Tuhan telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Semua baik adanya. Aku, sang hutan ingin berkisah tentang perjuangan hidupku. Hutan bukanlah individu yang berdiri sendiri. Kami adalah kumpulan ribuan, bahkan jutaan pepohonan yang tumbuh rimbun menghias semesta bersama segala makluk lain. Termasuk manusia yang selalu hidup dalam kedamaian dan saling mengasihi.
Kami menyediakan sumber air bagi setiap makluk, dan juga  menyediakan sumber makanan. Kami tidak menuntut balasan, atau minta bayaran. Mari makan tanpa bayar, ambil madu dan susu dengan cuma-Cuma. Kami memberi dari apa yang kami punya. Karena segala yang kami miliki, kami terima dengan dengan cuma-Cuma pula. Kami bahagia hidup dipenuhi kedamaian dan rasa saling percaya.
Beriring berkembangnya masa, manusia yang dulu hidup damai bersama kami, berubah. Mereka berbalik mengkhianati kami. Kasih yang selama ini kami anggap tulus, namun hanyalah pura-pura belaka. Meskipun fisik kami tinggi besar, namun kami ini lemah dan tak berdaya. Kami harus menerima kenyataan bahwa tubuh kami yang telah ribuan tahun berdiri kokoh, tumbang satu persatu karena ulah manusia.
Aku pohon, menangis bukan karena menatapi nasibku, namun karena keserakahan manusia yang tidak tahu bersyukur. Aku menangis dengan keras saat tubuhku mulai terhempas jatuh dan menimpa teman-temanku. Aku mendengar jeritan tangis mereka karena terluka. Sedangkan aku telah jatuh ke tanah yang dingin. Aku menjerit kesakitan. Bahkan lebih sakit lagi, ketika ranting-rantingku disapih dan aku ditelanjangi. Tidak ada ranting yang menyelimutiku. Aku menangis dengan kerasnya. Seluruh hutan penuh duka yang mendalam. Suara tangis begitu membahana. Tapi manusia... tiada peduli. Mereka punya telinga tetapi tidak mendengar, mereka mempunyai mata tetapi tidak melihat. Hati mereka tertutup keegoisan diri. Mereka lupa bahwa kami juga makluk ciptaan Tuhan yang baik adanya. Tanpa sadar mereka telah menindas saudara sendiri.
Aku  kedinginan dengan tubuh penuh luka. Aku melihat ke samping kiri dan kananku, saudara-saudaraku pun bernasib sama. Siapa peduli, siapa mau dengar kami? Hutan telah gundul, sumber air telah kering, dan sahabat-sahabat kami, lari mencari perlindungan. Sumber makanan tak lagi melimpah. Tak ada lagi daerah resapan, akibatnya banjir dimana-mana. Tanah longsor menimbun hunian manusia. Kami telah binasa, kini jerit tangis datang dari manusia akiba dari bencana. Siapa yang salah? Semua terlanjur terjadi.
Aku hancur lebur, dicacah-cacah, atas nama keindahan. Semua itu demi memuaskan ego manusia. Aku dijadikan hiasan dinding simbol kesombongan manusia. Aku kini tak berdaya. Aku menjerit  tak ada yang mendengar. Aku meronta-ronta namun tak ada yang melihat. Aku berkeluh dalam nada  suara yang tak bersuara.
              Salatiga, 21 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H