Hari Sabtu (2/4) saya lewatkan banyak waktu di Lapangan Puputan. Pukul 06.30 WITA suasana masih sepi kondusif untuk berolahraga. Mungkin karena ini hari Sabtu, dan masih banyak anak yang bergegas pergi ke sekolah, ketimbang ke lapangan di pusat Kota Denpasar ini.
Saya sendiri sebetulnya sudah menyiapkan tulisan ini sejak hari Sabtu sore. Tapi bagaimana lagi kalau baru hari ini, laptop baru kembali mendapat asupan wifi. Padahal ini pasti akan lebih terasa “weekend” saat dibaca di waktu “weekend”. Karena kita akan ngobrol sedikit tentang olahraga.
[caption caption="Langit di atas Kota Denpasar (sumber : dokumentasi pribadi)"][/caption]Jadi waktu masih pemanasan (menjelang lari), saya jumpa dengan guru saya di kelas taekwondo, Intan, namanya. Kami chit-chat kurang lebih 1 jam, sambil berusaha mengenal satu sama lain. Maklum, saya baru bergabung di kelas ini selama 2 kali pertemuan, diajak oleh mentor saya. Tujuannya sederhana sih, agar tetap sehat dan rileks, setelah bekerja seharian. Jadi bukan agar saya punya jurus-jurus apa gitu.
Walaupun sejak kecil saya akrab dengan dunia olahraga (bulutangkis, basket, voli, sampai lompat jauh), ternyata taekwondo yang masuk dalam ranah martial arts ini cukup menantang. Tidak hanya dituntut untuk sehat secara fisik, namun juga psikis. Mungkin salah saya juga, semenjak kuliah sudah tidak lagi rutin olahraga. Hehe
Karena saya penasaran dengan cabang olahraga (cabor) ini, saya kemudian banyak bertanya tentang athlete-life (dunia atlit) ke guru taekwondo saya. Intan sudah beberapa kali ikut kompetisi taekwondo, mulai dari di tingkat domestik, hingga Internasional. Jadi asam, manis, dan pahit-nya dunia taekwondo, Intan sudah paham betul. Mari kita mulai.
PERPECAHAN
Sebetulnya tidak hanya sepakbola yang tengah bergelut dengan konflik. Induk olahraga taekwondo di Indonesia-pun juga sedang dalam tantangan yang sama. Cabang olahraga yang lain-pun juga tidak luput dari masalah ini. Kalau pakar komunikasi bilang, “Ya inilah yang disebut dengan dinamika organisasi”. Klise dan ngeselin.
Padahal pernyataan ini sudah semestinya tidak berhenti di tanda titik, atau ditutup dengan tawa. Kesannya, ini malah tampak normal. Padahal harus dilanjutkan dengan, “… jadi kita perlu punya strategi yang efektif, efisien, dan long-lasting agar kembali tercipta stabilitas di dalam organisasi,” Nah!
PSSI yang konfliknya sering diangkat di layar kaca saja, sampai sekarang juga masih saling gebuk. Apalagi cabang olahraga lain yang tidak dapat “perhatian” dari media massa?
Kami sepakat, kalau baik-buruknya prestasi dan kualitas olahraga di negara mana saja, akan sangat dipengaruhi oleh stabilitas induk cabang olahraga masing-masing. Karena induk olahraga ini fungsinya tidak hanya sebagai wadah, tapi juga pusat pendidikan. Begitu pusat pendidikan dan pelatihan atlit ini tidak dalam kondisi prima, maka fasilitas olahraga, kualitas pelatih, kaderisasi, regenerasi, dan target dari tiap cabang olahraga, akan turut terganggu.
Di sini, peran pemerintah sebagai pengayom, media sebagai mediator, dan kita sebagai pendukung, sangat besar. Jadi jangan sampai malah saling tunjuk dan bertengkar, tapi harus mulai dengan duduk bersama sambil saling mendengar satu sama lain. Kalau semua mau saling mendengar dan mau mengganti “me” menjadi “we” (maksudnya, menurunkan ego satu sama lain), dunia olahraga di Indonesia pasti akan semakin sehat.