Tepat 16 tahun silam peristiwa kelam terjadi di bumi Serambi Mekah. Tak ada seorangpun bisa meramal hari bersejarah yang di catat oleh para sejarawan dari Banda hingga Nevada itu. Hentakan gempa bumi berkekuatan 8,9 Skala Ritchter dan Tsunami dengan ketinggian air 8 meter mampu menerabas logika manusia normal yang ada di Aceh khususnya Banda Aceh, Minggu, 26 Desember 2004.
Bangunan kokoh dengan tiang berdiamater tinggi yang ada di daratan Banda Aceh hanya dalam hitungan jam disapu rata ombak yang mengamuk di pagi kelabu menyisakan satu dua bangunan. Ratusan ribu nyawa para Syuhada melayang.
Hidup kadang penuh misteri, hal yang tidak mampu di pikir oleh akal sehat manusia mampu Allah buktikan dengan nyata kuasaNya. Tak ada yang dapat membendung, saat gelombang besar menyerupai gunung menggulung tanpa pandang bulu.
Hafnidar A. Rani, 50 tahun, warga Punge, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh adalah salah satu korban yang berhasil selamat dari hebatnya Tsunami Aceh. Kepada Kompasiana.com, Rabu, 23 Desember 2020, ia menceritakan bagaimana asanya terus berjuang ditengah terjangan ombak yang datang berulang. Tidak mampu ia membayangkan begitu dahsyatnya air laut menggaum, mengamuk, meluapkan segala amarah pada manusia saat itu.
Pertanda kecil itu datang sehari sebelum bencana besar melanda
Sudah menjadi kebiasaan setiap malam Minggu, Nidar (begitu dia akrab disapa) dan adik perempuannya menghabiskan waktu bertukar cerita di teras rumah. Namun, tidak seperti biasanya, langit malam, Sabtu, 25 Desember 2004 sekira pukul 21.30, mendadak tampak kelam mencekam, senyap sunyi seolah menyimpan peluh yang pelik diutarakan pikiran.
Setelah bertukar cerita di tengah suasana yang tak karuan itu, pukul 22.30 WIB, Nidar dan adik perempuannya pun masuk ke rumah. Tiba-tiba gedar gedor pintu rumah sontak membuat ia terkejut dan ketakutan, meski dalam keadaan ketakutan pelan Nidar membuka pintu, berdiri sepasang suami istri di luar sana yang sedang meminta sedekah.
Kemudian dengan gagap gempita Nidar menyahuti salam, hati saat itu mulai tidak tenang, karena belum pernah sebelumnya ada orang yang meminta sedekah menjelang larut malam. Setelah meminta keduanya menunggu sejenak diluar, Nidar kembali dengan dua gelas air putih, tanpa sepatah kata, sepasang suami istri itu keluar meninggalkan pekarangan rumah Nidar.
"Mungkin itulah keanehan ataupun sinyal kecil yang tidak kami rasakan, karena memang belum pernah ada orang yang meminta sedekah pukul 22.00 WIB malam," kata Nidar yang memaksa kembali ingatannya bersemayam dalam bencana yang sudah berlalu hampir dua dekade itu.
Begitu juga seminggu sebelum bencana itu, Nidar bersilaturahmi kerumah saudara-saudaranya yang berada di Kota Banda Aceh, tiga rumah dikunjunginya. Sepintas itu pertemuan biasa yang rutin ia lakukan setiap bulan, namun tak pernah terlintas dipikirannya, hari itu merupakan hari terakhir mereka bertemu, setelah musibah Tsunami merenggut tanpa menyisakan satu orang pun saudaranya. Wajah-wajah mereka hari itu masih terlukis indah dalam ingatannya, wajah senyum tanpa alasan, menggambarkan kebahagiaan untuk terakhir kalinya.