Difabel menjadi kelompok minoritas di masyarakat karena keterbatasan yang ada pada diri mereka. Pada hakikatnya difabel juga manusia yang memiliki peran, kedaulatan, dan kewajiban yang sama dengan manusia yang lain. Maka tidak sepantasnya terdapat perbedaan maupun ketimpangan yang terjadi di dalamnya. Namun kenyataannya mereka masih mengalami begitu banyak ketimpangan sehingga hak-hak mereka di masyarakat belum terpenuhi. Ketimpangan tersebut membuat para difabel pada akhirnya menjadi kaum minoritas dan terpinggirkan. Seringkali mereka dipandang sebelah mata oleh masyarakat sebagai pihak yang tidak bisa mandiri dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Salah satunya adalah Mas Anwari yang merupakan penyandang difabel tuna daksa berusia 23 tahun dan bertempat tinggal di Desa Pancakarya, Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember. Beliau termasuk seorang difabel yang cukup memiliki kesulitan baik secara mobilitas dan akses dalam kehidupannya. Saat ini Ia hidup bersama dengan kakak dari ibunya yang berada di sebelah rumahnya semenjak ibunya meninggal setahun yang lalu. Sehingga sampai saat ini beliau tinggal bersebelahan dengan rumah bibinya. Selama hidupnya beliau belum pernah menempuh dunia pendidikan dan di usianya yang ke-23 tahun ini beliau belum bekerja. Sebelumnya beliau pernah mencoba usaha online dengan berjualan rokok melalui platform Facebook, tetapi usahanya berhenti sekitar setahun yang lalu karena persaingan dengan penjual online rokok lainnya. Selain itu beliau juga pernah mendaftarkan dirinya untuk mengikuti pelatihan Tata Boga di Dinas Sosial Jember. Akan tetapi, Pandemi Covid-19 membuat program tersebut dibatalkan dan menjadikannya tidak dapat mengikuti pelatihan dari Dinas Sosial tersebut.
Setelah program pelatihan tersebut dibatalkan, Mas Anwari tidak lagi mengikuti kegiatan apapun dan hanya tergabung di dalam komunitas PERPENCA. beliau sempat diberikan tawaran untuk ikut berbagai macam pelatihan yang ada di Bangil, tetapi saat itu beliau tidak mendapatkan izin dari Ibunya. Pada usia produktifnya ini beliau sebenarnya memiliki keinginan untuk mempunyai pekerjaan dan mendapatkan penghasilan supaya mandiri secara ekonomi. Namun keinginan tersebut terhambat oleh kondisi beliau dan kurangnya akses informasi serta relasi yang didapatkan. Kondisinya saat ini yang dirawat oleh bibinya ditambah dengan tidak ada dukungan dari Ibunya lagi membuat semangatnya meredup. Selain itu juga karena kurangnya akses informasi serta relasi yang didapatkan saat ia tergabung dalam komunitas PERPENCA membuat beliau kesulitan dalam mendapatkan informasi seputar pekerjaan. Situasi pendukung lain yang menghambat juga berkaitan dengan alat komunikasi yang dimilikinya yaitu handphone yang sedang rusak.
Hambatan yang dirasakan oleh Mas Anwari bisa dikatakan karena peran orang-orang di sekitar beliau yang belum mendukung keinginannya untuk mandiri secara ekonomi. Peran yang belum optimal tersebut bisa dijelaskan dalam salah satu teori sosiologi yaitu mengenai stratifikasi sosial dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar tulisan Soerjono Soekanto Disebutkan bahwa dalam stratifikasi sosial terdapat unsur-unsur yaitu kedudukan dan peran (role). Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. pentingnya peranan adalah bagaimana ia dapat mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Norma-norma yang ada di masyarakat dapat mengatur peran yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut pihak-pihak seperti pemerintah dan keluarga dapat menjalankan perannya dengan baik dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif.
Apa yang dialami oleh Mas Anwari merupakan sebuah contoh kurangnya peran dari pemerintah dan orang-orang terdekatnya seperti keluarga dalam membantu mewujudkan kemandirian ekonomi beliau. Pada pemerintah sendiri bantuan yang diberikan kepada difabel seperti Mas Anwari kurang dapat dialokasikan dengan baik, sehingga bantuan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari saja, tidak bisa digunakan untuk membangun usaha yang berhubungan dengan permodalan. Hal ini dikatakan oleh beliau dalam wawancara kami saat itu:
"Ada mbak bantuan dari provinsi itu, berupa uang yang disuruh dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari. Itu bantuannya 3 bulan sekali mbak.. dapat 900.000. Itu harus dibelanjakan gitu, pakai nota di stempel, terus nanti diambil gitu, disetor", ucap beliau.
Dari pernyataan beliau artinya disini pemerintah belum memberikan bantuan yang maksimal khususnya pada permodalan dalam mendirikan sebuah usaha. Padahal apabila bantuan seperti permodalan tersebut dianggarkan kepada para difabel seperti beliau, tentunya akan membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Kemudian disini juga peran dari keluarga Mas Anwari seharusnya dapat dijalankan dengan baik, karena kondisi beliau saat ini dimana Ibunya sudah meninggal dan tidak memiliki lagi orang yang selalu mendukungnya. Ayah kandungnya hanya mengunjunginya satu tahun sekali di saat lebaran dan ayah tirinya yang kurang memberikan kepedulian terhadapnya. Hal ini membuat beliau kurang memiliki motivasi dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Artinya disini diperlukan peran yang seimbang antara pemerintah, keluarga, serta motivasi bangkit dari keadaannya saat ini sendiri untuk dapat kembali memiliki pekerjaan dan bisa mandiri secara ekonomi. Selain itu juga peran dari komunitas PERPENCA untuk merangkul anggota-anggota difabel yang dulunya pernah diajak dan masih tergabung tetapi terkendali oleh komunikasi, dapat diajak kembali untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di komunitas.
Penulis: Nadilla Ragil Saputri (200910302069)
Muhammad adnino wanamariq al-haj (200910302129)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H