Kenyamanan dan keamanan bagai dua saudara kembar yang tidak terpisahkan. Dimana ada rasa aman biasanya kenyamanan ikut serta di belakangnya. Demikian pula manakala ada rasa nyaman, keadaan aman selalu hadir di dekatnya.
Dekat dengan ibu saat membuat kue untuk lebaran bukan hanya rasa nyaman yang didapat tetapi juga aman cip icip kue buatannya. Termasuk nyam-nyam kue-kue afkiran atau rusak bentuknya. Sedangkan yang bagus masuk dalam toples. Disimpan untuk disajikan kepada tamu yang datang saat Idul Fitri.
Aksi cip icip selalu menyenangkan apalagi mendekati Idul Fitri. Ketika loyang dikeluarkan dari oven selalu berharap ada kue yang rusak. Jika tidak ada. Ya, sengaja dirusak satu atau dua kue. Supaya bisa dinyam-nyam.
“Percobaaaan...”, kataku.
Yang mendapat balasan lirikan dan senyuman ibu. Kurang puas dengan kue “percobaan". Jimpit remah-remah kue dari atas loyang. Rasanya gurih.
“Masih mentah...!” serunya.
Kue nastar, kastengel dan kue landak. Kue yang sebenarnya mirip nastar cuma bentuknya sedikit memanjang. Atasnya dibuat sedikit meruncing seperti duri landak. Merupakan kue yang kerap menjadi korban “percobaan”.
Aksi dhulat-dhulit dan icip icip bukannya bebas hukuman. Keharusan mengocok telur, hal yang menjengkelkan. Cukup melelahkan karena harus mengaduk atau mengocok telur sampai berbuih. Belum lagi jika sudah dicampur tepung. Beratnya bukan main. Tempat adonan kadang ikut terangkat atau sebagian adonan mendarat mulus di pipi atau jidat.
Maklum alat mixer waktu itu belum ada di perlangkapan dapur ibu. Waktu itu, kalau tidak salah ibu belum mampu untuk membelinya. Kenapa? Tidak usah diceritakan ya... Bisa ada tangisan bombay nanti.