Nisa tersenyum dan berlalu untuk mandi. Setelah mandi, Nisa melewati kamarnya Bi Minah yang kebetulan kamarnya bersebelahan dengan kamar mandi. Kamar Bi Minah terbuka sedikit.
“Pak, Bu, Minah janji ga akan meninggalkan Neng Nisa. Selain Minah udah janji sama bapak dan ibu, Neng Nisa udah Minah anggap anak Minah sendiri. Ibu dan bapak tak perlu khawatir dengan Neng Nisa. Di sini Minah yang menjaga Neng Nisa sampai Minah ga sanggup untuk bernafas lagi. Minah udah ga punya siapa-siapa lagi, yang Minah punya hanya Neng Nisa aja ” Ucap Bi Minah di kamarnya sambil mengusap foto berukuran kecil kedua orang tuanya Nisa. Bi Minah adalah seorang janda yang kebetulan tidak mempunyai anak. Setelah suaminya meninggal karena serangan jantung, Bi Minah tidak menikah lagi dan bekerja di keluarganya Nisa. Dibalik pintu, Nisa menangis dalam diam. Kemudian berlalu ke kamar untuk mengganti pakaian.
Setelah makan dengan Bi Minah, Nisa mengerjakan tulisan untuk sebuah majalah di ruang tamu ditemani Bi Minah yang sedang menonton tv. Kejadian tadi siang kembali mengusiknya dan membuat Nisa tidak berkonsentrasi.
“Neng Nisa...”
“Iya, Bi?”
“Neng, kenapa? Ada masalah ya?
“Nggak apa-apa kok, Bi.” Ujar Nisa sambil mengetik di laptopnya.
“Neng Nisa, Bibi tahu kalau kamu sedang sedih. Bibi kan mengurus kamu dari kamu lahir sampai kamu sebesar ini. Neng Nisa lupa ya?” kata Bi Minah tersenyum kepada Hita.
“Bi Minaaaah...”. Tangis Nisa yang terpendam akhirnya terserak saat itu juga. Nisa menangis dan memeluk Bi Minah.
“Kenapa, Neng? Masalah Arya ya?” tanya Bi Minah sambil tersenyum dan mengusap rambutnya Nisa yang biasanya ditutup kerudung.
Nisa menceritakan semuanya. Tidak hanya masalahnya dengan Arya, tetapi juga mengungkapkan kerinduannya kepada ayah dan ibunya yang belum lama meninggal.