Saat itu pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Buleleng, ya pendidikan menghantarkan saya untuk melanjutkan perkuliahan selama 4 tahun di kota ini. Tentu sebagai orang yang berasal dari luar Buleleng pastinya akan mengalami satu hal bernama culture shock atau gegar budaya saat pertama kalinya mendatangi suatu wilayah. Hal pertama yang saya soroti tentang Buleleng adalah Bahasanya. Meskipun sebelumnya Buleleng sudah terkenal dengan Bahasa kasarnya, hal tersebut tetap menjadi sesuatu yang menarik di mata saya, bagaimana tidak? di kampung halaman, saya dibiasakan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa yang halus meski dengan orang yang sudah kita kenal akrab sebelumnya.
Pada saat itu saya melihat teman- teman di kelas dan sekitarnya yang sudah akrab satu sama lainnya. Dan heran, mereka dengan gamblangnya berkomunikasi dengan bahasa yang cukup lugas dan kasar, berbeda dengan saya sewaktu itu yang belum memiliki teman akrab. Saya selalu mengingat pesan ibu "dimana bumi dipijak disana langin dijunjung". Maka berbekal nasihat tersebut saya berusaha untuk menjalin tali pertemanan dengan teman di kelas, tentu menggunakan bahasa indonesia yang sopan walaupun seringkali mereka memberikan respons menggunakan bahasa buleleng yang cukup kasar menurut saya. Sejalan dengan hal tersebut, ada satu hal pertanyaan yang mengganggu di pikiran saya, mengapa harus menggunakan bahasa yang kasar? Bukankah berkomunikasi dengan bahasa yang sopan dipandang lebih baik di masyarakat? terlebih lagi ketika berkomunikasi dengan orang yang menyandang kasta brahmana (golongan kasta tertinggi dalam agama hindu) yang biasanya dipandang sebagai orang terhormat di masyarakat.
Beberapa minggu tinggal di Buleleng, semakin sering pula saya mendengar bahasa buleleng seperti ake, awake, cang (saya) cai, nani, siga, kola (kamu) cicing (anjing) naskleng, pirate, bangkaan (Sialan atau semacam umpatan). Namun saya belum terbiasa untuk menggunakan kata kata tersebut, sehingga ketika berkomunikasi saya masih menggunakan bahasa bali alus yang diimbangi dengan Bahasa Indonesia. Lambat laun, kemudian saya menyadari satu hal, mengapa ketika saya menjalin komunikasi dengan teman sejawat terkesan canggung? Berbeda dengan teman- teman lainnya yang berinteraksi dengan nyaman menggunakan Bahasa Buleleng tanpa ada rasa canggung satu sama lain. Maka ada satu hal yang saya tangkap disini yaitu Bahasa kasar di Buleleng ternyata mempermudah kita untuk mendapatkan teman. Mungkin bisa dibilang senjata untuk menjadi akrab dan sok asik? Entahlah.
Bergaul di masyarakat Buleleng menggunakan Bahasa Bali yang cenderung halus merupakan hal yang  cukup menggelitik, malahan mereka menganggap kita bes serius (telalu serius). Disisi lain dalam berbagai tulisan artikel juga menyebutkan bahwa masyarakat Buleleng dikenal memiliki karakter egaliter, yaitu semua orang dipandang sama tanpa melihat derajat, kasta, suku dan agamanya. Karakter ini terlihat dalam penggunaan bahasa sehari- hari yang cenderung kasar ketika berkomunikasi baik itu dengan teman sejawat maupun orang tua tanpa melihat kasta contohnya ketika saya lihat teman sekelas berbicara dengan seorang Gusti di kelas menggunakan bahasa kasar. Anehnya Gusti tidak tersinggung dengan hal tersebut. Berbeda di kampung halaman saya ketika berbicara dengan orang berkasta tinggi mesti akan menggunakan tutur bahasa yang sopan dan halus.
Selain itu karakter masyarakat Buleleng yang saya suka, mereka sangat hangat dan terbuka kepada orang baru. Rasa kekeluargaan sangat erat saya rasakan meskipun ketika berkomunikasi harus dibumbui dengan kata "cicing" dalam berbagai situasi. Misalnya ketika kagum dengan orang cicing jegeg sajan lue to (Anjir cantik banget cewek itu), ketika heran dengan sesuatu cing ade ade gen (njir ada-ada aja). Ya jika dilihat-lihat memang kata cicing adalah versi lokal dari kata Anjir.Â
Seperti itulah bahasa yang saya dengar setiap harinya karena terlalu sering bergaul dengan orang asli buleleng seperti teman sekelas, ibu kost, ibu- ibu penjaga warung dan yang lainnya. Bahkan acapkali saya mengikuti gaya bicara orang buleleng termasuk dengan logatnya. Alhasil dalam setiap situasi saya selalu mengucapkan kata cicing atau cing padahal tidak dalam kondisi marah ataupun sengaja mengumpat, dan hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa ketika saya berada di Buleleng. Â Hal ini menghantarkan saya yang mempunyai kepribadian tertutup dan enggan berbasa-basi menjadi lebih terbuka, bahkan dengan tukang bangunan depan kost saya berbicara dengan pria paruhbaya itu tanpa beban dan mengalir padahal baru bertemu 2 hari.
Hingga saat ini dalam kurun waktu 3 tahun tinggal di Buleleng, saya sudah fasih berbahasa buleleng yang cenderung kasar. Terlebih lagi ada satu hal unik yaitu ketika saya pulang ke kampung halaman yaitu Karangasem, saya justru kembali mengalami culture shock karena bahasa di rumah yang terlalu halus jika dibandingkan dengan Bahasa Buleleng, ini terjadi karena saya terlalu terbiasa menggunakan Bahasa Buleleng ketika berinteraksi dengan teman. Â Ada suatu hal yang bisa saya tangkap dari pengalaman ini yaitu berbicara kasar bukan berarti orang Buleleng juga akan berperilaku kasar. Sesungguhnya mereka adalah orang yang sangat hangat dan terbuka dengan orang baru, sampai-sampai orang luar Buleleng seperti saya bisa diterima dengan baik di lingkungan mereka dan anehnya saya nyaman dengan hal tersebut, tidak terkesan munafik atau seperti dibuat-buat. Mereka tampil apa adanya dan bangga menggunakan bahasa kasar sebagai budaya dan warisan turun temurun. Ya nak buleleng kasar di bungut alus di bikas (Kasar di bibir halus di prilaku).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H