Harga sepotong kaki Putu Kariani ini adalah cerita pilu seklaigus cerita mahal yang harus dimaknai oleh setiap perempuan. Cerita ini tentu membuat perempuan lain harusnya terdasar bahwa cinta, kasih sayang, logika, soal masa depan bisa dipikirkan kemudian ketika kekerasan dalam rumah tangga itu nyata dialami. Setidaknya yang terpikirkan yaitu lari dari kekerasan sebab setiap perempuan, apapun statusnya memiliki hak hidup tenang, nyaman, merdeka.
Seorang istri harus memenuhi kebutuhan makan, minum, juga batinnya sendirian di kondisi tanpa kaki sedang sang suami yang seharusnya bertanggung jawab malah di penjara untuk mempertanggung jawabkan hal lain yang tidak ada dalam kesepakatan pernikahan. Ia berusaha memulihkan dirinya sendiri meski banyak bantuan datang padanya. Putu Kariani harus berdamai dengan dirinya sendiri. Ia harus menjalani kehidupan sebagai seorang orang tua tunggal dengan segala konsekuensinya. Ia berani untuk memilih pilihan itu padahal Ia tahu bahwa tidak mudah bagi seorang untuk bekerja hanya dengan satu kaki saja.
Seorang perempuan yang berpikir dulunya bahwa keadaan mati akan lebih baik ini tetap dipaksa hidup untuk "mengingatkan" setiap perempuan bahwa orang yang paling dicintainya bisa saja berubah menjadi paling menyakiti juga. Ni Putu Kariani ingin sekali bicara pada suaminya tentang kaki-kakinya yang telah lebih dahulu meninggalkan tubuhnya sendiri. Kaki-kaki yang seharusnya menopangnya lebih kuat. Kaki-kaki yang diharapkannya dari seorang laki-laki yang menikahinya penuh janji kebahagiaan.
Apakah kaki-kaki itu setara dengan rasa cemburu tak beralasan itu? Masih saja ada yang menyalahkan Kariani yang dianggap sebagai awal sebab suaminya bisa nekat. Dalam kasus Kariani, kekerasan telah dia alami selama bertahun-tahun dan pihak keluarga selalu meminta untuk bersabar.
Putu Kariani pernah pulang dengan kepala benjol berisi cairan dan akhirnya harus dioperasi, contoh lain tubuh disundut rokok, memar-memar, itu terjadi bertahun-tahun tapi dari pihak keluarga menyarankan bertahan dengan harapan suaminya bisa berubah.
Kariani masih mengigau bagaimana parang tajam itu membelah kaki-kakinya hingga terputus dari tubuhnya. Ia memungut lagi air matanya. Sebanyak apapun air mata itu tak akan mampu mengembalikan kaki-kaki yang dulunya kuat bahkan alat mencukupi hidup Kariani dan keluarga. Perempuan tanpa lelaki masih berarti, lantas, perempuan tanpa kaki, bagaimana? Tentang batinnya yang akan terluka ribuan tahun, siapa yang mengobati? Luka psikis ini juga turut membawa separuh hidupnya seperti hilang.
Terlepas dari hal yang dia alami ini, Putu terus berusaha untuk bangkit, semangat lagi, dan kembali menjalani hidupnya bersama kedua anaknya.
Saya tak hendak menakutimu yang telanjur terlahir sebagai perempuan. Tulisan ini hanya ingin membuka mata juga telinga bahwa tidak mudah menjadi perempuan di negeri dengan riwayat kekerasan yang tinggi ini. Yang bisa menolong perempuan terhadap kekerasan yang kerap menimpanya, tiada lain hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bernama "perempuan" itu sendiri. Mari mengikat diri, saling menyemangati dan melindungi agar kekerasan tak lagi menghantui.
Putu Kariani adalah penyintas kekerasan dalam rumah tangga yang merelakan satu kakinya sebagai ganjaran untuk terlepas dari sebuah hubungan yang toxic. Pengorbanan kaki Putu Kariani memberikan semangat bagi setiap perempuan yang melihatnya, mendengar ceritanya, bahkan perempuan-perempuan terdekat yang mungkin ingin melepaskan diri dari sbeuah hubungan yang bak benalu, tetapi maish berpikir untuk "lari."Â
Kisa nyata ini memberi perempuan pemahaman sekaligus kekuatan bahwa perempuan bisa berdiri di atas kakinya sendiri, menghidupi diri, memerdekakan diri serta bisa kuat menghadapi terpaan kehidupan yang lebih sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semua perempuan bersiap untuk itu dan bersiasat untuk hidup yang tak melulu menawarkan kebahagiaan. Â
Lewat narasi yang menyedihkan sekaligus menguatkan dari kisah Putu Kariani ini, perempuan di luar sana, khususnya saya, bisa mengetahui bahka kita (perempuan) memiliki hak dan kewajiban saat mengalami kekerasan.