Haruskah 'bad news is good news'? Betul memang, konflik itu selalu mempunyai news value yang lebih dari 'perdamaian'. Betul, ketika sebuah instansi pemerintah misalnya, terkena kasus korupsi, itu akan lebih menarik jika instansi tersebut melakukan pencapaian keberhasilan dalam sebuah proyek. Dan bahkan, dalam sebuah foto saja, foto pendemo yang rusuh itu akan lebih menarik dibandingkan foto kerumunan pendemo yang cuma teriak-teriak dan tidak ada konflik di situ. Apakah semua itu salah? Tidak, benar adanya, naluri manusia pun, memang demikian. Konflik itu akan lebih menarik dibahas ketimbang hal-hal yang berkaitan dengan sebuah ketenangan.
Lantas, kelirunya di mana? Jurnalistik itu bukan kah sebuah ilmu, yang selalu mempunyai perkembangan? Ilmu yang tidak semata-mata selalu bepatokan dengan teori lama, dan selama teori lama tersebut bukan dasar dari ilmu jurnalistik. Begitupun dengan 'bad news is good news', teori tersebut hanya menyoal sebuah nilai berita, dan daya tarik dalam sebuah pemberitaan, dan ada unsur jurnalisme marketing, yang ujung-ujungnya bicarakan oplah dan rating. Kalau kita lihat perkembangan ilmu jurnalistik saat ini, sudah mengarah ke yang namanya 'jurnalisme damai', dan ini saya temui minggu lalu, di sebuah sidang skripsi, ada seorang mahasiswi membahas hal tersebut dalam sebuah skripsinya, dia membahas tentang foto-foto di daerah konflik, tapi foto tersebut tidak mengarahkan atau membuat panas situasi konflik di sebuah negara, melainkan lebih peredaan konflik, dan solusi dari konflik tersebut lewat sebuah foto. Dan menurut saya, ini sebuah kebaruan, karena memang selama ini yang dibahas itu hal-hal yang berkaitan dengan idealisme sebuah media, yang ujung-ujungnya ada kaitannya dengan sebuah berita yang tak lain, 'bad news'. Ya korupsilah, ya pertikaianlah, dan sebagainnya.
Dan bukankah dalam dunia jurnalistik sudah ada yang namannya 'Sembilan Elemen Jurnalisme' karya Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dan elemen-elemen di dalamnya itu mengajarkan insan pers, untuk menciptakan sebuah perdamaian, dalam sebuah proses pencarian berita, salah satunya, point kebenaran verifikasi. Dan ini berlaku, di jenis berita apapun.
Dan satu lagi, masterpiece seorang wartawan itu, bukan sebuah peliputan di daerah-daerah konflik. Bukan juga, peliputan investigasi dalam sebuah kasus-kasus besar. Ialah feature, yang menjadi masterpiece dari seorang wartawan. Di sinilah, kejernihan dan keahlian menulis itu diuji. Bagaimana, melalui sebuah tulisan, mereka harus mampu memainkan perasaan si pembaca untuk ikut masuk dalam sebuah tulisannya. Dan bukankah, feature itu bagian dari softnews? Bukan hardnews.
Benar, dalam sebuah media massa 'good news' ataupun softnews sudah ada, ada berita olaharga, berita budaya, sampai berita hiburan. Dan mereka menjadi penyimbang di media massa, penyeimbang dari berita-berita yang suka membuat kita mengerutkan dahi. Tapi apakah, mereka mempunyai ruang yang sama dengan 'bad news'?
Dalam bahasan ini, tidak ada maksud untuk menghapus 'bad news' itu selalu 'good news' tapi 'good news is good news' juga harus mempunyai ruang yang sama dalam sebuah halaman, dalam sebuah durasi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H