Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Film dan Kedaulatan Negara

28 Desember 2014   21:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, ramai terlihat di jaringan media tentang film yang sampai membuat hubungan AS dan Korea Utara memanas. The-Interview. Film ber-plot komedi tentang usaha dua orang agen Amerika Serikat yang pergi ke Korea Utara untuk membunuh Presiden Kim Jong-un. Film yang diproduksi oleh SONY Pictures ini mendapatkan apresiasi kurang positif dari Pemerintah Korea Utara. Mereka menyebut film ini sebagai aksi terorisme.

[caption id="attachment_386772" align="aligncenter" width="448" caption="Poster Film The Interview yang diproduksi oleh SONY Pictures (sumber : www.kabarbisnis24.com)"][/caption]

Ternyata selanjutnya saya baca ada aksi hacking dilakukan oleh pihak yang menamakan dirinya Guardian of Peace (GoP). GoP meretas situs SONY, membocorkan film-film yang akan di rilis oleh sang produsen, serta menyebarkan identitas para karyawan SONY di dunia maya. GoP menuntut agar tidak ada lagi bioskop atau pihak yang menayangkan The-Interview. Bila tidak diikuti, maka GoP akan terus meretas situs SONY Pictures dan yang terkait.

Terjadi saling lempar tanggung jawab mengenai siapa yang meretas situs SONY Pictures. Banyak pihak menuduh Pemerintah Korea Utara sebagai pelakunya, namun Pemerintah memberikan klarifikasi bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan aksi tersebut. Cerita panjang perdebatan ini semakin dramatis saat Presiden Obama turut angkat bicara, meminta The-Interview dilanjutkan penayangannya. Seraya menegaskan bahwa tak ada satupun negara yang bisa ikut campur dengan kebebasan berekspresi di Amerika Serikat.

REAKSI
Film ini mendapatkan reaksi yang sangat keras dari Pemerintah dan segenap Diplomat Korea Utara. Perwakilan Korea Utara di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), Kim Song, sebagaimana dilansir Associated Press secara gamblang menyatakan "(Film ini) penghinaan terhadap kedaulatan kami dan kehormatan pemimpin tertinggi kami yang tak bisa dimaafkan," katanya.

Sikap Pemerintah Korea Utara bertentangan dengan mayoritas masyarakat dan netizen. Saat Pemerintah merasa film ini adalah sebuah tindakan yang merendahkan martabat kenegaraan, maka mayoritas masyarakat menganggap ini adalah sebagai kebebasan berekspresi. Masyarakat netizen kita (Indonesia) pun saya lihat juga sudah tidak sabar menanti tayangan film ini. Kebebasan berekspresi dan berkreasi, katanya.

PRESIDEN JOKOWI DAN CELEMEK
Masih ingat dengan kontroversi gambar depan salah satu Koran Australia "The Courier Mail" yang ber judul G20 Special Edition : Welcome to The Paradise ? Tim kreatif koran ini melakukan beberapa proses editing pada ke-20 pemimpin negara yang mengikuti pertemuan G20 di Brisbane, 15-16 November 2014. Presiden Jokowi tentunya tidak luput dari proses ini, sehingga dari sekian model pose dan penampilan, Presiden Indonesia mendapatkan celemek dan peci hitam yang dipakai miring sebagai dresscode nya. Bisa dilihat di gambar berikut :

[caption id="attachment_386776" align="aligncenter" width="670" caption="Gambar Depan Salah Satu Koran Australia yang Menunjukkan Pemimpin Negara anggota G20. Tampak Presiden Jokowi Bercelemek Biru di Paling Bawah. (sumber : merdeka.com)"]

14197500111369073947
14197500111369073947
[/caption]

Langsung saja perbuatan ini mendapatkan respon negatif dari Pemerintah dan Masyarakat Indonesia. Tampak seperti Australia sedang merendahkan harga diri bangsa ini, dengan membuat Presiden Indonesia berpenampilan seperti layaknya (maaf) pembantu. Di kanan-kiri semua menulis tentang betapa tidak beretikanya Australia, yang tidak menghargai negara tetangganya sendiri.

KEBEBASAN DAN KEDAULATAN
Nah ini poin pembahasan yg ingin saya angkat. Kebebasan berekspresi seringkali diangkat dan diagung-agungkan sebagai tolak ukur negara demokrasi. Bila ada aturan yang mengikat sedikit saja, maka kalimat pamungkas "kebebasan berekspresi" ini akan kembali digaungkan.

Agaknya kita semua harus belajar satu hal. Tidak ada hal yang kita ucapkan/kita lakukan itu bebas nilai. Semua perilaku, perkataan, tulisan, dan terutama karya, bukanlah hal bisu, melainkan sarana untuk menyampaikan aspirasi yang kita inginkan. Hal utama yang harus diperhatikan, apa yang kita buat/lakukan/katakan/tuliskan itu akan dinilai sesuai dengan dimana kita berada. Misalnya, memakai tank top dan hot pant di pusat perbelanjaan. Di Barat hal ini sangat biasa, tapi jika ini dilakukan di Negara Timur, ini masuk dalam kategori tidak sopan. Ini masih menyentuh hal dasar, yakni nilai kesopanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun