"Kamu itu lho nduk, udah cukup umur, jangan cuma mikir ponakan saja, pikirkan juga masa depanmu, bapak sama emak sudah tua, pengen ngemong anakmu nduk.." ucap bapak sore itu, emak mengangguk setuju.
Aku sendiri tidak komentar ataupun menjawab, percuma, aku masih punya cita-cita, kenapa harus cepat-cepat menikah?? Aku ingin jadi reporter di stasiun tivi favoritku, sekolah boga keluar negeri, sekolah broadcasting, dan banyak lagi mimpi-mimpi ku.. Aku bingung, bukan karena belum punya pacar, tapi kenapa ya, orang tuaku pengen aku cepat menikah. Pernah suatu kali emak bilang " Kamu liat tuh, ijah sekarang udah punya anak 2.. Apa kamu ga pengen?? " " Ya pengen mak, tapi nanti, kalo aku udah bisa kerja, punya penghasilan, aku gamau kaya tarmini, di tinggal mati suami nya sedang dia sudah terbiasa bergantung sama suami nya itu, apa emak mau?? " jawabku.. " kamu itu, nikah aja belum, udah takut jadi janda.." " bukan takut jadi janda mak, takut belum bisa mandiri merawat anak, kalo sewaktu waktu suamiku meninggal, nah kalo aku udah terbiasa kerja kan enak, bisa bantu suami juga to? " " yo karepmu nduk.. "
Budaya ini membuatku menjadi pembangkang, agar aku tidak mengikutinya.. Aku heran dengan 2 teman sebayaku itu, apa mereka tidak punya cita-cita, sehingga mereka memilih manut dengan istilah " buat apa sekolah tinggi, ujungnya perempuan itu ya di dapur " .. Ijah di jodohkan dengan joko anak pak kades..hidupnya enak memang, tp dia kehilangan remajanya.. Tarmini malah parah lagi, selepas kami lulus SMP, dia hamil 5bln, suami yang dia banggakan ternyata bandar narkoba, itu dia ketahui setelah punya 3 anak dan suaminya mati di tembak saat di grebek polisi..
*** 3,5 tahun kemudian
Aku sendiri, termangu melihat papan pengumuman di depanku, SURYANI KHAIRUNNISA- CUMLAUDE.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H