[caption id="attachment_264435" align="aligncenter" width="300" caption="macet"][/caption] "Satu sumbangan ide untuk PEMDA DKI"
Sudah seminggu terakhir semakin terasa kalau lalu lintas Jakarta semakin tidak manusiawi, padahal bulan ini sekolah-sekolah sedang libur, tapi jam 9.30 malam, sepanjang jalan Gatot Subroto sampai Cawang kemacetan masih mengurung Jakarta.
Beberapa alternatif solusi untuk kemacetan Jakarta sudah banyak digulirkan oleh barbagai pihak, dan yang paling ideal memang membangun infrastruktur mass-transport (transportasi masal) yang baik seperti; Subway, Monorail, dsb.
Namun pembangunan transportasi masal tersebut membutuhkan investasi biaya yang sangat besar dan pembangunannya akan memakan waktu yang cukup lama sampai akhirnya terealisasi.
Lantas apa kira-kira solusi jangka pendek yang efektif yang bisa memperbaiki keadaan saat ini?
Jawabannya adalah OV-card.
OV-card adalah kartu trasportasi yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk kota. Kartu tersebut bisa dipakai untuk menggantikan tiket untuk seluruh tipe transportasi darat seperti bis kota, subway dan kereta api tanpa kecuali. Pemegang kartu hanya perlu menunjukkan kartu tersebut kepada kondektur kereta atau pengemudi bis kota setiap kali mereka naik kendaraan umum tersebut.
Pemerintah Belanda, mewajibkan seluruh perusahaan baik perusahaan milik pemerintah dan swata untuk memberikan kartu tersebut kepada karyawannya secara gratis, serta membayar biaya transportasi tersebut kepada pemerintah kota, dimana pemerintah kota berkewajiban untuk membayar kepada para penyedia jasa transportasi tersebut.
Sebagai catatan, sebagaian besar jasa transportasi masal di Belanda dikelola oleh swasta.
Sekarang kita lihat apa penyebab utama kemacetan di Jakarta. Jawabannya sudah sangat jelas yaitu jumlah kendaraan bermotor (pribadi) yang sudah melebihi kapasitas (daya tampung) jalan raya di Jakarta.
Jumlah penggunan kendaraan bermotor tersebut akan terus meningkat tanpa perduli berapapun harga BBM atau pajak kendaraan dimasa depan, bukan karena mudahnya untuk memiliki kendaraan bermotor, tapi tidak lain karena tidak adanya alternative pilihan yang lain.
Sempitnya pilihan tersebut, diperburuk dengan perbedaan biaya antara besarnya biaya seseorang untuk naik kendaraan umum yang lebih besar dibanding menggunakan motor misalnya.
Kita bisa bandingkan busway yang sekali naik Rp. 3.500 setiap kali naik. Berarti setiap hari, minimal seseorang harus mengeluarkan Rp. 7.000 untuk pergi bekerja dan pulang. Sebulan berarti sekitar 20 x Rp.7.000 = Rp. 140.000 atau sekitar Rp. 1,5 juta/tahun (kurang lebih).
Sedangkan untuk sepeda motor, rata-rata hanya perlu mengeluarkan Rp. 15.000 untuk 3 hari pemakaian (mungkin lebih, untuk komuter jarak dekat).
Untuk pengguna mobil, angkanya jelas jauh lebih besar ditambah berapa besar “opportunity cost” yang hilang dalam setiap jam, setiap kali mereka terjebak dalam kemacetan.
Seperti kita ketahui, di Indonesia “tunjangan transportasi” dalam komponen gaji merupakan hal yang banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan baik BUMN maupun swasta. PEMDA DKI bisa menerapkan metode OV-card tersebut di Jakarta, dengan cara antara lain:
- Mewajibkan semua perusahaan di DKI Jakarta untuk membayar “biaya transportasi” tersebut kepada PEMDA;
- Dengan uang tersebut PEMDA mengeluarkan OV-card yang diberikan sepada perusahaan, kemudian perusahaan kepada masing-masing karyawannya;
- Perusahaan tidak lagi perlu memberikan “tunjangan transportasi”, dan menganjurkan karyawannya untuk menggunakan transportasi umum, dengan tidak menanggung biaya transportasi apabila mereka menggunakan kendaraan pribadi;
- PEMDA membayar kepada penyedia jasa transportasi umum baik swasta maupun pemerintah sesuai dengan besaran rata-rata ongkos per-orang atau penerimaan setiap kendaraan selama sebulan;
- PEMDA dapat pula menggunakan uang tersebut untuk meremajakan armada transportasi pemerintah, terutama apabila kartu tersebut menggunakan chip;
- PEMDA dapat mengeluarkan syarat ketentuan standar kendaraan umum yang dikelola oleh swasta, apabila mereka ingin beroperasi sesuai dengan para pengguna kartu tersebut;
Ada kurang lebih 5 juta pekerja di Jakarta. Apabila masing-masing pekerja tersebut menerima Rp. 200.000 tunjangan trnasportasi setiap bulan. Berarti setiap tahun sekitar Rp. 2.5juta per-orang.
Andai Rp. 2.5 juta/orang tersebut disetor ke PEMDA DKI, maka setiap tahunnya PEMDA DKI akan memiliki sekitar Rp. 12,5 Triliun setiap tahunnya. Dan apabila kartu tersebut dilengkapi dengan system elektronik, maka cost tersebut akan lebih actual dan efektif (pay-per-use), seperti layaknya pulsa.
Perusahaan akan lebih senang untuk mengganti tunjangan transportasi tersebut dengan kartu, walaupun sedikit lebih mahal, karena beberapa alasan:
- Besarannya akan tetap (sama untuk seluruh karyawan, apapun tingkat jabatannya)…iya lah…orang kendaraan umum yang dipakai sama kog;
- Perusahaan tidak perlu menanggung kerusakan kendaraan pribadi atau perawatannya apabila kendaraan pribadi tersebut rusak ketika sedang digunakan dalam pekerjaan;
- Karyawan akan datang lebih tepat waktu;
- dan yang paling utama, perusahaan tidak lagi perlu mengeluarkan “tunjangan transportasi”.
Sekarang coba bayangkan seandainya 5 juta pekerja tersebut dapat menggunakan segala jenis transportasi dengan gratis. Apakah mereka akan tetap memakai kendaraan pribadi?
Seandainya-pun hanya 50% dari total jumlah pekerja yang beralih menggunakan kartu tersebut dari kendaraan pribadi, itu sudah 2,5 juta kendaraan pribadi yang hilang dari jalan raya ibu kota SETIAP HARINYA!
Penggunaan OV-card tersebut juga dapat mencegah terjadinya praktek korupsi dalam PEMDA DKI, khususnya dalam pengelolaan transportasi umum, karena jumlah biaya dan penerimaan dari masing-masing pengelola jasa tersebut akan lebih transparan dan seragam.
Bagi pengelola jasa transportasi swasta, skema ini juga akan sangat menguntungkan karena mereka akan tetap menerima pemasukan dengan jumlah yang tetap, tanpa pengaruh jumlah pengguna yang mungkin tidak sama pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu.
Penerapan model OV-card ini sangat sederhana dan tidak memerlukan investasi infrastruktur yang besar hanya memanfaatkan dan memperbaiki fasilitas yang sudah ada.
Ini baru pekerja, coba bayangkan kalau skema yang sama diterapkan juga bagi pelajar dan mahasiswa, tidak mustahil jalanan Jakarta akan jauh lebih lancar dan udara akan jauh lebih bersih.
Semoga sumbangan ide ini bisa bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H