Mohon tunggu...
Yoel Koichi
Yoel Koichi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Persembahan untuk Sang Garuda

22 Agustus 2017   19:23 Diperbarui: 22 Agustus 2017   19:53 5421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang berkata sebuah ingatan takkan pudar dan hati yang sungguh menghasilkan buah, tentu aku percaya akan kata-kata ini dan kusimpan didalam benak hatiku. Pasti ada yang bertanya-tanya mengapa saya terus berpegang pada sesuatu yang bernama 'kata emas' ini. Karena saya pun sebagai manusia pernah mengalami hal yang tak akan saya lupakan begitu saja .

    Saat saya masih duduk dalam kelas 5 saya terpilih untuk menari tarian tradisional Betawi untuk sebuah acara kebudayaan Indonesia yang digelarkan di sekolah saya. Namun sebagai orang yang tidak memiliki seiota pun pengalaman untuk menari, dan memiliki tubuh sebesar gaban, tidaklah mudah bagaikan sekedar membalikkan telapak tangan. Meskipun begitu untuk menunjukkan keindahan budaya bangsa Negara Indonesia saya harus terus maju demi mengharumkan nama bangsa dan neg'ri ku.

    Bersama teman-teman yang lain kami berlatih dengan segenap jiwa dan raga kami dan ternyata menari tidaklah semudah yang aku kira. saat istirahat tiba, kuteguk sebotol java kedalam tenggorokanku dan, "wah!" pikirku. Terasa sejuk tidak karuan. Apakah karena aku sangat letih lesu , atau karena jiwaku ini yang lengah, aku tidak tahu.

    Saat itu tiba-tiba ada salah satu partnerku yang mengeluh karena terlalu lelah dan ia berkata sambil berjalan menuju pintu kelas, "aku lelah, aku keluar dari sini saja."  Mendengar itu aku dan pelatih tari kami merasa sangat marah bagaikan meletusnya gunung api. Karena partnerku telah pergi, aku tidak bisa menari karena tarian ini memerlukan pasangan berdua. Oiya, anggota yang ikut menari adalah dua laki-laki dan dua perempuan untuk kelompok penari Betawi, kami juga berlatih bersama kelompok Madura yang terdiri dari 4 perempuan. Tanpa basa-basi mari kita lanjut.    

    Karena aku sendirian, aku tidak menari dan pelatih kami melaporkan kepada kepala sekolah bahwa kita membutuhkan satu laki-laki lagi untuk menjadi pasanganku (bukan pasangan yang seperti itu juga sih). Keesokan harinya kami berunding bersama kepala sekolah mengenai kejadian kemarin. Masalahnya adalah semua anggota kelompok Betawi sudah memiliki pekerjaan masing-masing, dan akhirnya kami telah memilih 1 temanku yang lain dan pada hari itu juga kami berlatih bersama-sama.

 Aku pertama menduga bahwa dia tidak akan langsung bisa menari tarian tersebut pada hari itu juga, namun alangkah kagetnya saya bahwa ia sudah bisa menari dalam satu kali latihan dan sedangkan aku harus berapa kali latihan baru bisa menari tarian tersebut. Untunglah partner baruku ini sangat baik hati maka Ia dengan sabar mendidikku untuk menari dengan lebih gagah.

  Dan hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu hari dimana aku akan menari pada saat pembukaan acara kebudayaan Indonesia. Tentunya rasanya sangat gugup sampai tangan saya berkeringat dingin, tapi saya tahu bahwa saya tidak bisa berhenti begitu saja karena saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai.

    Bersama tim-tim menari yang lain, kita maju bergiliran dan menari dan pada saat giliran kami untuk menari. Para pria menari dengan gagahnya  bagaikan prajurit dalam medan perang, dan begitupun para wanita menari nan anggun bak dewi syantik 17 kali syantik yang jatuh dari khayangan mencari pangeran berkuda (etdah). Setelah kami semua sudah menari, kami dan para anggota dancer yang lain pun bertos-tosan tanda kesuksesan menari.

  Setelah menari saya terkaget bahwa banyak sekali yang tidak tahu nama-nama tarian yang telah kami pentaskan sekalipun manusia pribumi pun tidak mengetahui nama tarian tersebut. Namun saya baru sadar kami sebagai penari merupakan tugas yang termasuk penting yaitu untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada Tanah Air dan kepada seluruh dunia. Kami pun juga bisa melupakan jati diri kami karena pengaruh budaya dari luar. Karena itu demi mempertahankan budaya Indonesia yang kaya ini supaya tidak lenyap dari hadapan kami, aku akan terus menari tuk Garuda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun