Ini adalah kali ke-3 aku datang ke toko besi itu. Padahal baru 1 menit yang lalu aku keluar. Motor buntut itu tidak jadi aku hidupkan. Karena ternyata, alat yang aku beli, masih kekurangan sebuah karet. Kali kedua, aku balik, karena ukuran dim-nya yang salah. Harusnya 125. Oleh pelayan toko, di kasih yang ukuran 129. Yah, harus kembali lagi. Kali pertama datang, yah, karena ingin membeli.
Apa yang mau kuceritakan di sini? Yah, tentang cicin di jari-nya. Ternyata tak ada cicin di jarinya. Mengapa aku tertarik dengan cicin dijarinya? Itu karena tertawa-nya, di kali ke-3 bertemu, karena sadar, lupa memberi karet pada mesin yang aku beli.
Aku pun masih mengingat senyum pada wajahnya, pada kali pertama bertemu. Aku menduga, ia juga melihat jari tanganku yang tak ada cicin. Itulah sebabnya, senyumnya makin melebar.
Ternyata, bujangan itu enak. Kita punya bahasa sendiri, untuk cepat akrab. Melihat cicin pada jari lawan bicara kita.
Aku memaki diri-ku, yang tidak merayu-nya tadi, seperti begini :
" Beruntung sekali, aku balik ke toko ini, sampai 3 x |
( Aku harap ia bertanya, : "mengapa?".)
Dan akan ku jawab, " karena kamu manis".
Keberanian itu tak ada, karena aku mengingat "dia"
Sebuah sudut, 26 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H