Mohon tunggu...
Komang Ari
Komang Ari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Will be forever Learner👩 (Akan, sedang, masih dan terus belajar)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dari Saykoji, Sesat Pikir Hingga Secuil Filsafat

10 Maret 2023   16:40 Diperbarui: 10 Maret 2023   18:35 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siang malamku selalu menatap layar terpaku untuk online, online, online, online"

Barangkali lagu 'Online' milik Saykoji yang dirilis tahun 2009 masih tetap relevan untuk dikaitkan dengan aktivitas kebanyakan manusia di masa kini. Kala itu, saya menikmati betul lagu itu. Sesekali sambil menganggukkan kepala dan menghentakkan kaki. Tentu bukan karena paham makna lagunya. Hal tersebut terjadi hanya karena lagunya asik dan barang tentu easy listening. Itu saja. Penggambaran liriknya kini telah menjelma bahkan sebagai rutinitas bagi kebanyakan orang di Dunia.

Pendefinisian 'aktivitas' kini seolah berkembang, tak melulu menyoal interaksi dalam dunia realitas namun juga digital. Terlebih, pasca terpuruk akibat Covid-19 tanpa disadari kita semua mulai beradaptasi dengan berbagai macam fitur per-online-an. Salah satunya; medsos. Yaps! Jarak antara kita dan medsos kian rekat. Bercengkrama lewat kerabat dikejauhan serasa dekat, memungkinkan segala rencana pertemuan yang terasa tidak memungkinkan sebelumnya. Gils ga tuh? (Kalo kata anak muda kekiniaan). Ruang-ruang digital tentunya tak hanya memberikan aspek kebermanfaatan bagi penggunanya, ibarat pisau bermata dua, ada resiko yang siap tidak siap musti ditanggung. Maka tak heran, kalimat 'Bijaklah menggunakan medsos" menjadi tagline yang acap kali berseliweran. Tujuannya tentu jelas, menghimbau pengguna medsos dalam menekuni aktivitas digitalnya. Ibarat pepatah, "jarimu harimaumu".

Bukan hal baru lagi apabila menemui beragam hal ajaib di medsos, salah satunya komentar negatif yang berujung pada aksi cyberbullying. Ada beragam hal tentunya yang melatar belakangi mengapa seseorang menjadi pelaku cyberbullying. Salah satunya mungkin saja bermuara dari keberadaan logicall fallacy seseorang. Logical fallacy atau sesat pikir seringkali terjadi tanpa kita sadari. Adapun beberapa hal yang menjadi karakteristik dari logical fallacy ini yakni kesalahan dalam berlogika dan berargumen serta terdapat kesan 'menipu'. 

False dicotomy (black or white) adalah salah satu personel (bukan boyband) sesat pikir. Sesuai namanya 'black or white', ada semacam pengharusan terhadap salah satu opsi. Ringannya, kita bisa jadi me-labeli sesuatu dengan berlebihan. Atau bahkan memaki, menguliti sampai ke akar-akarnya tanpa alasan yang jelas. Yang menjadi catatan dalam hal ini adalah, ketika kita tak lagi menyisakan ruang untuk berefleksi secara menyeluruh terhadap persoalan yang kita temui. Tak heran, hal semacam ini kemudian menimbulkan kerugian baik kepada si korban dan juga pelaku. 

Namun, sejatinya persoalan semacam itu tentunya bukan hal baru. Kendati peradaban telah memasuki babak baru tanpa disadari setiap saat, pemikir-pemikir hebat di Zaman dahulu bahkan telah memberikan kajian-kajian kritis terhadap persolan sesat pikir tersebut. Dalam sistem Filsafat India, Nyaya drsna misalnya istilah Catur Pramana atau empat langkah memperoleh kebenaran menjadi aspek yang penting. Keempat bagian tersebut meliputi: Pratyaksa pramana (pengamatan langsung), anumana pramana (penyimpulan), upamana pramana (perbandingan) dan sabda pramana (kesaksian). Dalam ranah yang sederhana, sejatinya manusia senantiasa telah dibekali ilmu yang berlimpah untuk menjalani kehidupan. Pengetahuan-pengetahuan menakjubkan itu dititipkan oleh siapa saja; mungkin dialirkan semesta, para mahaguru bijaksana, daun-daun jatuh. Ah atau jangan-jangan lewat ketikan pedas yang berseliweran di Sosmed. Kendati demikian, semua memberikan pengajaran kepada kita semua. 

Meminjam ungkapan heraklitos, pante rhe kei uden menci. Semuanya konon mengalir, dan perubabahan adalah sesuatu yang niscaya. Dibersamai oleh hal itu, peradaban adalah perubahan yang tak pernah ingkar. Perubahan juga tentang beralihnya berbagai lini kehidupan kita dengan per-online-an. Juga tentang kita, yang mulai lihai untuk seolah meng-adaptif-kan diri pada persoalan tersebut. Lagi-lagi, ada tantangan yang turut hadir atas perubahan yang konon mengalir itu, sesat pikir. Saat kita tak menyisakan ruang lagi untuk terbuka terhadap perspektif yang beragam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun