Gara-gara sepiring nasi sayur tahu dan tempe mendoan. Tempe yang digoreng dengan balutan tepung tipis. Menjadi awal diskusi panjang di sebuah warung yang terletak di tengah kota Yogya, saat makan siang.Â
Teman makan saya kali ini, berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Tiba-tiba membuka pembicaraan tentang mahalnya harga kedelai. Memaksa dirinya menaikkan harga susu kedelai produk rumahan, sebagai usaha sampingan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga.
Setelah dia bercerita panjang lebar tentang sari dele atau susu kedelainya. Saya iseng menghitung di dalam kepala, ternyata kenaikkannya cukup fantastis. Sekitar 25 persen sendiri.Â
Alasan utama menaikkan harga, kalau tidak dinaikkan dia tidak memperoleh keuntungan. Alias kerja bakti.
Membuat susu kedelai atau sari dele diperlukan kedelai berkualitas. Pilihan ada dari kedelai impor yang lebih putih, bijinya besar-besar. Setelah dimasak tetap nampak putih dibandingkan kedelai lokal yang cenderung menjadi coklat setelah matang lewat rebusan air yang mendidih.
Akar masalah kenaikan harga kedelai sejatinya sudah ditemukan oleh pemerintah dan peneliti ekonomi serta ahli pertanian. Menurut beberapa pengamat tinggal political will pemerintah untuk menyelesaikan masalah kenaikan harga kedelai yang fluktuatif dalam dua tahun terakhir ini.
Akar persoalan naiknya harga kedelai, cukup jelas. Dapat dibaca dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan di berbagai media online. Kenaikan harga tersebut mengganggu kelancaran produksi tahu tempe di beberapa daerah.Â
Apalagi tahu dan tempe merupakan salah satu kebutuhan protein nabati yang cukup digemari oleh masyarakat. Persoalan mahalnya harga kedelai bukan saat ini saja terjadi. Kira-kira, tepat satu tahun lalu di bulan Februari, masalah yang sama pernah terjadi.
Ijinkan saya mengulang beberapa pendapat dan informasi serta beberapa alasan mengapa harga kedelai naik. Sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli dan peneliti ekonomi serta pemerintah. Tentu tanpa bermaksud supaya saya kelihatan pintar berbicara tentang seluk beluk tanaman kedelai. Atau tentang tempe, tahu dan susu kedelai.Â
Akar masalah kenaikan harga kedelai khususnya kedelai impor tidak lepas dari permintaan yang cukup besar. Sementara kedelai lokal tidak dapat memenuhi permintaan dan kualitasnya tidak sebagus kedelai impor.
Cocok seperti yang disampaikan oleh teman bicara saya di meja makan, siang itu. Katanya, kualitas kedelai impor lebih bagus untuk dibuat susu kedelai karena lebih putih. Hasil rebusan atau sari dele dari kedelai impor nampak lebih kental. Tidak terlihat begitu encer.
Sementara jika menggunakan bahan kedelai lokal hasilnya coklat. Walau tanpa diberi coklat. Susu coklat memang ada. Tapi ketika bicara susu, konotasinya putih bukan coklat. Hal ini tentu kurang menarik. Belum lagi bicara tentang aroma susu kedelai dari bahan impor dan lokal.
Ukuran biji atau polong kedelai impor lebih besar dibanding kedelai lokal. Memudahkan untuk membuat tempe. Sedangkan yang kecil cocok untuk dibuat tahu. Ukuran kedelai lokal yang lebih kecil, juga tidak seragam. Maka ada kemungkinan untuk dibuat tempe hasilnya mripil atau rontok.
Masalah lain yang memicu kenaikan harga kedelai impor karena mengikuti harga kedelai dunia. Ketergantungan yang tinggi terhadap produk bumi dari Amerika Serikat, dalam riset yang dilakukan oleh para ahli mencapai 90 persen.
Gangguan suplai kedelai impor yang terganggu akibat turunnya produksi karena pengaruh alam di negara produsen. Seperti menyempitnya lahan pertanian dan naiknya upah tenaga kerja. Dapat mengakibatkan kenaikkan harga kedelai impor.
Belum lagi permintaan yang tinggi dari salah satu negara seperti Cina akhir-akhir ini mendorong naiknya harga dan berkurangnya suplai kedelai ke Indonesia.Â
Sementara produk kedelai lokal tidak mampu mengimbangi permintaan pasar, selain kualitas yang kalah dari kedelai impor. Harga juga tak mampu bersaing dari kedelai yang datang dari Amerika Selatan dan Amerika Serikat.
Pemerintah dan ahli pertanian serta peneliti pangan menyadari tidak mudah mendongkrak produk kedelai lokal. Walau dalam catatan sejarah, kita pernah mandiri mencukupi kebutuhan kedelai dengan kedelai produk petani lokal di tahun 1992 sampai 1995.
Ahli pertanian pasti memahami tidak semua daerah di Indonesia cocok ditanami kedelai. Apalagi mengingat tanaman ini merupakan tanaman subtropis, yang membutuhkan kelembaban tinggi. Keasaman netral dan drainase yang baik agar air dapat mengalir lancar.
Pemerintahan siapapun Presidennya bukannya tidak mengetahui permasalahan ini. Termasuk mengapa pemerintah menekan harga kedelai lokal dan mindset petani yang beranggapan kedelai belum menjadi tanaman penting atau utama, seperti padi.Â
Ini dapat dilihat dari pola atau rotasi tanam kedelai yang bergantian dengan tanaman lain. Apalagi luas lahan tanaman kedelai yang tidak sedikit sudah beralih fungsi. Sehingga dari tahun ke tahun produksi kedelai lokal terus menurun.
Sekali lagi akar masalah fluktuasi harga kedelai sudah diketahui. Namun sayangnya kebijakan pemerintah terkait lonjakan harga kedelai impor adakalanya reaktif.
Tengok saja ucapan pejabat yang memutuskan untuk menaikkan penanaman kedelai dengan harapan beberapa waktu kedepan, produksi kedelai lokal mencapai jumlah yang diinginkan. Tetapi, ada catatan jika tidak ada gangguan cuaca.
Ealah…, ilmu dan pengetahuan mestinya mampu mengantisipasi kemungkinan perubahan cuaca atau musim, yang semakin sulit diduga karena terkait perubahan iklim global.
Rencana penanaman, semestinya juga sudah memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan cuaca. Jika kebijakan selalu reaktif maka jangan heran masalah keledai. Eh, kedelai akan terus berulang.
Saya dan teman, memang tidak berbicara sampai sejauh itu. Karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah dan para ahli ekonomi dan pertanian, untuk menyelesaikan masalah. Lewat keputusan strategis yang jitu dan efektif.
Mereka memiliki solusi untuk memecahkan persoalan ketergantungan kedelai impor. Dari pembinaan, pelatihan, pendampingan, pemberian insentif kepada petani kedelai. Sampai penyediaan bibit yang berkualitas namun rantai masalah seperti belum mampu diputus.
Mengherankan jika masalah tempe, tahu dan sari dele atau susu kedelai tidak teratasi selama bertahun-tahun karena ketergantungan pada kedelai impor. Belum lagi masalah tepung terigu. Teman tempe, yang menjadikannya lebih enak saat disantap. Â Juga berasal dari produk impor.
Makan siang kami waktu itu masih juga berlauk tempe garit, tempe mendoan dan sayur tahu. Atau sayur oseng tempe tahu kacang panjang.Â
Kami seperti tidak terpengaruh dengan kenaikan harga kedelai impor walau ketebalan tempe mendoan semakin tipis. Ada ayam goreng atau sate ayam dan kerupuk. Tempe mendoan atau tempe garit tetap jadi pilihan favorit. Apalagi jika disajikan saat masih panas.
Apa yang dapat saya berikan untuk mengatasi masalah kelangkaan kedelai impor ? Terus terang, saya tidak memberi  sumbang saran. Jikalau iya, saya tidak lebih seperti orang yang menggarami lautan. Apalagi ilmu pertempetahuan dan perkedelaian saya cukup dangkal.
Ada cara mudah jika tahu tempe semakin sulit ditemui di warung langganan. Kerupuk atau bakwan jadi pilihan selain telur dadar atau ceplok.Â
Sayur oseng tanpa tempe dan tahu ada penggantinya seperti teri, putih telor atau telur dadar yang diurak-arik. Bukan masalah serius. Masih ada sayur lodeh jipang krecek dan kentang. Sayur gori atau nangka muda sebagai pilihan.
Mahalnya kedelai impor bukan masalah. Siang itu sampai hari ini, Jumat (25/2). Kami masih menikmati tempe garit yang gurih dan tempe mendoan yang enak dimakan saat panas.
Masalahnya, bagaimana jika susu kedelai produksi teman bicara saya semakin coklat warnanya dan tidak menarik seperti susu sapi yang putih. Atau hal itu tidak masalah karena penggemar susu kedelai atau sari dele, tidak terlalu banyak menuntut dan tidak sebanyak penggemar tempe dan tahu.
Walau teman makan siang waktu itu, menawari saya susu kedelai. Tapi mohon maaf, saya harus menolaknya secara halus. Supaya dia tidak kerja bakti. Hehehe…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H