Ngobrol merupakan aktivitas yang sangat digemari oleh semua kalangan, tua -muda, laki-laki perempuan, rakyat jelata - para petinggi negeri, para pekerja - hingga konglomerat kelas kakap. Karena bersifat dua arah, maka dalam aktivitas ngobrol semua pihak memiliki posisi setara, dan bisa menggali informasi atau menyanggah pandangan pihak lain tanpa ada rasa sungkan.Â
Itulah yang dilakukan oleh Socrates (469 SM- 399 SM) dalam memperluas wawasan dan menggali kesadaran filosofis masyarakat. Ia berkunjung ke pasar, taman-taman kota dan tempat warga Athena berkumpul untuk berdialog atau ngobrol, tanpa ada tendensi menggurui atau menganggap dirinya paling tahu dan paling bijak.Â
Socrates berupaya membantu proses kelahiran wawasan dan kebijaksanaan dari orang-orang yang dia ajak dialog, sehingga metodenya disebut "metode bidan". Oleh karena itulah, forum ini menggunakan metode ngobrol untuk berbagi apapun yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan.
Ali  :   Saya sangat prihatin dengan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih tertinggal bahkan dari negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara sekalipun. Tentu saja setiap kita punya andil dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Namun, sebenarnya siapa sih yg paling menentukan kualitas pendidikan?
Lia : Â Â Pertanyaan yang sangat menantang. Tapi, bisakah dipertajam supaya lebih fokus dan mudah menjawabnya?
Ali  :   Maksudnya?
Ila  :   Owh. Saya paham. Bagaimana jika pertanyaannya begini, siapa yang menentukan kualitas pembelajaran di kelas?
Lia : Â Â Nah itu yang saya maksud. Pertanyaan yang sudah dirumuskan dengan baik, mengandung 50% solusi, karena di dalamnya terkandung benih-benih jawabannya.
Ali  :   Saya tahu jawabannya, pasti guru, karena guru ibarat konduktor pada sebuah pementasan orchestra yang sangat menentukan sukses tidaknya pertunjukan tersebut.
Ila  :   Tapi menurut saya itu terlalu menyederhanakan masalah. Bukankah selain guru, ada beberapa faktor lain yang juga menentukan? Bagaimana dengan peran kepala sekolah, kebijakan lembaga, kurikulum, kualitas murid, sarana dan prasarana? Jadi tidak bisa guru menjadi faktor satu-satunya dalam menentukan kualitas pembelajaran.
Lia : Â Â Pendapatmu sangat tajam dan menyeluruh. Itu ciri-ciri orang yang selalu Iqra, tidak akan puas dengan sudut pandang tunggal. Namun, di antara seluruh variabel yang disebutkan barusan, apakah bisa sepenuhnya kita kendalikan?
Ila  :   Tentu saja tidak. Tapi bagaimana dengan peran faktor-faktor eksternal tersebut?
Lia : Â Â Semua faktor tersebut adalah penting, namun bukan yang paling menentukan. Sehebat dan secanggih apapun kurikulum, sarana dan prasarana yang tersedia, secerdas apapun kepala sekolah serta murid-muridnya, namun aktor yang paling menentukan hitam putihnya pembelajaran di kelas adalah guru. Faktor-faktor lain hanya sebagai pendukung saja.
Ali  :   Bagaimana jika kondisi anak-anak kualitasnya sangat rendah, baik perilaku maupun kemampuan akademisnya? Bagaimana kita bisa merancang pembelajaran yang berkualitas? Mustahil bukan?
Ila  :   Tidak ada yang mustahil di dunia ini Bro. Justru itulah tantangan guru yang sesungguhnya. Jika menghadapi murid yang sudah pinter dan baik mah, ga ada tantangannya.
Lia : Â Â Paling mudah memang dari setiap kita untuk mencari akar permasalahan dari pihak eketernal, murid, kebijakan sekolah, fasilitas, kurikulum dan seterusnya. Â Mencari sumber permasalahan di luar diri kita nyaris tidak memberikan solusi signifikan karena di luar kendali kita. Jarang yang mencari akar masalah dari dalam diri sendiri. Pada dunia militer berlaku doktrin: "tidak ada prajurit yg bodoh, yang ada adalah jendral yg tidak kompeten". Dalam dunia pendidikan, norma yang berlaku adalah "tidak ada murid yg bodoh, yg ada adalah guru yg tidak kompeten". Kegagalan murid, cerminan kegagalan guru dan sekolah. Terkait dengan hal ini, ada kutipan yang sangat indah, yaitu "If you think that the problem is out there, the thought is the problem".
Ali  :   Saya mulai paham sekarang. Berat juga menjadi guru ya. Lalu, apa saja indikator jika kita ingin menjadi guru yang berkualitas dan bagaimana mencapainya?
Ila  :   Wuah pertanyaan sangat serius. Perlu dua SKS untuk menjawabannya.
Lia : Â Â Jawabannya bisa mudah, bisa sulit. Tergantung kemampuan kita untuk meramunya.
Coba perhatikan gawai ini. Dua komponen apa saja yang paling menentukan kualitasnya?
Ali  :   Saya tahu. Hadrware dan softwarenya. Dua komponen ini yang menentukan kualitas gawai tersebut.
Lia :   Tepat sekali. Jika kita menggunakan metafora tersebut, maka kualitas guru juga ditentukan oleh dua hal, yaitu integritas  dan kapabilitas. Integritas terkait dengan sikap mental, nilai-nilai yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Sedangkan kapabilitas merupakan kemampuan teknis terkait dengan pelajaran yang diampunya. Keduanya harus dimiliki secara utuh, tidak bisa dipisahkan.
Ila  :   Mungkin integritas istilah lainnya adalah "soft competency", kondisi psikis, nilai-nilai yang dianut seseorang, yang cenderung dipengaruhi oleh keyakinan dan visi dirinya. Adapun kapabilitas adalah "hard competency", modal intelektual dan keterampilan untuk memudahkan  menjalankan tugas agar mencapai hasil optimal.
Ali  :   Wuidih keren.
Lia : Â Â Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja indikator pembelajaran berkualitas?
Ali  :   Kalau merujuk pada pola jawaban di atas, saya punya dua indikator, yaitu kualitas manajemen kelas dan kualitas konten. Kemudian muncul pertanyaan turunannya, apa saja variabel manajemen kelas dan konten berkualitas?
Lia : Â Â Ya begitulah. Pertanyaan dan jawaban akan selalu bersifat sirkuler, melahirkan pertanyaan berikutnya yang menuntut jawaban yang akan melahirkan pertanyaan baru. Dari proses inilah peradaban kita terbangun.
Ila  :   Menurut saya, kualitas manajemen kelas sangat ditentukan oleh kemampuan guru menata waktu secara efisien pada setiap pertemuan, membangun atmosfir pembelajaran yang kondusif, dan metode yang bervariasi. Sedangkan dari segi konten, guru tidak boleh terpenjara oleh buku teks, harus mengaitkan tema yang sedang dibahas dengan dinamika yang terjadi di luar sana, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global. Ruang kelas jangan menjadi penjara mental bagi anak. Guru harus mampu menjebol dinding kelas agar terkoneksi dengan dunia luar. Tanpa terobosan seperti itu maka kurikulum justru akan mengerdilkan wawasan anak.
Lia : Â Â Saya kira jawabannya sudah sangat detil.
Ali  :   Pertanyaan terakhir saya, bagaimana upaya-upaya menuju ke arah sana?
Ila  :   Meningkatkan kualitas pembelajaran, maksudnya?
Ali  :   Ya.
Lia : Â Â Banyak jalan menuju Roma. Kita bisa mengidentifikasinya bersama-sama.
Ali  :   Berdasarkan pengalaman saya, satu di antara kelemahan kita adalah dalam hal pendokomentasian pengalaman, baik berupa catatan, foto maupun video, sehingga tidak ada bahan untuk evaluasi. Karena itu, upaya yang bisa dilakukan adalah mendokumentasikan segala hal yang sudah kita lakukan di kelas.
Ila  :   Dengan cara itu, kita bisa menilai seluruh capaian dan kekurangan diri, bukan?
Lia : Â Â Benar. Jangan lupa, kita juga bisa menjadikan orang lain sebagai cermin yang akan memberikan masukan hal-hal yang harus kita perbaiki. Pilih teman dekat, yang bisa dengan jujur menilai kita apa adanya, atau sebaliknya. Jadi, kita bisa saling bercermin diri.
Ali  :   Mirip lagu Justin Timberlake ya, MIRRORS.
Lia : Â Â Jangan lupa untuk terus Iqra sebagai sarana pengembangan diri. Bukankah perintah pertama dalam ajaran Islam adalah Iqra? Nah akhirnya tuntas sudah obrolan kita hari ini. Jika dijadikan bahan kuliah mungkin setara dengan dua SKS kuliah di LPTK.
Ali  :   Sepertinya perlu ada NGOPI-NGOPI lanjutan dengan tema yang berbeda.
Ila  :   Kopi hitam atau kopi putih,  Bisa diminum kapan saja.
       Jika mental kita terlatih, Kekuatan batin seperti baja.
       Minum kopi di senja hari, Temannya snack pisang rebus.
       Punya masalah janganlah lari, Usaha dan do'a berjalan terus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H