Belum lama ini saya bersama seorang teman melewati sebuah spanduk tentang pagelaran wayang kulit untuk memperingati hari jadi sebuah universitas di Jakarta. Saat itu teman saya sempat nyeletuk “hari gini, hari jadi universitas kok diperingati dengan pagelaran wayang kulit, mana ada mahasiswanya yang mau datang”. Saya sempat heran dengan pernyataan teman saya tersebut, mungkin memang tidak ada salahnya pernyataan tersebut, mengingat boleh dikatakan sudah semakin sedikit generasi muda sekarang yang menyukai budaya tersebut. Saya sendiri sebagai orang Jawa masih memberikan apresiasi terhadap wayang sebagai sebuah budaya, meskipun masih jauh apabila dibilang paham, karena seringkali menggunakan bahasa Jawa kuno yang agak sulit untuk saya pahami.
Kembali ke hari jadi universitas tersebut, saya rasa hal tersebut cukup baik untuk dilakukan, paling tidak bisa dijadikan sebagai sebuah usaha untuk membangkitkan kembali budaya bangsa ini agar generasi muda bisa lebih mengenal dan menyayanginya.
Ini sebuah pengalaman pada saat saya berada di bandar udara Polonia Medan beberapa bulan yang lalu. Seperti sudah menjadi hal yang biasa, seringkali terjadi penundaan penerbangan dengan alasan cuaca, pada saat itu hal tersebut pun terjadi pada rombongan kami. Yang membuat kami sedikit terhibur saat itu adalah, dari sekian banyak penumpang yang ada, terdapat sebuah rombongan lain, dari penampilan mereka saya bisa melihat bahwa mereka beranggotakan dari berbagai macam negara, namun satu yang sangat menarik bagi rombongan kami, terutama saya, untuk mengisi waktu, sementara kami tidak tahu kapan kami akan bisa kembali ke Jakarta, mereka memainkan musik dari seruling dan menyenandungkan tembang-tembang Jawa. Diantara mereka bahkan membuat joke-joke dalam bahasa Jawa. Ketertarikan saya terhadap mereka, membuat saya mendekati mereka dan bertanya lebih lanjut. Mereka menjelaskan, bahwa mereka adalah beberapa siswa dari sebuah institute seni yang ada di Indonesia, mereka datang dari berbagai negara, Jepang, Australia, Jerman dan Belanda, dan mereka datang ke Sumatra Utara selain untuk menikmati keindahan alam Danau Toba, juga untuk mempelajari seni budaya daerah tersebut. Mereka begitu tertarik dan sangat paham akan budaya Indonesia. Mereka tahu banyak tentang wayang, cerita dan tokoh-tokohnya. Tiba-tiba dalam hati saya terbersit rasa malu terhadap mereka, karena pengetahuan saya tentang budaya bangsa saya sendiri masih sangat jauh dibawah mereka. Memang saya kadang-kadang masih melihat pertunjukan wayang, itupun tidak sampai selesai sampai akhir pertunjukan. Banyak teman berpendapat bahwa budaya seperti itu hanya milik orang tua, sekarang saya berpikir kalau budaya seperti itu hanya milik orang tua, lalu kita orang muda punya apa?.
Beberapa waktu yang lalu saya mempunyai kesempatan menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan. Saat itu saya agak heran karena dari sekian banyak penonton, yang menyaksikan pertunjukan dengan penuh perhatian adalah para turis asing, sedang masyarakat lokal lebih terkesan agak santai bahkan sedikit berisik. Lebih heran lagi saat pertunjukan usai, seorang gadis sempat mengatakan pada saya bahwa dia sama sekali tidak paham dengan pertunjukan yang dia saksikan. Bagaimana bisa paham, pikir saya, selama pertunjukan dia sibuk ngobrol sendiri, kebetulan posisi kami agak berdekatan selama pertunjukan tadi. Mungkin ada benarnya bila ada yang mengatakan bahwa sebagian besar dari generasi sekarang seakan tidak tersentuh oleh budaya lokal.
Budaya lokal dalam arti budaya dari daerah masing-masing. Mungkin agak sulit bagi kita untuk bicara tentang budaya nasional atau budaya bangsa, budaya daerah saja terkadang tak mampu menyentuh kita. Tidak bisa dipungkiri saya dan teman-teman saya seringkali lebih mengenal band dan penyanyi-penyanyi pendatang baru yang datang silih berganti. Anak-anak pun hapal diluar kepala tokoh-tokoh dalam komik asing. Kami dan generasi di bawah kami, sebagian besar tak tahu siapa itu Prabu Kresna, adipati Karna ataupun tokoh-tokoh pewayangan lainnya. Mungkin kami hanya sekedar mendengar namanya, namun siapa, bagaimana dan apa peran mereka banyak diantara kami yang tidak tahu.
Saya masih ingat, semasa kecil saya masih sering mendengar dongeng tentang Putri Candra Kirana, Panji Asmorobangun, Ande-ande Lumut dan tokoh dongeng lainnya. Namun saat ini dongeng-dongeng itu telah tergantikan oleh tokoh-tokoh kartun dan tokoh-tokoh komik asing.
Fenomena apa ini sebenarnya. Bagaimana sepuluh atau duapuluh tahun mendatang bila hal ini berlangsung terus. Mungkin tokoh-tokoh dongeng itu telah bermigrasi ke negara lain dan tidak ingin kembali ke Indonesia karena di negara lain mereka lebih dikenal dan disayang.
Kemungkinan ini terjadi sangatlah mungkin, mengingat semakin banyaknya orang-orang asing, pelajar dan mahasiswa asing yang mempelajari budaya Indonesia. Cobalah tengok sudah berapa orang mahasiswa Jepang yang paham benar memainkan angklung, karawitan dan menarikan tarian daerah kita.
Menurut saya, sangat salah bila ada anak muda yang paham tentang seni budaya daerah dianggap tidak modern, kuno dan mengalami kemunduran. Seringkali anak muda yang masih membawa identitas daerahnya, entah itu dari logat bicaranya, pakaian ataupun masih menyenangi budaya daerahnya seperti lagu-lagu dari daerah asalnya, dianggap katro’, ndeso dan lain sebagainya. Justru dia mengalami lompatan berpikir yang lebih maju daripada generasi seusianya, karena dia tetap mempertahankan identitas dari mana dia berasal dan tak terpengaruh oleh arus modernisasi yang seringkali dapat menggerus identitas masyarakat bangsa ini. Bukannya saya tidak senang dengan segala kemajuan yang ada, namun alangkah baiknya bila kemajuan itu tidak sampai menggerus identiatas kita sebagai anak bangsa, anak daerah. Saya tetap bangga menjadi gadis Jawa, dan bahasa Jawa masih sering saya pergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap pulang kampung ke daerah asal saya, sebuah kota di Jawa Timur, seringkali saya dibuat terkaget-kaget oleh perubahan yang ada di sekitar lingkungan rumah saya. Anak-anak kecil di lingkungan rumah saya dalam berkomunikasi sudah banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, seringkali saya rindu celoteh anak kecil dalam bahasa Jawa. Bahkan yang lebih konyol ada sebuah keluarga yang berkomunikasi dengan anaknya dengan menggunakan Bahasa Inggris, tidak salah memang, karena mungkin memang itulah tuntutan jaman, agar mereka tidak tertinggal, tapi alangkah lebih baik bila bahasa daerah tetap dikenalkan dan dipergunakan juga.
Saya tahu, banyak orang pintar di negeri ini, banyak orang berpandangan modern. Mereka paham benar tentang teori dan filosofi-filosofi dari Socrates, Descartes, Plato dan masih banyak yang lainnya. Namun masih banyakkah yang paham juga tentang filosofi-filosofi hidup yang terkandung dalam kisah-kisah pewayangan dan seni budaya lainnya. Apakah filosofi-filosofi hidup yang terkandung dalam kisah-kisah pewayangan dan seni budaya itu sudah tidak lagi seiring dengan perkembangan jaman?.
Saya juga bukanlah orang yang sangat paham tentang semua itu, pengetahuan saya juga masih sangat terbatas, karena itulah saya juga sangat malu bila berhadapan dan berbincang dengan orang asing yang sangat memahami tentang budaya Indonesia.
Saya khawatir, jangan-jangan suatu saat nanti kita akan mempelajari budaya kita sendiri di negara orang, seperti kita mempelajari dan menelusuri sejarah Indonesia kuno di Leiden, Belanda. Haruskah sebenarnya itu terjadi?.
Maka jangan heran pula, dan jangan terus ribut bila suatu saat terjadi lagi klaim atas budaya kita oleh negara lain, karena sering kali orang-orang dari bangsa lain yang lebih menghargai, menyukai dan menyayangi budaya Indonesia daripada anak-anak bangsanya sendiri. Namun saya tetap berharap hal itu tidak akan terjadi lagi. Sehingga sudah selayaknya kita mencintai dan melestarikan budaya Indonesia, meski dengan jalan yang sederhana dan mudah sekalipun. Kita akan merindukannya bila sesuatu itu telah hilang dan sulit untuk diraih kembali. Semoga tidak sampai terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H