebagai salah satu metode ilmu kedokteran, padahal ilmu kedokteran barat jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan akupuntur. Tentu saja proses pengasingan akupuntur dari dunia kedokteran tidak terjadi begitu saja. Dengan semangat kolonialisasi, para filsuf merumuskan satu prosedur ilmu yang baku untuk menetapkan sebuah kebenaran ilmiah. Hanya dengan kebenaran ilmiah inilah, sebuah pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Lalu, bagaimanakah kebenaran ilmiah tersebut didapatkan? Tentu saja tak semudah membalikkan telapak tangan, ilmu pengetahuan disusun dari sejarah panjang epistemology barat. Perdebatan-perdebatan yang terjadi di ruang diskursus, penemuan-penemuan teori baru, sampai pada semangat menetapkan sebuah model ideal dimulai pada zaman modern.
Auguste Comte, salah seorang filsuf asal Prancis yang merupakan representasi untuk positivisme, sebuah ajaran yang membakukan prosedur ilmu pengetahuan. Istilah positivisme berasal dari kata “positif” yang diartikan sebagai penyusunan fakta-fakta yang teramati. Secara etimologi, kita dapat menggambarkan betapa ketatnya prosedur ilmu yang dirumuskan oleh Comte.
Kebenaran ilmiah menurut Comte bukanlah berasal dari rasio manusia, meskipun rasio manusia pada faktanya digunakan untuk mencari kebenaran ideal itu. Dengan demikian, secara eksplisit Comte telah menolak pandangan kelompok rasionalis. Sama halnya dengan pandangan kelompok empiris, Comte menganggap bahwa teori-teori empirisme masih mengakomodir pengalaman rohani manusia, sehingga produk ilmu yang dihasilkan masih bersifat subyektif.
Pelbagai kritik yang dilancarkan Comte terhadap kedua pandangan dari kelompok tersebut dijawabnya dengan merumuskan sebuah prosedur ilmu yang baku. Menurut Comte, satu-satunya obyek ilmu pengetahuan adalah fakta empiris. Positivisme menolak segala bentuk obyek yang bersifat metafisika karena tidak dapat dibuktikan secara nyata. Untuk menghasilkan produk ilmu pengetahuan yang obyektif, fakta tersebut harus diperoleh dengan menggunakan metode observasi. Setelah fakta-fakta tersebut didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap fakta itu. Menurut Comte, sebuah fakta yang dihasilkan dari metode observasi hanya bisa bersifat obyektif apabila dianalisis dengan menggunakan ilmu matematik/ilmu statistik. Argumentasi Comte tersebut dapat dipahami, mengingat ia sangat mengagumi ilmu alam sejak kecil.
Semua syarat yang dirumuskan oleh Comte itu dibakukan sedemikian rupa sebagai prosedur ilmu pengetahuan. Sejak hari itu, tanpa sadar Comte telah mewarisi semangat pembakuan ilmu pengetahuan. Efeknya, semua pengetahuan tanpa menggunakan prosedur ilmu yang ditetapkan oleh positivisme tidak diakui sebagai ilmu pengetahuan.
Jika setiap produk pemikiran seorang filsuf selalu mengikuti semangat zamannya, begitu juga dengan Comte. Ia mewarisi situasi ketidakteraturan yang terjadi pasca revolusi Prancis pada abad ke-19. Zaman itu, hampir seluruh filsuf di Eropa mengidamkan suatu bentuk masyarakat yang ideal. Bagaimana masyarakat ideal itu diciptakan? Salah satunya menurut Comte adalah melalui ilmu pengetahuan. Seperti yang telah penulis uraikan di awal, bahwa segala sesuatu yang ideal selalu membutuhkan tumbal baginya. Sejak dahulu, akupuntur tidak mengikuti prosedur ilmu sebagaimana diterapkan oleh Comte, sehingga akupuntur selalu menjadi tumbal dari ilmu kedokteran barat.
Tidak hanya akupuntur, pelbagai pengobatan alterantif lainnya seperti Bekam, Akupressure, maupun pengobatan herbal tidak pernah mendapatkan tempat yang sejajar dalam ilmu kedokteran barat. Ilmu kedokteran barat hingga kini masih dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang teruji secara ilmiah melalui prosedur ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H