[caption id="" align="aligncenter" width="417" caption="kludia_banner"][/caption] Chapter sebelumnya | Chapter berikutnya Surabaya, Jawa Timur, 18 April 2035 Label tipe karakter koleris tersemat pada Angel, keinginan untuk bersaing dengan mempertahankan status terlihat di situasi studinya. Dia memfokuskan segala kemampuan untuk menjadi lebih unggul dari kolega lain, paling tidak begitulah pendapat koleganya. Sedangkan Angel menganggap dirinya sebagai artis, seniman, bebas berekspresi tanpa memerhitungkan batasan dalam beberapa hal. Seandainya dia benar-benar seambisius asumsi koleganya, pilihan masuk fakultas psikologi tidak akan pernah terlewat di pikiran. Menurutnya, pendekatan pada ilmu psikologi menuntun individu untuk belajar menyadari bahwa aplikasi ilmu yang mereka pelajari menuntut fleksibilitas; mengalah di waktu yang tepat untuk memang benar-benar mengalah secara manusiawi; mendengarkan lawan bicara yang mungkin berusaha membuat dirinya tampak overkompeten; mengadakan perjanjian dengan klien di mana alokasi waktu atau tempat mungkin terasa memberatkan; menjaga kerahasiaan walaupun beberapa khasus sepertinya layak diperdebatkan; dan setumpuk hal lainnya yang jelas akan membuat tipe karakter koleris atau A-type personality dalam siksaan sepanjang waktu, dan Angel bukanlah masokis. Dalam segala situasi yang menuntut fleksibillitas tadi, arketipal seorang artis menuntun Angel untuk berimprovisasi menemukan komposisi seimbang untuk setiap kemungkinan skenario. Setiap komposisi terdiri dari komponen, dan setiap komponen harus selalu di-update untuk menjamin efektifitas. Yup, terdengar sedikit perfeksionis, tapi tidak ada yang sempurna di atas palet studi Angel. “Kamu yakin ingin tetap mempertahankan proposal case study-mu tentang paralinguistik?” Tanya seorang dosen pembimbing pada Angel. “Iya, Bu Nia, aku tertarik dengan pendekatan paralinguistik dan tetap berniat untuk mengadakan riset intensif terkait tentang kinesic cues.” Bu Nia tampak sedikit lebih tua dari usia yang tertulis di riwayat civitas, mungkin karena setelan baju hijau muda sederhana yang dikenakannya. Dia tidak berusaha menyembunyikan volume tubuh yang relatif melebar ke samping, entah karena kepercayaan diri atau memang karena keacuhan. Bu Nia tersenyum, “Saya percaya kamu berkompeten untuk menyusun riset di bidang itu, tapi masalahnya jurnal dan subyek potensial tentang masalahmu ini terbatas.” “Kesulitan seperti itu sudah umum terjadi, Bu, jadi tim kami menyiapkan referensi alternatif lain.” “Hmm, sebentar, saya baru ingat, rasanya akan membantumu.” Bu Nia membuka laci arsip lalu meletakkan satu paket folder di meja, “Kebetulan saya juga mencari bantuan.” Angel merespon dengan mengangguk. “Saya ada dinas luar kota mulai minggu depan, dan masih ada tanggungjawab yang belum bisa saya tinggal. Salah satunya, yayasan Dharma Nirmala.” Bu Nia membuka paket folder, bertumpuk kertas formulir konsultasi menampilkan klip-klip foto klien yang terstaples. “Saya memonitor beberapa klien atas kepercayaan dari Dharma Nirmala, sebagian besar dari mereka berada di panti asuhan. Selama itu saya tertarik dengan beberapa riwayat anak asuh yang...,” Bu Nia membetulkan posisi kacamata. “Unik.” Angel tersenyum, mengangguk. “Saya dengar seorang anak asuh di sana dilaporkan menunjukkan beberapa kriteria kinesthesia akut.” Bu Nia mencari selembar kertas formulir di tumpukan, tapi dia tidak berhasil menemukan apa yang dicari. “Saya belum bertemu secara langsung dengannya, tapi karena kamu menyebut kinesic cues, saya jadi teringat lagi.” “Aku bisa menemui subyek ini?” “Ya, kebetulan saya membutuhkan pengganti interim selama satu minggu di sana.”
Surabaya, Jawa Timur, 19 April 2035 Angel menekan sebuah tombol di panel
DiV,
dive glass berganti warna dari transparan menjadi pink pucat. “DALI, berikan aku arahan ke panti asuhan Dharma Nirmala.” “
Permintaan diterima.” Suara lembut feminin terdengar dari perangkat DiV. “
Tersedia sembilan alternatif alamat berbeda dari hasil pencarian menggunakan kata kunci panti asuhan Dharma Nirmala.” “DALI, dari semua alternatif tadi, ambil pilihan di mana Ibu Agustinia Melinda Pratiwi berada terakhir kali.” “
Kueri dimodifikasi. Permintaan diterima. Alamat ditemukan, perjalanan ke arah tujuan berjarak 39.57 kilometer, estimasi perjalanan 60 menit.” “Ok, DALI, antarkan aku ke sana dengan
auto-drive.” “
Kendaraan model MI-21 tidak direkomendasikan untuk auto-drive ke arah tujuan, perintah dibatalkan.” “DALI, aku sudah pernah ke rute itu sebelumnya. Tolong elaborasi laporanmu.” Angel membantah, dia pernah menggunakan
auto-drive menuju la Grande Fleur, tempat ayahnya bekerja. “
Komparasi Databank dengan kondisi aktual trafik menunjukkan variabel tak terduga, model MI-21 tidak direkomendasikan untuk auto-drive ke tempat tujuan.” Angel mengencangkan
seat-belt sebelum dia memutar kunci kontak. Klakson mobil dibunyikan berkali-kali sepanjang tujuan. Perjalanan panjang dengan menyetir manual bukanlah kegiatan menyenangkan baginya. Belum juga sampai tujuan, satu unit truk militer beroda 6x4 bergerak dengan kecepatan rendah di tengah jalan. Angel menekan tombol klakson berkali-kali, tapi truk tetap memertahankan posisi. Seorang marinir dengan DiV khusus untuk kebutuhan militer menoleh ke arah mobil Angel dari kabin barak. Tutup helm terbuka, memerlihatkan wajah pria kaukasian dengan tatapan tajam, dia meludah dengan sengaja ke arah kendaraan Angel. Perilaku tersebut cukup intimidatif bagi Angel, dia menginjak rem lalu menepi untuk menurunkan kecepatan. Satu unit mobil lain mengambil inisiatif untuk mendahului, namun terjebak dalam keadaan yang sama dengan truk militer di depan mereka. Oh,
Jarhead, cukup mengenal salah satu dari mereka untuk mengenal seluruh pasukan, keluh Angel dalam batin.
Bangkalan, Madura, 19 April 2035 “DALI, berikan aku denah lokasi panti asuhan Dharma Nirmala.” Perintah Angel di samping tempat parkir. “
Permintaan diterima.” Angel berjalan menuju lobby, dia duduk di kursi sofa setelah menekan sebuah bel di depan pintu. Seorang anak asuh menghampirinya. “Cari siapa yah, Kak?” “Oh, maaf, namaku Angel, aku sudah membuat janji dengan
Bu Atika, aku di sini untuk menggantikan Bu Nia sementara. Hmm, siapa namamu?” “Namaku
Dewi.” Dewi mengulurkan tangan lalu Angel menerimanya untuk bersalaman. “Bu Atika sekarang masih pergi, Kak, maaf.” Aku sudah menghabiskan waktu selama lebih dari satu jam di jalan dan mobilku diludahi oleh seorang
Jarhead, tidak, aku tidak akan kembali tanpa hasil, batin Angel. “Hmm, mungkin aku bisa bertemu pengurus yang masih bertugas di sini?” Beberapa menit kemudian Dewi datang dengan seorang pengurus. Untungnya, pengurus tadi sudah dititipi pesan untuk mengonfirmasi identitas dan kepentingan Angel. “Ruangan konsultasi ada di lorong sebelah kanan, lurus terus sampai kamu melihat pintu berwarna biru, ada papan gantung keterangan ruang juga, koq.” Kata pengurus panti. “Terimakasih, bu.” “Oh iya, kalau bisa hari ini aku titip konsultasi untuk Dewi juga, yah, mungkin dia butuh bantuanmu setelah masalah kemarin malam.” Pengurus panti memandang Dewi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Baik, bu, tapi aku harus menata ruangan terlebih dulu, supaya situasinya terkondisikan.” Angel berjalan menuju ruang konsultasi, sambil menekan tombol DiV untuk menurunkan
dive glass sampai menutupi bagian atas wajah. “DALI, berikan aku daftar biodata semua anak asuh yang masih tinggal di Dharma Nirmala, dihitung mundur dari satu bulan lalu.” “
Permintaan diproses, harap tunggu.” Seorang wanita berdiri di depan pintu konsultasi. Mengenakan
tank-top coklat gelap, dan celana sport biru gelap. Dia mengetuk pintu walaupun tampaknya tidak ada orang di dalam ruangan tersebut. “Sebentar.” Sahut Angel untuk menarik perhatiannya. Wanita itu memutar badannya untuk merespon. Berkulit 'sedikit-lebih-gelap-dari-sawo-matang', berwajah maskulin dengan aksentuasi tulang pipi dan tulang rahang mengesankan profil dengan tiga komponen terdekat; wajah bersiku 'the-angrier-sister' Emily Deschanel, kulit gelap 'black-don't-crack' Naomi Campbell dan senyawa aditif 'x-factor' steroid; komponen terakhir menjelaskan tinggi badan dan setiap inci otot di luar kapasitas rata-rata wanita. Dia mendengus saat melihat Angel.
Oh my god, apa yang dilakukan marinir perempuan di sini? Sejak kapan Bangkalan dipenuhi dengan
Jarhead?Batin Angel. “Halo, umm, sebentar...,” Angel menekan sebuah tombol di panel DiV untuk merubah kondisi
gadget tersebut ke dalam status
standby, lalu membuka pintu. “Ok, beres, umm, siapa namamu?” “Mara, namaku Mara.” Salah satu alis mata Angel naik, ada sensasi tak terjelaskan saat wanita itu menyebut namanya sebagai 'Mara'. Sebuah nama yang terdengar sangat cocok digunakan wanita dengan postur tubuh seperti menara Taipei 101 dan potongan rambut
dreadlock. “Oh, O.K., Mara, ayo kita masuk ke ruangan Bu Nia, kamu pasti datang untuk berkonsultasi, kan?” Terdiam sementara. “Oh iya, namaku Angel, Angelica Vista.” Mereka memulai sesi konsultasi dengan mengisi
query formulir, mulai dari nama, usia, kondisi kesehatan sampai aktivitas personal untuk membangun profil klien. Sesi konsultasi terus memberikan kejutan bagi Angel terhadap perempuan yang ternyata masih berumur 16 tahun tersebut. Semua asumsinya tentang stereotip profil
Jarhead runtuh ketika dia memahami permintaan Mara untuk berpindah lokasi ke panti asuhan lain. Terutama yang paling menarik ketika klien menyebutkan kemampuannya dalam komunikasi kinestetik. Angel menemukan subyek yang dicarinya. Kurasa hari ini aku cukup beruntung, berikutnya aku harus berpikir bagaimana cara mengundang Mara mengikuti risetku, pikir Angel. “Oh iya, setelah kamu meninggalkan ruangan ini, tolong panggilkan Dewi, dia masuk dalam daftar konsultasiku hari ini.” Mara meresponnya dengan kerutan dahi. Kerutan dahi? Kenapa? Konsultasi kurang menyenangkan? Angel bertanya pada dirinya sendiri. Seorang anak asuh lain datang untuk sesi konsultasi berikutnya, Angel mengenalnya sebagai Dewi beberapa waktu lalu. “Silahkan duduk.” Tawar Angel. “Terimakasih.” Posisi duduk tegak, tak bersandar, tangan terlipat di depan dada, dengan kaki terus menerus terhentak, aku yakin anak ini merasa kurang nyaman di sini, pikir Angel. “Tadi kakak diskusi apa dengan Mara?” “Oh? Kenapa kamu ingin tahu?” “Kakak merasa ada yang tidak beres dengan anak itu?” Angel berdeham, merapikan jaket seragam, “Kenapa kamu berpikir seperti itu?” “Jadi Kak, dia adalah sumber masalahnya
di sini.” Kata Dewi dengan menekan kalimat keterangan terakhir. “Sebentar, sebelum kita loncat ke sumber masalah, aku ingin mengenalmu dulu, O.K.?” Dewi membalasnya dengan sebuah anggukan kepala. Keterangan nama, umur, dan tetek-bengek lainnya tercatat di lembar formulir konsultasi. Beberapa keterangan membuat profil Dewi sebagai remaja bertipe karakter dominan, dorongan untuk menjadi pusat perhatian dan penggagas ide menjadi landasan perilakunya. “Tadi Kakak membahas apa dengan Mara?” Dewi mengulang pertanyaan yang sempat ditanyakannya di awal pertemuan. “Dia menuduhku?” “Ah sayang sekali, aku tidak boleh memberitahukan rahasia atau isi konsultasi klien lain.” Dahi Dewi mengkerut, “Tapi dia sumber masalahnya, kak.” “Kalau begitu tolong ceritakan bagaimana masalahnya terjadi.” Masalah pribadi Dewi dengan Mara bermula ketika mereka berdua bertemu di kegiatan ekstra-kurikuler yang sama, suatu aliran cabang bela diri. Awalnya Dewi adalah primadona di klub tersebut, bukan dalam segi kekuatan atau keahlian teknis, namun 'kegemulaian' dan 'kegesitan' dalam mengolah setiap gerakan untuk menarik perhatian setiap kawan laki-laki didekatnya, bayangkan setiap gerakan bagian tubuh dari gadis seusianya di tengah-tengah segerombolan serigala dengan ledakan hormon, semacam itu. Situasi berubah saat Mara ikut bergabung dalam gerombolan serigala tadi, dia secara praktis mendeklarasikan diri sebagai serigala
alpha betina, dengan kekuatan dan keahlian teknis. Dia menantang pelatih klub, sabuk hitam, untuk bertanding dengan semua kemampuan yang dimiliki, hasilnya, Mara menjadi pelatih klub di pertemuan ke depan. “Dia bertanya pada kami, '
kalian disini untuk bertambah kuat atau hanya ingin menjaga budaya aliran kalian'.” Dewi mengutip kalimat Mara waktu itu. Satu per satu teman-teman Dewi mulai tertarik mendalami
mixed martial art, termasuk mantan pelatih mereka. Sedangkan Dewi mengalami kesulitan mengikuti irama gerakan Mara yang sulit direka ulang. Frustrasi dengan hal tersebut, dia memutuskan untuk keluar dari klub. Oh, tentu saja, aku mengerti sekarang, seekor
alpha betina bertemu dengan segerombolan serigala tanpa arah, serigala yang lebih lemah tentu akan terusir, kan? Pikir Angel. “Lalu setelah itu apa yang kamu lakukan?” “Aku hanya ingin mereka kembali ke silabus ekstrakurikuler awal,
sebelum dia mengacaukannya.” “Apa yang terjadi setelah itu?” “Aku lapor ke ketua dewan pembimbing ekstra-kurikuler.” Kepala Dewi tertunduk, “Tapi hasilnya kegiatan ekstra-kulikuler kami dibubarkan. Sulit dipercaya.” “Sayang sekali, lalu apa reaksi teman-temanmu setelah itu?” “Mereka semua menyalahkanku, itu lebih tidak masuk akal lagi. Seharusnya
Mara yang disalahkan bukan aku. Aku hanya berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti seharusnya. Mara yang salah bukan aku.” “Ok, menurutmu apa yang membuat teman-temanmu malah balik menyalahkanmu?” “Ya, itu, gara-gara si Setan itu, Mara. Dia pasti menghasut mereka.”
Si Setan. Dia menyebut Mara seperti itu karena alasan figuratif belaka atau karena dia benar-benar tahu apa arti dari nama
Mara, pikir Angel. “Si Setan? Kenapa kamu menyebut Mara dengan nama itu, aku tahu kamu tidak menyukainya, tapi bukankan sebutan
setan terlalu berlebihan?” Dewi tersenyum menyindir, “Aku bukan satu-satunya orang yang menyebutnya, si Setan, anak-anak lain juga bahkan
memanggilnya dengan sebutan itu, kakak tahu, kan, apa arti nama Mara?” Touché. Ide tersebut membuat mereka berdua terdiam dalam suasana canggung. Angel tersenyum untuk membuka dialog, “Aku belum dengar penjelasanmu kenapa mereka menyalahkanmu, Dewi.” “Mereka minta aku untuk menarik kembali laporan dan meminta maaf pada Mara, payah, menurutku. Aku lebih baik meninggalkan mereka.” Dewi mendengus. “Dan mungkin aku berpikir untuk membuat perhitungan dengannya.” “Oh, perhitungan? Boleh aku tahu detil dari perhitungan ini?” “Ini benar-benar dirahasiakan, kan? Orang lain tidak bisa mengetahui perbincangan ini.” Angel tersenyum sambil mengangguk, “Etika pekerjaan kami.” Dewi menceritakan rencana 'perhitungannya'. Intinya dia berusaha mem-provokasi Mara sampai dia kehilangan kontrol. Memperkuat kesan bahwa Mara adalah monster, setan, atau apapun itu yang membuatnya diasingkan dari komunitas, dari institusi sekolah dan panti asuhan. “Aku tidak bisa membenarkan tindakanmu ataupun melarangnya, itu semua pilihanmu. Tapi aku hanya ingin tahu, apa kamu benar-benar siap menghadapi konsekuensinya?” Menghadapi konsekuensi? Yang benar saja, aku yakin anak ini bahkan tidak mau membayangkan konsekuensi ke depan. Tapi itu sekarang menjadi tugasku, bebanku, pikir Angel. “Konsekuensi apa yang bisa terjadi? Semua orang tidak akan keberatan kehilangan si Setan.” “Yah, mungkin menurutmu itu hal yang terbaik, tapi jika ada orang lain yang merasa kehilangan Mara atau Mara kehilangan orang yang dipercayainya? Bagaimana menurutmu?” “Siapa?” Dewi mendengus, tersenyum sinis, “Siapa yang bisa merasa kehilangan Mara?
Justru aku di sini yang dirugikan, aku kehilangan teman-temanku gara-gara dia.” Perilaku
defense mechanism yang ditampakkan Dewi membuat dirinya terproyeksikan sebagai korban, korban dengan kekuatan penuh untuk membalas serangan, tujuh kali lipat. “Kalau misalnya kamu dalam posisi Mara, apa tindakanmu?” Dewi tertawa kecil, “Apa kakak juga menanyakan hal yang serupa dengan Mara?” “Tidak, tidak sama sekali.” Angel membalasnya dengan senyuman. “Hmm, O.K., tapi aku sulit membayangkan diriku sebagai Mara, kurasa semua orang akan merasa kesulitan melakukan ini.” “Yah, mungkin bukan saat ini, tapi pikirkan saja seperti ini, jika Mara memang seburuk bayanganmu, apa mungkin kamu dalam posisi yang sama seperti sekarang? Kalian tinggal di tempat yang sama, kan?
Sekarang.” Angel menekankan kata terakhir dalam kalimat, berusaha untuk menyadarkan lawan bicaranya. Dahi Dewi mengkerut. Bibirnya tertekuk ke dalam. “Baik, kurasa sesi konsultasi telah habis, kita akan bertemu kembali, besok. Apa kamu keberatan?” Tawar Angel. “Tidak ada masalah, O.K., besok.”
“DALI, berikan aku riwayat hidup Mara, penghuni panti asuhan Dharma Nirmala Blok A-7, mulai dari tahun 2019 sampai sekarang.” Perintah Angel dari dalam mobil. “
Permintaan sedang diproses, harap tunggu.” Angel mengetuk-ngetukkan jarinya di setir kemudi kendaraan, beberapa menit berlalu tanpa jawaban dari DALI, asisten virtual. Kehilangan kesabaran Angel mulai menginjak pedal gas. “
Akses ditolak, permintaan diblokir oleh pihak luar.” “Bagaimana bisa?” Angel melepas kemudi, kendaraan Angel berhenti dengan posisi ekor mobil menyentuh marka jalan. “DALI, aku punya protokol BMTP untuk mengakses semua data umum penghuni Dharma Nir-” Satu unit sedan konvensional melaju dengan kecepatan tinggi, entah apa yang membuatnya gagal melihat kendaraan Angel di depan, dia terlambat menginjak pedal rem. Kendaraan Angel yang relatif kecil dan berbahan dasar rangka plastik sintetis tidak mampu menyerap tumbukan keras. Dalam hitungan sepersekian detik, mobil
smart car terhempas keluar jalur, menabrak palang lampu di depan dalam kondisi rangka badan tertahan 90°. Tubuh Angel terjepit dalam posisi yang menyakitkan, kaki dan tangan terbujur kaku. Adrenaline hanya memberinya kesempatan untuk berteriak meminta pertolongan. Beberapa menit kemudian dia merasakan aksis mobil kembali ke posisi normal. “Ohmigod, ohmigod, ohmigod!” Aku masih hidup, puji Tuhan, pikir Angel. “Kakak bisa berjalan sendiri? Butuh bantuan?” Seru Mara dari luar. Angel terkejut melihat Mara berdiri di luar mobil. Sepanjang di dalam kurungan mobil, dia masih bernafas terbata-bata, berusaha keras untuk menenangkan diri. “A-aku tidak yakin,” Angel berusaha menggerakkan anggota badan tubuhnya, tapi tak ada reaksi. “Aku ga bisa gerakin tangan sama kaki.” Pasrah dengan pertolongan dari Mara, dia memberikan kepercayaan sepenuhnya untuk dibopong menuju lobby. Saat itu dalam benak Angel, dia berpikir baru kali ini dia merasakan 'kehangatan' yang sulit dijelaskan; hampir sama seperti terjun ke dalam palung yang benar-benar hangat; Cukup hangat sampai, tanpa sadar, pipinya memerah. Mungkin memang benar, kali ini, nama 'Mara' untuk seorang perempuan, memang hanya sekedar nama. Angel tidak dapat membayangkan jika Mara bertumbuh dengan mengidentifikasikan konsep diri sebagai sesosok iblis. Teman-teman Mara berkumpul di lobby, turut membantu, sedangkan si Penabrak berjalan mondar-mandir di luar lobby sambil menelpon. Satu unit Ambulans datang untuk mengangkutnya menuju rumah sakit terdekat.
“Aku ga apa-apa, Pah.” Angel meringis, terbaring di ranjang rumah sakit. “Coba lihat keadaanmu itu sekarang, kamu
hampir kehilangan nyawa, tahu!” Angel menghela nafas, tidak dapat menemukan jawaban untuk membela diri. “Papa ga mau kamu nyetir lagi.” “Pah, yang bener aja, Pah!” “Papa harusnya belajar dari pengalaman lampau.” Angel terdiam, di dalam pikirannya sempat berkelebat sosok ibunya. Almarhum. “Ah, sudahlah, Papa mau ngerokok bentar. Papa balik ke sini lagi bentar.” Sekali lagi, Angel menghela nafas, dia ingin berkontak dengan salah satu temannya untuk meringankan tekanan mental. Dia mengenakan DiV. “DALI, sambungkan aku dengan Leah Miranda via DiVSquare.” “
Maaf, permintaan tidak dapat diproses, resipien sedang offline.” “DALI, sambungkan aku dengan Bima Satya via DiVSquare.” “
Maaf, permintaan tidak dapat diproses, resipien sedang offline.” Angel menggeram, dia baru menyadari jam digital menunjukkan pukul 23.10. Tiba-tiba terlewat dalam pikiran Angel keinginan untuk mengetahui peristiwa kecelakaan yang baru saja menimpanya. “DALI, apakah ada rekaman dalam bentuk apapun pada lakalantas di depan panti asuhan Dharma Nirmala, hari ini, sekitar pukul setengah tujuh malam?” “
Permintaan sedang diproses, harap tunggu.” Beberapa detik berlalu. “
Ditemukan satu rekaman lakalantas dari traffic lamp station ID: SUTCP09220004161, public access clearance kelas B keatas diperlukan untuk mengakses. Apakah Anda ingin meneruskan proses?” Ah kebetulan, keluargaku 'dihadiahkan'
public access clearance kelas B karena ayahku bekerja di la Grande Fleur, pikir Angel. “DALI, teruskan proses unduh rekaman lakalantas.” “
Permintan diterima.
Video feed dimulai dalam tiga, dua, satu.” Rekaman peristiwa kecelakaan berjalan dalam resolusi rendah, namun cukup jelas untuk memerhatikan detil-detil gambaran besar. Terlihat Mara mendekati mobil si Penabrak, dia menghujamkan tinju ke kap mobil, suara dentuman terdengar jelas, sebidang depresi sedalam satu-dua kaki terlihat dari kap mobil sampai kompartmen mesin memercikkan api. Angel menyaksikannya dengan mata melebar, rahang menganga. “DALI, sebutkan berapa orang atau berapa
unique port yang telah mengakses rekaman lakalantas tersebut.” Perintah Angel. “
Permintaan diterima.
Hingga saat ini telah tercatat lima belas unique port yang telah mengakses rekaman dengan time stamp 2035/04/19 19:30 WIB dari traffic lamp station ID: SUTCP09220004161.” Mara dalam masalah besar sekarang, pikir Angel.
Chapter sebelumnya |
Chapter berikutnyaBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Fiksiana Selengkapnya