Muncul nama seorang teman di layar bersamaan getar dan bunyi handphone. Saya langsung bisa  menebak jika dirinya sedang ada masalah. Teman ini memang terbiasa menelpon saya jika ada masalah. Baik tentang masalah keluarga sampai pekerjaan.
Setiap orang membutuhkan orang lain, menjadi tempat curhat, didengar isi pikiran dan rasa hatinya. Terkadang mesti siap memberi saran atau pendapat jika ingin pandangan dari sisi saya bagaimana harus mengatasi masalahnya.
Itulah guna seorang teman, walau kami bertemu terakhir kali lebih dari tiga tahun lalu di Yogya. Teman saya ini tinggal di luar Jawa maka komunikasi yang memungkinkan hanya lewat telpon atau sesekali lewat what's up.
Cerita pun mengalir dari ujung telpon hingga saya cukup tersentak saat mendengar salah satu anaknya mencoba untuk bunuh diri dengan cara menyayat-nyayat tangannya.
Singkat cerita, anaknya mengalami depresi karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Padahal kakak dan kedua orang tuanya merupakan lulusan dari dua perguruan tinggi terkemuka di negeri ini.
Pendapat serta saran pun saya tawarkan ketika teman bertanya, apalagi dirinya merasa gagal menjadi orang tua.
Kegagalan tidak selamanya gagal meraih kemenangan dalam pertandingan atau perlombaan yang ditonton banyak orang. Ramai dengan tepuk tangan dan decak kagum, saat bertanding.
Gagal atau merasa gagal kerap menjadi batu sandungan para pengejar ambisi dan kemenangan. Mereka tidak mudah untuk menerima realitas, seperti yang dialami oleh salah seorang anak teman saya. Padahal, bisa jadi kegagalan itu merupakan kesuksesan yang tertunda. Ingat Thomas Alfa Edison ?
Merasa tidak berguna, tidak berarti dan merasa paling bodoh. Merasa tersingkir karena tidak menjadi orang-orang pilihan yang ditandai atau dimaknai sebatas terpenuhi keinginan. Seperti diterima di perguruan tinggi terkemuka.