Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ibu Sulam, di Antara Alun-alun Utara dan Titik Nol Jogja

4 November 2020   14:56 Diperbarui: 5 November 2020   21:56 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

12 tahun tinggal di Yogyakarta ternyata tidak membuatnya bosan. Anak-anaknya sudah meminta pulang atau ikut dengan mereka. Tetapi ibu yang sudah paruh baya ini selalu menolak dengan alasan masih senang tinggal di Yogya.

"Ora papa, nyong isih seneng." Jelas sosok ibu yang logatnya masih kental dengan ngapak-ngapaknya, saat menjelaskan kepada anak-anaknya, waktu  saya menanyakan bagaimana dengan putra-putrinya. 

Ibu yang berasal dari Purwokerto manakala saya temui suatu siang di bulan Oktober di seputaran Titik Nol Yogyakarta. Tepatnya di depan galeri Museum Sono Budoyo Jl. Pangurakan, dahulu dikenal dengan nama Gedung Koni Jl. Trikora.

Lima tahun lalu, suaminya yang bekerja sebagai Abdi Dalem Kraton Yogyakarta meninggal. Tetapi ibu yang memilik nama Indarti merasa masih senang tinggal di Yogya, tidak jauh dari Alun-alun Utara. Sekitar Plengkung Wijilan.

Yang menarik dari Indarti, ibu ini asyik dengan aktivitasnya merajut kristik saat berada di depan galeri Museum Sono Budoyo. Seolah tak peduli dengan lalu-lalang orang berjalan melewatinya dan suara gemuruh mesin kendaraan yang berseliweran di Jl. Pangurakan.

Asyik menyulam (foto:ko in)
Asyik menyulam (foto:ko in)
Tangannya begitu terampil menyulam. Pekerjaan yang butuh ketelitian dan kecermatan namun ibu Indarti dapat melakukan tanpa bantuan kacamata. Hasil sulaman kristiknya, tidak sedikit jumlahnya. Terlihat dari lipatan kristik yang sudah jadi di tas tersendiri. 

Kira-kira satu minggu ini, Indarti lebih banyak berada di depan galeri karena menunggu orang yang memesan kristiknya dan sekalian menanti seorang teman jelasnya. Biasanya lebih banyak di Alun-alun Utara atau di Pendopo Lawas.

Orang memanggilnya Ibu Sulam

Menurut penuturannya, orang-orang di sekitat Alun-alun Utara dan Titik Nol Yogyakarta lebih sering memanggilnya dengan nama Ibu Sulam. Mungkin karena aktivitasnya di tempat itu lebih banyak menyulam dibandingkan melihat kesibukan orang yang lalu-lalang. 

Dalam mengisi hari-harinya Ibu Sulam lebih sering menyulam kristik bergambar Bung Karno karena lebih banyak peminatnya dibanding sulaman lainnya. Figur Bung Karno walau sudah lama tiada ternyata tetap dan dapat menginspirasi untuk mendapatkan rejeki.

Sulaman kristik (foto: pixabay)
Sulaman kristik (foto: pixabay)
Beberapa tahun lalu, sekumpulan ibu-ibu pernah dalam Paguyuban Pecinta Sulam Yogyakarta. Dimana setiap hari Rabu bertemu dan berkumpul untuk menyulam bersama. Kegiatan ini semacam penyaluran hobi dan tidak untuk bisnis, apalagi mengingat peminat seni sulam sudah semakin berkurang. 

Sementara itu ibu-ibu yang tergabung dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Mekar Berseri di Ngampilan Yogyakarta pernah membuat tas sulam dari pita dan sudah dipasarkan. Bagaimana saat ini ? Waktu bersama zaman terus bergulir. Menyisakan banyak cerita dan tanda.

Seni menyulam kristik semakin kehilangan peminat. Satu persatu dari mereka sudah berkurang kemampuannya untuk menyulam atau sudah dibawa waktu untuk berkumpul bersama dalam alam keabadian. Seperti budhe saya, yang gemar menyulam kristik dan hasilnya menjadi hiasan dinding rumah yang menawan dilihat. 

Saat masih duduk di SMA, saya pernah mendapat hadiah sulaman kristik darinya, kemudian saat saya kost di Jogja sulaman kristik itu saya pajang di kamar kost. Sulaman kristik itu merupakan hadiah atas sebuah pilihan. Budhe sudah berada jauh di sana bersama pakdhe, mungkin senyum-senyum lihat polah ponakannya.

(foto:paketwisata.id)
(foto:paketwisata.id)
Di Museum Batik Yogyakarta, yang berada di Jl. Dr. Soetomo terpajang sulaman kristik yang cukup lebar dan jumlahnta ada 1230 buah lebih sulaman kristik karya Dewi Nugroho. Pemilik dan pendiri Museum Batik yang menyimpan dan memamerkan aneka jenis serta motif batik dari berbagai daerah di Nusantara.

Menyulam Yogya

Kembali ke Ibu Sulam, saat saya ngobrol dengannya sedikit tersirat rasa sedihnya karena sekeliling Alun-alun Utara kini dipagari, sehingga orang tidak dapat masuk ke area Alun-alun Utara. Ibu Sulam sempat merasa bingung harus menyulam dimana karena selama ini kegiatan menyulamnya dilakukan di bawah salah satu pohon beringin yang ada di tengah alun-alun.

Kini kegiatannya kerap dilakukan di sekitar Jl. Pangurakan atau di sebelah timur Alun-alun Utara, tepatnya di Pendopo Lawas. Tidak ada salahnya jika bertemu dengan Ibu Sulam di sekitar alun-alun atau Titik Nol bertanya seputar sulam kristik atau ngobrol apa saja. Sambil menikmati suasana Jogja.

Pagar alun-alun Jogja (foto:Ko In)
Pagar alun-alun Jogja (foto:Ko In)
Sebagai informasi yang saya kumpulkan dan ramu dari internet sulaman kristik ternyata berasal dari bahasa Belanda kruissteek. Kristik atau merupakan seni menyulam benang dengan cara menyilangkan sehingga membentuk suatu gambar seperti bunga, hewan, rumah, pemandangan bahkan wajah orang.

Di Indonesia sendiri seni menyulam kristik menurut beberapa catatan tumbuh saat zaman penjajahan kolonial Belanda. Maka tidak heran jika pola gambar kristik bergambar bangunan, bunga dan orang Eropa sempat jadi warna khas hasil sulaman kristik. Perempuan dengan membawa payung, pemandangan dengan bangunan khas Eropa. Namun sejalan dengan waktu, wajah Doraemon juga menjadi pola sulaman kristik.

(foto: galerykristikwilli.blogspot.com)
(foto: galerykristikwilli.blogspot.com)
Seni sulaman kristik seperti potret yang mengabadikan masa, seseorang atau sesuatu. Sebagaimana penuturan Ibu Sulam, yang lebih sering menyulam wajah Bung Karno. Bahkan berani stok lebih banyak karena tidak sedikit yang menggemari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun