Kaki-kaki kecil itu terus berjalan menaiki bebatuan yang tak terlalu terlalu terjal, Fajar yang berada digendongan sang kakak telah tertidur lelap. Ara tersenyum melihat adik kecilnya tertidur di punggungnya dan sesekali ia mengusap kaki kecil adiknya yang tak jauh berbeda dari miliknya, Ara teringat bayangan bagaimana Fajar yang terbaring di ranjang putih rumah sakit dengan desahan nafas yang menderu karena oksigen yang tak mencukupi masuk ke dalam paru-parunya, ya adiknya mengidap asma parah dan kanker stadium akhir. Air matanya tak terbendung mengingat ucapan adiknya saat itu "Kak Ara jangan nangis, nanti kita lihat Aurora cantik sama-sama ya" Fajar betul-betul berkeinginan memandang Aurora maka, disinilah mereka berdua berjuang mendapatkan Aurora cantik yang diidamkan adiknya, mereka berdua akan menyaksikan Aurora dan setelah itu Ara akan mengantarkan adiknya untuk berobat ke luar negeri. Ara tak sabar karena sedikit lagi mereka akan sampai di puncak bukit untuk melihat Aurora dengan jelas. Kaki Ara terhenti menatap kagum, ia telah sampai di puncak benar-benar indah "Jar bangun, katanya mau lihat Aurora. Itu lihat indah banget" lama berselang  tak ada sahutan apapun dari sang empunya, Ara memucat ia menggoyangkan lalu menurunkan tubuh adiknya "Jar? Kamu kok ngga bangun? Jar nanti Auroranya keburu hilang lho" tetap tak ada jawaban, Fajar tertidur dengan lelap sampai tak dapat bangun lagi, tertidur dengan nyenyak. Ara tak dapat membendung air matanya, bulir-bulir air berjatuhan dengan cepat, ia menggeleng tanda tak terima akan hal yang terjadi sekarang "Bangun Jar, kamu bohongin kakak? Katanya mau lihat Aurora bareng? Kok cuman kakak yang lihat? Bangun Jar! Buka mata kamu" dipeluknya erat tubuh mungil adiknya, Ara menangis meraung sejadi-jadinya untuk adik kesayangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H