"Cantik-cantik mana, mahasiswi Fakultas Psikologi UI atau Fakultas Sastra UI ?"
Pertanyaan sulit itu diajukan oleh Suprantyo "Yoyok" Jarot. Ia adalah adiknya aktor kawakan Slamet Raharjo Jarot. Juga adik dari seniman/pencipta lagu/aktivis dan politisi Eros Jarot. Yoyok mengajukannya kepada saya di tengah-tengah syuting film yang dibintangi Frans Tumbuan, di kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun, tahun 1983-an.
Sungguh suatu kejutan bisa ketemu Yoyok di Jakarta ini. Sebelumnya kami ketemu di desa Sawahan Bantul, tahun 1978. Saat itu berlangsung syuting film November 1828-nya Teguh Karya. Ia jadi kru penata artistik, dan saya sekitar 2 minggu ngekos di desa Sawahan semata ingin menonton pembuatan film bersangkutan. Kerennya, ingin belajar sinematografi. Juga banyak ngobrol sama Labbes Widar, dosen film IKJ saat itu.
Tetapi sebelumnya lagi, di tahun 1975, walau saat itu kami belum saling kenal, Yoyok pernah manggung bersama kelompok teater Jakarta di Sasonomulyo, Baluwarti, Solo. Bintangnya antara lain Deddy Mizwar. Dari rombongan Jakarta itu yang saya kenal hanya Sri Husin. Seusai pertunjukan, ditemani pula Victoria Monk, cewek bule yang artistik dan bermata biru asal Australia yang tetangga saya di Baluwarti, Solo, kami mengobrol sampai larut malam.
Pertanyaan Yoyok tadi sulit saya jawab. Sambil nongkrong di kupel Taman Sastra UI , ia saya persilakan cuci mata melihat-lihat kaum "WTS" yang berkeliaran saat itu. Dan saya biarkan ia yang memutuskannya sendiri. Benarkah kaum WTS berkeliaran di kampus UI, pada siang hari ? WTSÂ adalah singkatan dari Wanita Taman Sastra.
Saat itu kalau Yoyok bertanya, lebih lucuan mana dosen Fakultas Sastra atau dosen Fakultas Psikologi, saya mungkin agak sok tahu jawabnya. Saya akan menjawab : dosen Fakultas Psikologi. Namanya : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Kadang-kadang di sms atau email, saya memanggil dengan sebutan Prof atau julukan populernya yang mencitrakan semangat tetap awet muda (akun di Facebooknya) : Mas Ito.
Humor seks. Walau kampus kami jaraknya hanya sepelemparan batu ("kalau melemparnya melenceng bisa mengenai genting gedung FISIP, FH, IKIP Jakarta atau Pusat Bahasa"), saat itu jelas Mas Ito tak mengenal saya. Saya yang mengenal beliau, karena beliau sering menulis di koran-koran, dengan topik hot saat itu. Pendidikan seks. Ia memang dikenal luas sebagai guru besar yang ahli main sex. Maksud saya, ahli main sax. Saxophone.
"Kalau organ seks pria, penampilannya lebih sederhana," begitu tutur Mas Ito. Terdengar seisi aula FSUI tergelak. Bergemuruh. Potongan menggelitik dari ceramah pendidikan seks itu hanya saya dengar melalui kaset, yang saya temukan di Lab Bahasa FSUI.
Saat itu saya sebagai asisten dosen JIP-FSUI melakukan rekaman suara untuk pembuatan program pandang-dengar berupa sound slide untuk promosi perpustakaan. Saya yang menulis skrip, juga pengisi suara, dibantu mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio, Mien Lindim Pongoh. Teman cantiknya, Gustinia Farida, di mana saat itu saya bersama Hartadi Wibowo menjulukinya sebagai "Lady Diana," yang sayang, konon kabarnya ("info dari mBak Yayi") pindah ke Australia.
Ditilik dari kacamata kajian humor, tuturan ilmiah dari Prof. Sarlito itu sebenarnya "tidak bergerigi" dan "tidak menjurus" untuk mengundang tawa. Tetapi mengapa justru mampu mengundang ledakan tawa ?
Gene Perret dalam bukunya (1982), menulis bahwa Comedy Writing Step-By-Step : How to Write and Sell Your Sense of Humorsense of humor itu menyangkut tiga keterampilan. Pertama, to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya. Kedua, to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya. Dan ketiga, to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.