Mohon tunggu...
Michael Hadylaya
Michael Hadylaya Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jangan Ada Dusta di Tanjung Gusta

23 Agustus 2013   10:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1377229120141746136

Kejadian di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, bukanlah kejadian seperti di penjara Bastille. Lepasnya para napi dari lapas bukanlah sebuah rangkaian revolusi yang menggugah gelora kebangsaan ataupun rasa nasionalisme. Bastille Saint-Antoine atau yang lebih familiar dikenal dengan penjara Bastille dalam revolusi Prancis adalah sebuah kejadian bersejarah tatkala rakyat bangkit melawan tirani pengusa. Pertanyaannya, keributan di Tanjung Gusta menyimbolkan apa?

Tanjung Gusta menyimbolkan betapa ruwetnya birokrasi di Indonesia. Bayangkan saja, kabar tentang adanya kerusuhan bukannya diterima Presiden dari antek-anteknya, justru dari sms salah seorang narapidana. Memalukan sekaligus menggelikan!

Memalukan karena ternyata kanal informasi yang dimiliki Presiden lewat jalur birokrasi yang ditunjang oleh manajemen kepegawaian ternyata tidak mampu memberikan informasi yang akurat atau bahkan setidaknya cepat. Seharusnya, Presiden lebih dahulu mengetahui adanya suatu peristiwa dari pembantu langsungnya.

Ruwetnya Birokrasi

Ini menunjukkan bahwa birokrasi yang tambun di negeri ini tidak efektif, tidak sigap. Sebenarnya hal ini sudah terlihat sejak awal pemerintahan Yudhoyono. Jumlah menteri yang tambun,  penambahan-penambahan pos wakil menteri, serta kegemaran Beliau membentuk task force, menunjukkan bahwa birokrasi yang gemuk adalah favorit dari Presiden Yudhoyono. Maka, ketika ada kejadian pilu seperti yang terjadi di Tanjung Gusta, Presiden tengah memetik buah hasil semaiannya selama ini.

Pula menggelikan karena Presiden menerima sms dari salah satu narapidana. Padahal, Wakil Menteri Hukum dan HAM yang mulia kerap rajin melakukan sidak. Bahkan sidaknya ke beberapa rutan ditayangkan dalam salah satu acara di stasiun televisi swasta nasional. Namun ternyata apa yang dilakukan sang Wamen justru tersilap di Tanjung Gusta. Kesempatan ber-sms dengan Presiden oleh salah satu napi menandakan handphone masih bebas berkeliaran di penjara-penjara tanah air.

Hal ini menunjukkan bahwa komitmen sang Wamen ternyata tidak mampu dilembagakan secara maksimal. Memang, sang Wamen dikenal baik, jujur, bersih, berintegritas, namun itu semua tidak cukup jika karakter itu hanya dimiliki orang per orang dan gagal dilembagakan.

Memang, bisa kita berapologia bahwa melembagakan kualitas-kualitas dalam diri seorang pribadi ke dalam suatu institusi yang sudah memilik kultur sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Namun, itu bukan berarti menyerah. Kejadian di Tanjung Gusta ini adalah momentum untuk mendukung aksi Denny Indrayana untuk lebih dalam lagi menyentuh core kebusukan institusi yang didalamnya ia terlibat.

Kejadian Tanjung Gusta bukanlah momentum untuk mencibir dan menafikan semua kerja keras di bidang pembinaan lembaga pemasyarakatan. Kejadian Tanjung Gusta justru semakin menunjukkan betapa urgennya pembenahan Lapas dan tiap jerih lelah yang dilakukan tidak boleh dinafikan begitu saja. Dan, ini menunjukkan perbaikan manajemen lapas adalah sebuah kemutlakan.

Ada Syaratnya

Agar dapat membenahi Lapas dikemudian hari, persoalan di Tanjung Gusta harus menjadi contoh kasus agar dapat diambil pelajarannya. Untuk itu, diperlukan kejujuran untuk melihat penyebab yang sesungguhnya dari persoalan Tanjung Gusta.

Segera lakukan investigasi penyebab terjadinya kerusuhan. Jangan ada yang ditutupi atau mengambing-hitamkan seseorang ataupun institusi lain. Terutama, jangan buang badan seperti yang selama ini gemar dilakukan pemerintah ketika ada masalah.

Kejujuran untuk mengakui kegagalan pengelolaan di Tanjung Gusta adalah awal titik terang ditemukannya solusi. Dibutuhkan pula kerendahan hati untuk mengakui bahwa selama ini kerja belum maksimal dan membutuhkan bantuan orang lain atau bahkan kementerian lain.

Seperti diketahui, di media disebutkan bahwa awal mula masalah adalah karena pasokan listrik yang tidak memuaskan. Jika hal ini ternyata benar, hal ini harus dibicarakan dengan kementerian BUMN yang membawahi PLN agar kejadian serupa bisa diminimalisir. Kalau Kemenkumham selalu berlaku seperti lone ranger dan menafikan keberadaan orang lain, duka di Tanjung Gusta akan terus terulang.

Maka, solusinya bukanlah tentang pengunduran diri Wamenkumham atau sekedar pencopotan kalapas, tetapi bagaimana membenahi interaksi birokarasi di negeri ini. Jika tidak, bukan mustahil kejadian serupa menimpa bidang lain lagi. Kecuali, kalau yang diinginkan adalah Republik sms, Republik Twitter, dan Republik Facebook, yaitu birokrat-birokrat Presiden justru adalah aplikasi dunia maya. (Artikel merupakan naskah asli, telah diterbitkan pada kolom Opini Harian Riau Pos, 17 Juli 2013)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun