Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koran Masuk Desa

12 Oktober 2014   04:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:24 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413038730164443763

Pagi tadi usai menjemput adik sekolah, saya beli koran di tengah Kabupaten. Walaupun susah didapati (karena memang menjelang siang), tapi di tempat pengecer masih berlimpah ruah. Dari kios pengecer ini, saya membeli Koran KOMPAS dan kembali melanjutkan perjalanan pulang. Jarak antara desa tempat saya tinggal dan pusat kabupaten, kurang lebih 13 kilometer.

Saat dalam perjalanan, saya menengok seseorang yang tengah membaca koran di tepi jalan. Tampak Koran Jawa Pos dengan cover bergambar Malala (aktivis HAM asal Pakistan). Saya pun tertarik untuk beli, karena juga berfikir akan lebih bagus kalau dirumah nanti banyak sumber berita yang  dibaca.

Namun, sepanjang perjalanan hingga 6 kilometer tidak ada satupun penjaja koran maupun kios pengecer. Baru di kawasan Pasar (yang artinya telah masuk 3/4 perjalanan), saya bisa membeli koran bergambar Malala ini. Kini, dua buah koran telah saya jepit di kendaraan bermotor.

[caption id="attachment_365723" align="aligncenter" width="300" caption="Koran Kompas dan Jawa Pos Hari Ini (dok.penulis)"][/caption]

Kemudian iseng, mata saya tetap berusaha mencari penjual koran di sepanjang perjalanan menuju rumah. Dan hasilnya, sama sekali tidak ada! Semakin saya masuk ke dalam jantung desa, semakin minim koran atau kios pengecer yang menghiasi jalanan. Jalanan desa dipenuhi dengan warung makanan, toko bangunan, lapangan, rumah penduduk, sawah, toko kelontong, dan sebagainya. Tapi tidak dengan pusat informasi/koran/tempat membaca.

Maka sesungguhnya prinsip "Buku adalah Jendela Dunia" ini hanya berlaku di bangku sekolah saja. Mereka yang ada di desa, bukan tidak mau membaca (hingga sering menjadi korban penipuan). Melainkan memang tidak adanya akses untuk membaca. Padahal dengan membaca, wawasan kita akan semakin meluas.

Besar harapan saya, pesan ini dapat kita resapi bersama dan turut menjadi perhatian. Untuk segenap pemilik media cetak, para pengambil kebijakan, akademisi, dan para intelektual, ini juga tanggung jawab kita. Pastikan informasi yang menjadi berita utama ini tidak lagi tentang politik-politik-politik lagi. Namun ayo kita memulai untuk menghiasi berita utama surat kabar kita dengan prestasi-penemuan-prestasi, yang semua masyarakat membutuhkannya.

Bila memang pemberitaan tidak lagi itu-itu saja, bisa jadi sedikit demi sedikit masyarakat desa akan tertarik untuk membelinya. Mulai dari si anak yang pergi sekolah, karena tertarik dengan judul (misalnya) "Siswa SMA Indonesia Menuju Mars bersama NASA", kemudian membeli koran untuk dibaca, diedarkan ke teman-temannya, lalu dibawa pulang kerumahnya yang ada di desa.

Saya tahu betul siklus ini, karena sejak SMP hingga kini di bangku kuliah, saya masih hobi membeli koran pagi hari/pulang sekolah, membawa ke rumah untuk dibaca sekeluarga. Menyenangkan.

Niscaya bila siklus ini terus terjadi, minat baca masyarakat dari desa ke kota akan semakin tinggi. Wawasan masyarakat akan semakin luas. Dan yang paling penting, tidak ada lagi istilah gagap wawasan hingga buta huruf. Karena membaca bukan lagi hanya milik anak sekolah, tapi milik semua orang. Mampukah koran (benar-benar) bisa menembus desa? Aksi dimulai dari diri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun