Eni tetap duduk di dalam kelas, saat pelajaran agama Islam dimulai. Bu Vera hanya tersenyum, ia adalah figur guru agama Islam yang layak diteladani.
Semua siswa memandang Eni - yang beragama Katolik. Beberapa dari kami kebingungan, karena tidak biasanya ada siswa dari agama lain duduk di dalam kelas yang tidak sedang membahas materi agamanya.
"Boleh saya tetap ada di ruangan, Bu Vera?" tanya Eni -- yang wajahnya masih suram
"Tentu saja boleh, semua orang boleh belajar di kelas saya, termasuk Eni." Jawab Bu Vera cepat.
Kelas langsung dimulai. Pelajaran soal tajwid -- materi yang setengah mati aku pelajari sejak dulu, tapi tidak juga menunjukkan perkembangan. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca Al-Quran bergilir, sambil Bu Vera ceritakan kisah didalam setiap ayat yang kami baca bergilir.
Eni tidak bertanya satu pertanyaan-pun, hanya mendengarkan sampai kelas berakhir. Kami lalu pergi ke kantin bersama, membeli makan siang, banyak bercanda, tanpa sekalipun membahas apa yang terjadi di kelas agama. Selalu begitu, keluar dari kelas, materi pelajaran langsung menjadi udara.
BABI
Satu minggu setelahnya, Eni tiba-tiba duduk dibangku depanku.
"Kenapa sih di Islam, babi disebut haram untuk dimakan?" tanyanya
"...eemm..." aku masih berpikir
"Iya, padahal hewan diciptakan kan dengan manfaatnya sendiri-sendiri, dan babi ya untuk dimakan," katanya
"Tapi En, nggak semua hewan bisa dimakan, kan? Ular, misalnya?" tanyaku
"Tapi di agamamu, disebut kalau babi itu haram. Apa itu artinya yang makan babi adalah orang hina?" Eni mulai ketus
"En, aku jujur hanya mendengar. Bahwa banyak cacing pita di dalam daging babi, yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia, karena cacing ini tidak akan mati walau dimasak dengan benar. Tapi itu yang aku dengar, alasan spefisiknya pun aku tidak tahu," jawabku pada Eni
"Bukan cuma babi, kok. Hewan yang bertaring, hewan yang disembelih tanpa bacaan doa dalam Islam, dan makanan yang dirasa menjijikkan oleh seseorang, juga disebut haram. Tapi untuk lebih jelasnya, kamu bisa ngobrol dengan Bu Vera," tambahku.
"Sebanyak itu?" Eni tidak percaya
Aku cuma mengangguk. Setelah itu kami pergi ke kantin sama-sama, membeli beberapa jajanan pengganjal rasa lapar sambil bercanda.
KAFIR
Kami tetap bersahabat sampai kami lulus SMA. Kami berdua sama-sama jago main basket di kelas, walaupun diantara kami, hanya Eni yang sampai bergabung tim ekstrakurikuler basket.
Setiap kali ia merasa resah, aku lah tempat Eni melampiaskan rasa ingin tahunya. Sepertinya ia memang lebih nyaman untuk bertanya pada teman sendiri, daripada berdebat dengan anggota ekskul remaja masjid.