[caption id="attachment_146482" align="aligncenter" width="326" caption="foto : dokumen pribadi"][/caption]
Judul: Di Bawah Langit Tak Berbintang
Penulis: Utuy Tatang Sontani
Penerbit: Pustaka Jaya, 2001
Tebal: 150 halaman
Buku ini adalah kumpulan dari memoar atau otobiografi seorang sastrawan Sunda, Utuy Tatang Sontani, yang merupakan salah satu sastrawan yang turut menentukan perjalanan sejarah Indonesia. Dilahirkan pada 13 Mei 1920 di bumi Cianjur dan wafat pada 17 September 1979 di Moskwa, Uni Soviet. Dari masa kurun hidupnya itu, Utuy telah menghasilkan sembilan belas karya sastra. Perannya sebagai sastrawan memang tak bisa dipandang sebelah mata, mengingat jarangnya sastrawan yang dapat mencapai kesuksesan seperti Utuy.
Dalam buku yang berjudul Di Bawah Langit Tak Berbintang menceritakan bagaimana pengalaman Utuy yang hidup dalam pengasingannya di RRC dan Rusia. Pada awalnya, Utuy diutus oleh pemerintah Indonesia pada 1958 sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin mesra, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, "Tambera", yang dianggap mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, "Orang-Orang Sial", hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.
Namun, saat Utuy berkunjung ke RRC pada September 1965, ia tak dapat pulang kembali ke Indonesia pascameletusnya Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Utuy pun menjadi sastrawan yang bisa disebut sastrawan eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia. Sementara, Lekra dinilai sebagai organisasi kebudayaan yang dekat dengan PKI. Karena itu, Utuy tak dapat pulang karena dianggap sebagai anggota Lekra serta paspornya dicabut pemerintahan Soehart yang berimbas Utuy tidak dapat pulang ke tanah airnya hingga wafat di Uni Soviet pada tahun 1979.
Utuy, seorang Individualis sejati dan memandang sangat indah "Komunis", tersirat jelas dalam kata-kata dibuku ini, "jangan bilang kita sebagai orang komunis, sebab disini siapa diantar kita yang sudah menjadi komunis? setahu saya, kita semua baru menjadi orang PKI. Dan seorang PKI belum tentu orang komunis, seperti juga orang Masyumi belum tentu orang Islam dan orang PNI belum tentu Nasionalis."
Buku ini dikemas dalam tata bahasa yang sangat sederhana dan dapat dipahami dari berbagai kalangan. Bagi para pencinta sastra dan sejarah, buku ini wajib untuk dikoleksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H