Relaksasi dibutuhkan untuk mengalihkan stess para pelaku perjalanan dengan berbagai fasilitas, apakah itu hanya sebuah taman bermain untuk anak dengan kedai mie dan kopi untuk para orang tua ataupun misalnya spa.
Mungkin jika kita melihat bandara Changi atau Kuala Lumpur, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa kedua bandara ini sudah bisa menjawab apa yang dibutuhkan para pelaku perjalanan tersebut.
Mereka bukan lagi hanya sebagai bandara saja melainkan juga sebagai layaknya sebuah kota atau disebut dengan Airport City.
Mereka memaksminalkan pemanfaataan ruang bandara dengan menambahnya dari sekadar ruang untuk kegiatan aeronautical (penerbangan) saja tetapi juga leisure dan bisnis, commerce serta wellness, singkatnya seperti.apa yang kota tawarkan kepada penghuninya.
Mengapa tidak membangun conference atau meeting room dan hotel sehingga peserta dari luar kota tidak perlu melakukan perjalanan ke pusat kota.
Mengapa tidak membangun ruang komersial untuk outlet outlet retail yang serupa dengan di kota dengan berbagai ragam produk layaknya mall di perkotaan.
Dan bila kita ingin membuat bandara menjadi lebih besar lagi peran dan fungsinya lagi terutama untuk menggerakan perekonomian lokal bisa membangun bandara sebagai Aerotropolis dengan menambah kegiatan logistik selain dari aeronautical, leisure, business dan wellness.
Namun untuk sementara ada baiknya memulai dari Airport City dulu dengan mengubah persepsi kita terhadap bandara dari sisi pelaku perjalanan.
Memang terdengar luas area bandara tersebut dan berbiaya tinggi namun beban biayanya akan lebih besar bila bandara sudah terbangun namun tidak menghasilkan pada jangka panjang.
Maskapai jelas membutuhkan keterisian kursi yang cukup dan bahkan lebih untuk menutupi biaya operasionalnya, sedangkan bandara membutuhkan maskapai untuk tetap menjalankan operasionalnya.
Oleh karenanya bandara juga masih perlu memaksimumkan kegiatan aeronauticalnya dan tidak hanya menjalankan layanan kepada maskapai yang sudah beroperasi tetapi juga mengundang maskapai lainnya.