Pohon talok atau pohon kresen dan kios koran itu pasti merasa kehilangan, atas kepergianmu untuk selama-lamanya. Saat bertugas di Mahkamah Agung, engkau sudah mulai jarang menyambangi mereka berdua. Mereka pasti rindu, tapi mereka paham kesibukan pekerjaanmu.
Sebagaimana kerinduan saya, menemukan sosok yang sangat berintegritas dengan profesinya. Â Berprinsip pada rasa dan suara keadilan, serta teguh dan tegas menegakkan nilai kebenaran yang hakiki.
Namun demikian engkau tetap ramah pada siapa saja dan menunjukkan sikap rendah hati. Walau timbangan keadilan ada di tangan kirimu dan pedang ada di tangan kananmu.
Ramah dan santun kepada siapa saja. Termasuk saat beberapa kali saya bertemu dengannya di kios koran langganan di salah satu ruas Jl. Godean Yogyakarta beberapa puluh tahun lalu.
Murtini pemilik kios penjual koran terkejut mendengar berita kepergianmu lewat televisi malam itu. Demikian pula saya, saat membaca berita di handphone lewat salah satu situs berita.Â
Artidjo Alkostar meninggal di apartemennya.
![Tinggal sedikit koran yang dijajakan. Dulu harus dengan meja lebar dan panjang (foto:ko in)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/02/2-603e488ed541df3b2f2f7882.jpg?t=o&v=770)
"Bapak orangnya baik. Â Sayang. Padahal bisa jadi contoh buat yang muda-muda," katanya sambil mengangkat jempol sebagai bentuk pujian pada Artidjo Alkostar.Â
Dia sering jajan di warung nasi saya juga dulu, kenang Murtini saat saya temui di kiosnya yang sudah tidak di bawah pohon talok lagi. Tapi sudah bergeser sedikit ke barat. Di pertokoan, kira kira sekitar 20 meter jauhnya.
![Kios koran dulu di paling kiri gambar. Kini di paling kanan (foto: ko in)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/02/3-603e499ad541df67bf2a30c2.jpg?t=o&v=770)
"Walau sudah jadi pejabat. Bapak masih selalu membeli koran di sini. Sambil menanyakan kabar. Tapi saat di MA, bapak jarang ke sini" jelas Murtini. Mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Tapi setelah jadi pengawas KPK, bapak kerap mampir lagi untuk beli koran, tambahnya.