Analogi aneh Rais PBNU, Demi membela Ba,alawi ?
Oleh : Komarudin Daid
Sebelum menanggapi ceramah Rais PBNU,izinkan penulis ingin membuat  disclaimer terlebih dulu.
Sesungguhnya penulis merasa sungkan untuk menanggapi ceramah yang mulia kiyai Miftahul Ahyar sang Rais Am PBNU,apalagi menyangkut soal nasab. Penulis awam sama sekali soal  pernasaban.
 Terdorong keinginan menyampaikan pendapat dalam perspektif yang terbatas ,  dimana hal  itu dijamin oleh undang-undang,izinkan penulis menyampaikan beberapa hal dalam perspektif penulis.
 Penulis hanya akan menyampaikan dua hal , yaitu Pertama dampak yang terjadi dari tulisan kiyai Imaduddin Al Bantani dalam tesis soal nasab dan yang kedua respon  atas  ceramah Rais Am PBNU yang menyoal  tesis Ilmiah kiyai Imaduddin al-Bantani dalam acara haul muasis NU di Gresik 25 Mai 2024 lalu , yang sudah setahun lebih menjadi polemik ditengah masayarakat,khususnya umat Islam terlebih lagi warga NU.
Ceramah Rois Aam PBNU dalam pandangan penulis  karena  ketidak cermatan mengamati, juga disertai sikap khusnodzon yang berlebihan, sehingga ada Misleading, muatan berbau fitnah, dengan alasan sebagai berikut:
1. Kiyai Imad dianalogikan sebagai pemuda yg Sholeh , siang puasa, sepanjang malamnya beribadah, tapi  sombongnya luar biasa, sehingga karena kesombongnya itulah dia harus terbunuh  oleh  Sayidina Ali  dan itupun atas perintah nabi Muhammad SAW.  Analogi yg sama sekali tidaklah tepat dialamatkan kekiyai Imaduddin Usman. Mana mungkin seorang muslim yang sedang gelisah menyaksikan prilaku sekelompok habaib, berusaha mencari kebenaran,dengan mengumpulkan berbagai data,buku,manuskrip kuno , buku-sejarah,kitab Nasab  dari abad ke keempat  sampai abad ke sembilan,tapi dengan  dicap sebagai orang yang sombong , cuma karena kiyai Imad bersikukuh mempertahankan tesisnya dan menolak seandainya ada ulama dunia yg mempatwakan nasab ba,alawi nyambung keRosulullah. Tentu saja kiyai Imad bersikap demikian karena dia sangat yakin kalau hasil penelitian yang dibukukan dalam sebuah tesis ilmiah benar adanya.
2. Kiyai  Imad  yakin  tidak akan ada ulama dunia yg akan membuat fatwa demikian,bahkan sebaliknya ulama dan Mufti dari negara-negara Timur Tengah  menfatwakan kalau habaib bukanlah keturunan nabi Muhammad SAW.
3. Rais Am PBNU terkesan menutup diri dari ilmu pengetahuan baru, ,temuan baru ,sehingga tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk seorang kiyai Imaduddin al-Bantani membuktikan kebenaran tesisnya,justru inilah yang boleh disebut kesombongan. Bukankah sebagai Rais Am PBNU, pimpinan tertinggi NU beliau bisa dengan sangat mudah memerintahkan kiyai Imad,yang juga pengurus Pengurus Wilayah NU Banten, datang ke PBNU untuk  mempertanggung jawabkan tesis Ilmiah yang sudah menggegerkan jagad perhabiban dijagad Nusantara bahkan dunia itu. Menapa langkah ini tidak dilakukan,malah  menyebar tuduhan  kalau kiyai Imad sebagai orang yang sombong bahkan menuduh tesis kiyai Imad sebagai pola Wahabi yang ingin memecah belah bangsa.
4. Terakhir yg paling penting  adalah , tesis Ilmiah  harus dilawan dengan tesis Ilmiah juga. Bikin buku,karya tulis yang secara meyakinkan  bisa mematahkan karya tulis kiyai Imad.Patahkan tesis dengan dengan tesis antitesa. Tidak ada gunanya menggunakan cara lain,apalagi cara-cara primitif yang menantang secara pisik,atau menuduhnya dengan hal-hal negatif, membuat framing bahkan fitnah , cuma untuk menyakinkan umat Islam kalau tesis kiyai Imad tidak Ilmiah, abal-abal,tidak bermutu dan bertujuan memecah belah umat Islam,antara  ulama dan habaib, sementara itu tidak selembar pun karya tulis yang dibuat, yang mampu mematahkan tulisan kiyai Imad.
Selama belum ada tesis lain yg bisa mematahkan argumentasi kiyai Imaduddin, selama itu pula tesis kiyai Imad dianggap benar adanya sampai ada yang benar-benar  mampu menggugurkan tesis tersebut.
Timbul pertanyaan,ada apa sebenarnya dengan kiyai Miftahul Ahyar?. Ada apa pula dengan elit PBNU lainnya seperti ketua Tanfidziah NU kiyai  Yahya Kholil Staquf  dan pengurus PBNU yang lain, yg juga bersikap sama dengan Rais Am PBNU ketua Tanfidziahnya. Mengapa mereka begitu kukuh membela habaib sehingga tidak menyisakan sedikit saja ruang diskusi, yang  memungkinkan pendapat dan fakta ilmiah  baru dari apa yg dipahaminya selama ini.
Bukankah selama ini Nahdlatul Ulama dalam merespon persoalan yang aktual ( Waqi,Iyah ) dan masalah yang bersipat tematik ( Maudluiiyah )  selalu dengan hati- hati, karena itu biasanya  NU menggelar batsul Masail,  sebelum  menentukan status hukumnya,  lalu mengapa untuk persoalan nasab habaib , NU justru melarangnya ?.
Adalah mustahil para elit ditubuh NU tudak tau perilaku sekelompok habib atau habaib terhadap ulama pribumi selama ini ,tapi tidak ada pembelaan sedikitpun terhadap ulama Nusantara kita.
Apa masih kurangkah hinaan  yang membandingkan tujuh puluh kepala kiyai yang bukan habaib masih kalah mulia dibanding dengan telapak kaki seorang habib yang bodoh, yang jahlul sekalipun.