Di tengah lautan beton yang semakin meluas, ada sebuah cerita yang terlupakan. Cerita tentang petani yang menangis ketika hijau yang dulu subur berubah menjadi beton yang tanpa jiwa. Dulu, lahan hijau yang subur melambai dengan segarnya pepohonan, menggoda dengan keindahan alam yang memesona. Petani berkebun dan bercocok tanam di tanah yang subur, menciptakan kehidupan yang melimpah. Di tengah hiruk-pikuk perkotaan, ladang padi yang hijau adalah suatu pemandangan yang menghipnotis. Padi yang tumbuh dengan indah menghiasi lahan-lahan yang luas, mencerminkan kehidupan dan harapan. Di sini, petani sawah menggarap tanah dengan penuh kasih sayang dan mempertahankan keindahan alam. Mereka adalah penjaga hijau yang menjadi napas kehidupan bagi masyarakat. Sawah yang hijau, ladang yang subur, dan kebun yang bersemi menjadi pemandangan yang jarang terlihat di kota-kota besar yang berkembang pesat.
Namun, perlahan-lahan, keindahan itu terancam oleh beton yang tak henti tumbuh. Pohon-pohon ditebang, sawah-sawah digusur, dan alam yang indah itu meredup. Perkembangan yang sangat pesat, kini dalam kilau beton dan gemerlap kemajuan, petani menyaksikan perlahan-lahan kehilangan keindahan hijau yang mereka jaga dengan sepenuh hati. Air mata mereka keluar bukan hanya karena hilangnya ladang subur, tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan yang mereka rawat bersama tanah.
Bagi petani, tanah adalah mata pencaharian, nafas kehidupan, dan cermin identitas. Namun, pembangunan yang rakus sering kali mengorbankan ladang-ladang subur untuk bangunan-bangunan megah. Petani yang telah bertahun-tahun menggarap tanah, menanam benih, dan merawat tanaman, mendapati diri mereka terusir dari tempat yang dulu mereka panggil "rumah". Di tengah perubahan yang cepat, mereka menangis bukan hanya karena kehilangan lahan, tetapi juga kehilangan jati diri dan tujuan hidup yang tertanam dalam kegiatan bercocok tanam.
Keberadaan lahan pertanian yang luas bukan hanya penting untuk mata pencaharian petani, tetapi juga untuk keberlanjutan pangan dan lingkungan. Ketika sawah berubah menjadi beton, implikasi sosial dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Kekurangan pangan menjadi ancaman nyata, sementara keragaman hayati dan kesuburan tanah semakin terancam. Pembangunan yang tak terkendali memiliki dampak yang serius pada keberlanjutan dan keseimbangan. Hilangnya lahan hijau mengakibatkan penurunan keberagaman hayati, degradasi tanah, dan peningkatan risiko bencana alam. Petani yang kehilangan ladangnya tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga kehilangan hubungan yang dalam dengan alam. Keseimbangan ekosistem terganggu, dan manusia pun menderita akibatnya. Petani yang menangis adalah suara yang meratap untuk keseimbangan yang hilang di antara perkembangan dan kelestarian alam.
Perjalanan dari hijau ke beton adalah sebuah realitas yang tak bisa dihindari dalam kemajuan pembangunan. Namun, kita harus ingat akan pentingnya menjaga keseimbangan. Petani yang menangis di tengah kemajuan ini adalah peringatan bagi kita untuk tidak melupakan nilai alam dan keberlanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi pijakan, mempertimbangkan kebutuhan petani dan kehidupan yang tak ternilai di balik keindahan hijau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H