Meninggalnya pasangan hidup memiliki angka indeks stres, 100.
Perceraian, 73.
Pensiun, 45.
Pindah pekerjaan, 36.
Pindah jabatan, 29.
Akhir tahun 2001, saya memiliki indeks stres di bawah angka meninggalnya pasangan hidup dan perceraian. Indeks saya 47. Saat itu saya baru saja mengalami pemutusan hubungan kerja pada suatu perusahaan Internet di Jakarta.
Amplop berisi surat pemberitahuan PHK itu saya baca di sebuah bangku kayu, di bawah pohon kecil, di pinggiran jalan Kebon Sirih, Jakarta.Sore hari. Antara sikap menerima dan ingkar, campur aduk. Tetapi begitu semakin menjauh dari lokasi itu,danmelalui proses <em>self-talk</em> yang intensif, akhirnya rasa sakit dan marah itu akhirnya bisa reda juga.
Kira-kira setahun kemudian, saya datangi kembali bangku kayu dan tanaman kecil yang menjadi saksi saat saya kehilangan pekerjaan di Jakarta itu. Rumus dari Nora Ephron, sutradara film komedi romantis Sleepless in Seattle (1993), benar adanya.
Tragedi + waktu = komedi.
Sejarah serupa rupanya berulang lagi. Kali ini di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Di gedung tersebut pada hari Sabtu, 26 Januari 2008,saya tereliminasi sejak awal ketika ikut Audisi Pelawak TPI ke-4 (API-4). Kemarin, 2 April 2010, saya bisa kembali ke gedung yang sama, dalam suasana yang hampir sama. Tetapi membawa perspektif yang berbeda.
Gundah gulana saya akibat kegagalan dua tahun itu kiranya pantas menjadi bahan tertawaan. Senyatanya, karena cengkeraman perasaan egosentris memang sering membuat kita, tak terasa,mudah tergoda memberi harga terlalu tinggi bagi diri sendiri. Akibatnya, cedera atau terbarut sedikit saja sering membuat kita merasa betapa dunia terancam kiamat. Kecongkakan semacam itu, sekali lagi, memang pantas untuk menjadi bahan tertawaan.
Diam-diam, buah dari kesadaran semacam itu adalah berkah. Kita bisa membumi kembali. Dengan bekal isi jiwa seperti itu saya memenuhi undangan sobat maya saya, Harris Cinnamon dari TPI, untuk ketemuan di Yogya. Saat itu, 2-3 April 2010, TPI mengadakan audisi memilih calon penghibur dalam tajuk Piala Dunia Tawa.
Memasuki gedung itu,saya seperti sedang pulang ke rumah. Gedung ini mudah diakrabi. Tanggal 12 Oktober 2002, ketika Bali diguncang bom Amrozy dkk, adik saya menjadi pengantin di gedung ini pula.Dan ketika mencoba bertegur sapa dengan sebagian peserta audisi, sungguh mengejutkan, sebagian dari mereka adalah alumnus API-4 juga. Seingat saya, di tahun 2008 itu rasanya belum pernah berkenalan, toh hari ini sebagian mereka pernah merasa mengenal saya. Nampaknya sirkuit dunia komedi kita memang benar sebagai dunia yang sempit.
“Baru tiga,” kata Harris Cinnamon yang beringsut dari kursi jurinya, untuk menyalami saya. Saya terlambat, sehingga tiga penampil pertama terlewat dari saya. Tahun 2008 lalu, Momon (dalam hati ia saya sebut sebagai <em>da’i rocker</em>) yang kini rambutnya lebih pendek, memberikan pengarahan kepada para peserta audisi API-4, termasuk saya. Ia bos, saya peserta. Kini saya datang sebagai kawan. Sebagai tukang catat. Tukang lapor. Tukang cerita.
Kalau boleh diberi label sebagai gagah-gagahan, saya datang ingin juga sebagai “sejarawan” komedi Indonesia. Saya datang dengan bekal, seturut ujaran sejarawan Perancis, Ferdinand Lot, bahwa sejarawan harus memiliki empati terhadap obyek kajiannya.Karena tanpa itu tak ada wawasan yang imajinatif untuk menggali masa lampau. Idealnya lagi, menurutnya, sejarawan harus menunjukkan kemampuannya sejajar dengan apa yang dimiliki para penyair dan seniman.
<b>Rendang kerbau.</b> Lanskap apa yang nampak ketika anak-anak muda masa kini ingin terjun dalam dunia hiburan, khususnya lawak ? Lawakan tentang drakula dan kuntilanak a la Srimulat masih ada. Banci-bancian, juga masih ada. Lawakan hansip, juga ada. Plesetan kata, tetap muncul lagi juga. Penampilan komedian tunggal dengan gaya bercerita, mungkin ini warisan almarhum Taufik Savalas, juga ada. Lawakan dengan menyemprotkan air dari mulut ke wajah lawan main, juga ada.
Tontonan duplikasi adegan fotonya Marilyn Monroe dengan rok tersibak, juga ada. Dibawakan oleh Sarita (2009), diceritakan bahwa bintang film dan dewi seks AS itu bangkit dari kubur, menari dan menyanyi dan lalu kembali ke liang lahat.
Walau pesertanya tidak segegap gempita API-4, di mana ruang penjurian terdapat dua dan kini hanya satu, semangat peserta untuk berlawak-lawak-ria pantas diberi tepuk tangan. “Kali ini pendekatannya rada berbeda, Bang,” tutur Harris Cinnamon, saat kami usai sholat Jumat, sebelumsesi penjurian dilanjutkan.
Kalau dalam API-4, kata Momon, yang direkrut untuk dibina adalah kelompok yang menonjol, kini yang dicari adalah individu yang istimewa. Mereka-mereka itu selanjutnya akan dilakukan <em>pairing</em>, pencocokan dengan individu yang lain, sehingga diharapkan hadir sinergi yang lebih saling memperkuat.Pendekatan itu yang membuat suasana audisi terasa lebih hidup. Walau juga kadang konyol.
TPI nampak serius dalam merekrut talenta-talenta baru dunia hiburan televisi di Indonesia. Mereka menerjunkan personil kunci mereka. Tony Tanuwijaya, eksekutif produser, Nurbati,Harris Cinnamon, direktur kreatif, dan Erick Tamalagi, produser.Danjuga ditongkrongi oleh GM Produksi, Nala Rinaldo.
Seperti Sajimin (2006), alias Pak Minyang tampil berblangkon, yang mengaku sebagai dalang <em>cangkeman</em> alias bermain wayang dengan instrumen mulut belaka, digojlok habis-habisan di panggung oleh para juri.
Dibuat dirinya agar terpojok, sehingga Pak Min itu mampu mengeluarkan kesaktiannya, katakanlah <em>jeroannya</em> secara lahir batin. Ketika ia dipaksa keluar dari sarang kosmologi Jawanya dan diminta menyanyilagu pop, yang muncul adalah lagu tentang perempuan yang hidup dalam lumpur noda. Malah ia sempat terloncat perkataan, bahwa “istri saya juga berasal dari sana.”
Andri Balung (2018) yang tampil sendirian, juga mendapat teror serupa. “Wah, pengin <em>dadi wong kondang kok yo rekoso</em>,” keluhnya di panggung. Ketika disodori sisir besar terbuat dari <em>styrofoam</em>, apa yang akan ia perbuat ?Andri menggigit pinggir sisir itu sampai somplak. Audiens di ruangan pun terbahak.
Lawakan tunggal yang merambah gagasan coba ditampilkan oleh Andika Putra (2008). Ia tampil di panggung dengan jas dan berdasi. Tetapi celananya, aneh. Separo lengkap, sewarna dengan jas, bersepatu resmi. Separo celana satunya lagi adalah celana pemain sepak bola, dan bersepatu pemain sepak bola.
“Jauh-jauh dari Padang,” katanya mengenalkan diri, dan rupanya ia sekaligus pula membawa sudut pandang budaya Ranah Minang ketika menyentil ulah para penguasa dan politisi kita.Nampak merujuk demo mahasiswa yang mengusung binatang kerbau beberapa waktu lalu, Andika menggertak : “Banyak penguasa kita yang seperti kerbau. Nampaknya gagah dan kuat, tetapi segera menjadi lembek ketika berubah menjadi rendang.”
Tentang pakaiannya ? “Ini cerminan ulah politikus kita. Di depan nampak bersopan-sopan, tetapi di belakang layar mereka saling main tendang, sepak-sepakan !”
Lelucon yang juga bersinggungan dengan wacana politik juga diusung oleh kelompok BS, Barang Sortiran (2025). Trio ini terdiri dari Rokayatun, Suwanto dan Eko. Sebelumnya, saya sempat mengobrol dengan mereka. Rokayatun (cowok) adalah alumnus audisi API-4yang kelompoknya bernama PHH ikut lolos ke Jakarta.
Ia memberi saya kartu nama, dengan tajuk MC Kocak/Lawak “Sardjoe” yang siap <em>ditanggap</em> untuk hajatan pertemuan, seminar, acara promosi, pesta reuni sampai ulang tahun. No HPmereka yang bisa dihubungi : 085640234449.
Pada kartu nama itu juga terteralogo API-4. Tetapi ketika para juri saat itu sempat menanyakan, apakah kelompok ini “orang lama,” membuat saya tersenyum-senyum. Karena nampak trio awak BS itu menjadi sibuk berkelit, dan bagi saya ini adalah komedi pula.
Ketika dalam perjalanan pulang, saya kirim sms ke Rokayatun, berkomentar bahwa penampilan mereka jauh lebih unggul dibanding peserta lain yang sempat saya tonton.
Trio BS itu membawakan lakon “Rampok,” yang tidak lain merupakan satir bagi para politisi, birokrat sampai penegak hukum kita yang korup, yang merampok uang rakyat. Sempat terlontar ketika mengenalkan anggota termuda dari trio perampok itu, dengan ujaran : “Adik saya yang terkecil ini adalah perampok yang masih berstatus honorer.”
Hari Jumat itu saya sempat menonton 22 dari 58 peserta audisi yang terdaftar hingga siang itu. Di tengah acara, tiba-tiba saya memperoleh sms dari nomor yang asing. Ia menanyakan, apakah saya ikut dalam audisi siang itu pula. Tentu saja, saya jawab : saya tidak ikut.
Pengirim sms itu bernama Burhan, asal Sukoharjo, memperoleh nomor urut 2033. Saya keburu pulang, dan mengirim sms agar ia berhasil. Burhan menjawab antara lain : “Waduh, padahal saya belum ketemu mas loh. Ehm, kemarin saya masuk ke blognya mas. See you.”
<strong>Awal perjalanan.</strong> Kabar dari Burhan itu lumayan membuat senang. Tahun 2008 lalu, gara-gara blog ini pula, saya bisa bereuni darat dengan Ade Tao, juri saya yang sebelumnya saling ketemuan di dunia maya. Kini, dengan pelaku lain, yang pasti atas bantuan kedahsyatan Google, hal serupa rupanya terjadi lagi.
Blog saya ini ternyata memiliki <em>power</em> yang tak terduga-duga bagi saya. Mungkin karena belum banyaknya blog dengan topik komedi, akhirnya blog saya ini boleh jadi terdongkrak menjadi semacam gerbang. Gerbang itu pula yang mau tak mau harus dilirik dan dilewati oleh mereka yang ingin mengenal atau pun menerjuni dunia komedi.
Melegakan, bila isinya memang mampu memberi manfaat.Walau boleh jadi terlalu sangat hiperbolik bila <em>power</em> semacam itu yang membuat sobat saya Effendi Gazali, setelah bermurah hati menuliskan <em>endorsement</em> untuk buku Komedikus Erektus saya, menambahinya saat menulis sms (16/3/2010 ) kepada saya. Isinya berbunyi : “Anda tetap <em>supervisor or guardian</em> dunia humor Indonesia.”
Hari Minggu pagi (4/4/2010), ketika saya melakukan olah raga jalan kaki pagi di bendungan waduk Gajah Mungkur, saya mendapatkan sms lagi. Bunyinya antara lain : “Thanks atas doanya, BS lolos Jakarta bersama 2 grup lainnya.” Saya segera membalas, mengucapkan selamat dan dorongan agar mereka mampu lebih berprestasi nantinya.
Demikianlah, hari Jumat di Gedung Wanitatama Yogyakarta itu, menjadi hari yang menggembirakan bagi saya.Mereguki semangat anak-anak muda yang bergairah menerjuni karier di dunia hiburan, utamanya lawak, ibarat memperoleh tetes air dari oasis yang menyegarkan jiwa. Sebagai bekal dalam menempuh, serta melanjutkan perjalanan yang masih panjang di depan.
Ikhtiar TPI merupakan sebuah pintu yang terbuka. Pantas diberikan akolade. Tetapi bagi mereka yang mampu masuk, atau pun bagi mereka yang belum beruntung, perjalanan meraih sukses dalamkomedi senantiasa akan selalu terpulang kepada masing-masing individu. Seberapa keras, tangguh dan tahan uji,dalam menempa diri mereka sendiri.
Utamanya, seperti tak bosan saya tulis dalam blog saya, adalah ikhtiar menempa diri sendiri untuk mampu menjadi pribadi atau persona yang unik, orisinal, di antara wajah-wajah komedian yang lalu lalangselama ini, 0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H