Mohon tunggu...
Andika Gunadarma
Andika Gunadarma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Motorcycle builder, Gamer & Graphic Designer | Work at hukumonline.com | lawyer - but not anymore | Lecturer | full-time husband

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KAMPANYE PEMILU CARA MILITER

30 Juni 2014   06:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="776" caption="beware of image"][/caption] “Kalau bukan kita siapa lagi?”

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

“Selamatkan Indonesia!”

Itu adalah tagline yang dipakai oleh timses Prabowo, dan kita bisa lihat kata-kata itu ada dimana-mana dan berkali-kali diucapkan dalam orasi.

Sama seperti saya, perasaan yang timbul ketika membaca kalimat tersebut adalah perasaan cemas dan khawatir. Khawatir akan suatu “ancaman” walaupun kita tidak tahu apa ancamannya.

Siapapun yang merancang kampanye seperti ini cukup dengan menentukan lawannya, dan membuat seolah-olah lawannya tersebut adalah orang yang “lemah” namun berbahaya bagi kita semua, sementara penyebar kampanye seperti seorang suci atau "juru selamat". Diluar itu, kampaye seperti ini sangat mudah untuk mengundang isu-isu lain yang mendukung “keburukan” pihak lawan, misalnya isu agama, ras dan lain-lain tergantung karakter sosial masyarakat yang terkait.

Cara seperti ini sangat efektif karena secara otomatis alam bawah sadar orang yang membacanya akan merasa untuk perlu melakukan sesuatu, walaupun belum tahu mau melakukan apa.

Belanda melakukan propaganda seperti ini berkali-kali di Indonesia pada jaman penjajahannya yang kita semua kenal dengan cara “devide et impera” (pecah belah, dan kuasai). Karena Belanda tahu persis karakter sosial bangsa kita yang gampang sekali untuk di adu domba hanya dengan isu-isu yang sederhana.

Dalam buku “Confession of an Economic Hitman” penulisnya, John Perkins mengakui bahwa ada beberapa langkah yang dilakukan oleh CIA untuk mempengaruhi suatu Negara salah satunya adalah dengan menggunakan teknik propaganda yang sama.

“kalau bukan kita siapa lagi?”

Ini untuk menunjukan siapa subjeknya. Kata “kita” itu bisa berarti Prabowo dan Hatta dan/atau “Kita” semua. Yang manapun yang dimaksud oleh timsesnya tidak jadi masalah, karena siapapun yang membacanya sudah otomatis merasa “terikat” oleh pernyataan itu. Kata “Kita” itu ajakannya, sekaligus menunjukann dengan siapa anda bergandengan tangan atau dalam hal ini “bertempur” melawan musuh.

“kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Ini adalah kalimat desakan. Karena yang membaca ini akan merasakan dorongan untuk cepat-cepat melakukan sesuatu. “Ayo cepat! Sekarang saja! Kapan Lagi?”. Kalimat ini menghilangkan sejenak kesempatan kita untuk berpikir lebih panjang, apalagi bila didukung oleh isu-isu lain yang sifatnya mengancam dan seolah olah sudah ada di depan mata, misalnya: isu ancaman terhadap agama, ancaman oleh komunis, liberalis, asing dan lain-lain. Bagi orang awam, propaganda seperti ini sangat efektif.

“Selamatkan Indonesia!”

Ini kuncian terakhir. Kata “selamatkan!” atau “Lindungi!” atau “Serang!” atau “Lawan!” itu adalah kata yang mengundang naluri manusia yang paling dasar yaitu untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Sehingga apabila yang membaca sudah terpengaruh dengan isu-isu pendukung, maka ajakan tersebut akan menjadi sebuah pemicu, baik secara emosional bahkan terkadang fisik.

Metode propaganda seperti ini sangat sering dipergunakan oleh pihak militer untuk memecah belah dan memperoleh dukungan. Jaman sekarang hal ini bisa dilakukan jauh lebih mudah dan jauh lebih efektif penyebarannya dengan melalui internet.

Selamatkan Indonesia dari apa?

Setelah melihat beberapa kali debat capres,  mempelajari visi dan misi kedua calon. Ada beberapa pertanyaan, terutama terkait dengan tagline timses Prabowo tersebut.

“Selamatkan Indonesia!”. Kalimat yang seolah menempatkan Indonesia dalam posisi genting akan ancaman yang didepan mata, baik ancaman ekonomi yang “bocor”, keamanan yang lemah dan harga diri yang dinjak-injak oleh Negara lain.

Kalau memang Indonesia dalam posisi segawat itu akibat pemerintahan sebelumnya, lantas mengapa orang-orang yang mendukung Prabowo justru orang-orang yang sama dengan pemerintahan yang menempatkan Indonesia dalam posisi “bahaya” tersebut?

Bukankah itu seperti maling, teriak “Maling!”

Kampanye seperti ini bisa dipakai untuk tujuan yang baik. Saya pernah melakukan metode yang serupa diberbagai kesempatan, namun saya tidak sekalipun menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

Anda masih ingat kasus “Cicak vs Buaya”?

“Kita cicak, dan mereka (koruptor) adalah buaya”.

“Jangan hanya diam!”

“Lawan korupsi!”

Itu beberapa tagline yang dipakai pada saat itu. Kampanye melawan korupsi itu berhasil menyatukan jutaan orang dalam waktu singkat, mengajak semua bergerak melawan korupsi, dan akhirnya berhasil memasukkan seorang jendral polisi kedalam penjara.

Namun yang menakutkan dari metode ini apabila digunakan dengan posisi yang negatif yaitu kemungkinan yang akan terjadi apabila pihak yang menyebarkan propaganda negatif ini menang?

Misalnya isu komunis. Apa yang terjadi terhadap pihak lawan yang sudah keburu kena isu komunis dan sudah keburu dibenci oleh orang-orang yang terpengaruh isu tersebut.

Puluhan ribu rakyat Indonesia tewas dibantai karena di cap komunis dari tahun 1966 sampai 1970.

Sampai hari ini, tidak ada penjelasan dari pemerintah tentang ini.

Yang ada hanya pembenaran.

Saya mengajak anda untuk tidak terbawa emosi dan berpikir sejenak, karena sikap dan perbuatan kita ke depan adalah keputusan kita sendiri, bukan karena kita ikut dalam satu kelompok.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun